Pembahasan terkait perbedaan yang paling trending topic di masa awal dan akhir puasa adalah tidak jauh-jauh seputar ru’yah dan hisab. Dalam hal ini penulis memilih untuk menulis tema lain terkait perbedaan di bulan Ramadhan dan mengesampingkan pembahasan tersebut -penulis pernah menulis secara khusus mengenai hal ini- (baca https://mualliminenamtahun.net/berita/sebelum-hilal-ditemukan). Perlu diketahui bahwa pada bulan Ramadhan masih ada beberapa hal yang kerap kali berbeda dalam cara tanpa kita tahu kebenarannya, antara lain:
1. Ramadhana Atau Ramadhani
Yang dimaksud dalam sub tulisan ini adalah niat berpuasa dengan talaffuzh (melafalkan) “Nawaitu shauma ghadin ‘an ada’i fardhi syahri Ramadhan hadzihi as-sanah lillahi ta’ala”. Selalu saja ada kubu Ramadhani dan Ramadhana saat kita berniat puasa, apabila mau menambah permasalahan maka juga termasuk disini adalah kubu hadzihi as-sanati dan hadzihi as-sanata. Yang membaca Ramadhani berpendapat bahwa ia diharakati kasrah sebab status ghairu munsharif-nya batal karena sudah dimudhafkan pada lafazh hadzihi as-sanati (dibaca kasroh sebab menjadi mudhaf ilaih) sehingga ketika ia dibaca jarr maka harus dikembalikan ke keadaan asal ketika ia munsharif yakni diharakati kasrah.
Yang membaca Ramadhana berpendapat ia tetap diharakati fathah karena ia dianggap berhenti sampai disana dan tidak dimudhafkan pada lafazh hadzihi as-sanata (otomatis berupa fathah karena ia sudah distatuskan menjadi zharaf). Lazimnya isim ghairu munsharif lainnya, maka ia dibaca jarr dengan fathah.
Ada lagi yang membacanya dengan Ramadhana hadzihi as-sanati. Ramadhana dibaca fathah dengan alasan sebagaimana di atas. Lalu, mereka yang membacanya hadzihi as-sanati berpendapat bahwa lafazh hadzihi as-sanati mengira-ngirakan lafazh fi di dalamnya (dibaca fi hadzihi as-sanati). Sekilas tampak janggal karena umumnya kita mengetahui hal semacam ini seharusnya dibaca nashab menjadi naz’ul khafidh. Namun memang ada pendapat ulama’ Kufah yang memandang boleh membacanya demikian.
Walhasil, talaffuzh niat hanya berputar dalam masalah ilmu gramatika bahasa Arab dan sebagai alat bantu niat yang sebenarnya, bukan menjadi sesuatu yang memengaruhi keabsahan puasa atau tidak. Bukankah sejak awal bab kitab-kitab fiqh sudah dijelaskan yang dimaksud dengan niat adalah al-qashdu fi al-qalbi (tujuan di dalam hati)-nya? Wallahu a’lam.
2. Sunnatan Min Al-Witr Rak’ataini Atau Sunnat Al-Witr Rak’ataini
Kali ini yang dimaksud adalah bacaan bilal shalat witir dan bacaan niatnya. Sebagaimana yang umum diketahui pengertian shalat witir adalah shalat yang bilangan raka’atnya ganjil. Maka menjadi bahasan menarik ketika ada orang yang shalat witir lebih dari 1 raka’at dengan cara memisah shalatnya menjadi dua atau lebih sesi shalat, cara shalat semacam ini dinamakan dengan cara fashl. Contoh: seseorang yang shalat witir 3 raka’at lalu ia membagi shalatnya dengan rincian: a) Sesi pertama sebanyak 2 raka’at dan b) Sesi kedua sebanyak 1 raka’at.
Nah, di sesi pertama ini jelas akan menimbulkan kontradiksi antara jenis dan aktifitas shalatnya. Namanya saja shalat witir (ganjil) tapi kok malah bilangan shalatnya genap. Mereka yang berada dalam keadaan semacam ini kemudian membaca niatnya dengan ”Ushalli sunnatan min al-witri rak’ataini lillahi ta’ala”. Guna dari lafazh min disini adalah untuk mengasumsikan bahwa shalat dua raka’at yang dilakukan adalah merupakan sebahagian dari shalat witir yang faktual (3 raka’at).
Apabila dibaca dengan ”Ushalli sunnatan al-witri rak’ataini lillahi ta’ala” tanpa lafazh min, kita seolah menganggap bahwa shalat witir yang dilakukan adalah 2 raka’at yang faktual, kemudian terjadilah kontradiksi niat dengan aktifitas shalatnya (munaafaat an-niat) yang selanjutnya berujung batalnya niat dan konsekuensi logisnya adalah batalnya shalat. Atau kalau mau aman bisa saja ambil opsi washl, yakni melakukan shalat witir 3 raka’at langsung (1 takbiratul ihram dan 1 salam) dengan berniat ”Ushalli sunnatan al-witri tsalatsa raka’aatin lillahi ta’ala”.
