Kita sepakat sesuai apa yang tertera dalam Al-Qur’an, malaikat adalah makhluk yang tidak pernah durhaka pada Allah Swt. dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya (At-Tahrim ayat 6). Keimanan malaikat seolah paripurna karena hal tersebut, namun di keterangan yang lain juga dalam Al-Qur’an, Allah Swt. justru memaklumatkan bahwa manusia adalah ciptaan-Nya yang terbaik (At-Tin ayat 4), bukan malaikat. Bahkan ada penjelasan yang secara spesifik membahas terkait kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt., nama ulul ‘ilmi (yang tentunya dari jenis manusia) disejajarkan dengan malaikat (Ali Imron ayat 18). Alasan yang mungkin bisa diterima kenapa keimanan manusia bisa lebih mantap daripada malaikat adalah karena keimanan mereka tidak perlu pembuktian.
Mari kita baca cuplikan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah terkait hal ini;
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رَوَاهُ شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ وَلَمْ يَرْفَعْهُ
Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt. mempunyai para malaikat yang selalu berkeliling di jalan-jalan dan mencari-cari majelis dzikir, jika mereka mendapati suatu kaum yang berdzikir kepada Allah Swt. mereka memanggil teman-temannya seraya berkata; ‘Kemarilah terhadap apa yang kalian cari.’ Lalu mereka pun datang seraya menaungi kaum tersebut dengan sayapnya sehingga memenuhi langit bumi. Maka Rabb mereka bertanya -padahal Dia lebih tahu dari mereka-; ‘Apa yang dikatakan oleh hamba-Ku? ‘ Para malaikat menjawab; ‘Mereka mensucikan Engkau, memuji Engkau, mengagungkan Engkau.’ Allah Swt. berfirman: ‘Apakah mereka melihat-Ku? ‘ Para malaikat menjawab; ‘Tidak, demi Allah Swt. mereka tidak melihat-Mu.’ Allah Swt. berfirman: ‘Bagaimana sekiranya mereka melihat-Ku? ‘ Para malaikat menjawab; ‘Sekiranya mereka dapat melihat-Mu pasti mereka akan lebih giat lagi dalam beribadah, lebih dalam mengagungkan dan memuji Engkau dan lebih banyak lagi mensucikan Engkau,’ Allah Swt. berfirman: ‘Lalu apa yang mereka minta? ‘ Para malaikat menjawab; ‘Mereka meminta surga.’ Allah Swt. berfirman: ‘Apakah mereka telah melihatnya? ‘ Para malaikat menjawab; ‘Belum, demi Allah Swt. mereka belum pernah melihatnya.’ Allah Swt. berfirman: ‘Bagaimana sekiranya mereka telah melihatnya?’ Para malaikat menjawab; ‘Jika mereka melihatnya tentu mereka akan lebih berkeinginan lagi dan antusias serta sangat mengharap.’ Allah Swt. berfirman: ‘Lalu dari apakah mereka meminta berlindung? ‘ Para malaikat menjawab; ‘Dari api neraka.’ Allah Swt. berfirman: ‘Apakah mereka telah melihatnya? ‘ Para malaikat menjawab; ‘Belum, demi Allah Swt. wahai Rabb, mereka belum pernah melihatnya sama sekali.’ Allah Swt. berfirman: ‘Bagaimana jika seandainya mereka melihatnya? ‘