Sayangnya, opsi terakhir ini menurut mayoritas ’ulama tidak lebih baik daripada opsi yang pertama. Petunjuk yang paling jelas dari pendapat ini adalah kaidah fiqh yang mengatakan ”Ma kaana aktsara fi’lan kaana aktsara fadhlan” (Sesuatu yang lebih banyak aktifitasnya secara kuantitas maka akan banyak lebih banyak pula keutamaannya). Bukankah dengan cara fashl mereka akan melakukan niat, tasyahud dan salam yang berulang?
Penulis tegaskan kembali disini bahwa pembahasan ini hanya seputar talaffuzh niat yang sifatnya sama sekali tidak memengaruhi keabsahan shalat. Namun, bagaimana cara kita menetapkan tujuan di dalam hati jika dalam pelafalannya saja maknanya kita tidak ketahui. Wallahu a’lam.
3. Shalluu ‘Alaihi Atau Shalli ‘Alaihi
Konteks pembahasan ini adalah ketika kita beramai-ramai meneriakkannya setelah nama Baginda Agung Nabi Muhammad Saw. diucapkan, wa bil khusus setiap shalat tarawih dan witir dilaksanakan. Sayup-sayup akan terdengar kalimat Shalluu ‘Alaihi (diharakati dhammah panjang) atau Shalli ‘Alaihi (diharakati kasrah pendek), yang mengucapkannya dengan nada bermain-main ”Ayo muleh...” tentu tidak perlu dibahas karena ia jelas-jelas sesat menyesatkan.
Kita mulai dari arti shalawat secara umum yang akar katanya adalah shalla (doa). Namun ketika objek shalawat adalah Nabi Muhammad Saw. maka ia akan punya makna yang berbeda-beda. Ketika ia dinisbatkan kepada Allah berarti Allah sedang mencurahkan rahmat ta’zhim-Nya. Lalu ketika ia dinisbatkan pada malaikat maka yang dimaksud adalah memohonkan ampun dan apabila dinisbatkan kepada orang-orang Islam baru ia berarti mendo’akan. Mayoritas ’ulama mengiyakan bahwa ketika nama Nabi Muhammad Saw. diucapkan maka kita dianjurkan bershalawat (mendoakan) Nabi Muhammad Saw.
Lafazh Shalluu adalah bentuk fixed -setelah melewati proses i’lal- dari lafazh shalliyuu-. Ia merupakan fi’il amar dengan objek lawan bicara banyak (mukhaathab jama’) sehingga ia berarti perintah kepada orang banyak untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Menjadi agak rancu ketika diucapkan nama Nabi Muhammad Saw. justru kita saling memerintahkan untuk bershalawat tanpa ada yang mengamalkannya.
Berbeda dengan Shalli dimana walaupun ia berbentuk fi’il amar, namun objeknya adalah lawan bicara satu (mukhathab mufrad). Dalam hal ini objeknya adalah Allah Swt., ucapan ini semakna dengan shalawat standar yang kerap diucapkan ”Allahumma shalli ’alaa sayyidinaa Muhammad”. Walaupun objeknya adalah Allah Swt., buka berarti juga kita memerintahkan Allah Swt. untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, su’ul adab namanya. Dalam ilmu balaghah, fi’il amar ketika ia ditujukan pada objek yang posisinya lebih tinggi daripada yang mengucapkan maka ia dapat berarti doa. Dus, ketika kita bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. dengan ucapan shalli ’alaihi maka artinya kita sedang berdoa dan memohan kepada Allah Swt. untuk mencurahkan rahmat ta’zhim-Nya kepada Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam.
Tujuan tulisan ini bukan dalam rangka pembenaran dan pengoreksian atas apa yang sudah mendarah daging dalam kebiasaan Ramadhan kita selama ini, melainkan untuk sedikit memberikan pencerahan terhadap apa yang kita telah lakukan sehingga memberikan makna dan kesan tersendiri dalam melaksanakan ibadah-ibadah di bulan yang mulia ini. Terkhusus bagi pelajar-pelajar di pondok pesantren, penulis punya harapan lebih agar tulisan ini mampu menstimulus dan memicu aktifitas kajian ilmu pondok pesantren, karena siapa lagi yang dapat mengawal hal semacam ini selain orang-orang yang setiap harinya berangkat belajar dan memulai aktifitasnya dengan lalaran nazhm berbagai disiplin ilmu.
Robi Pebrian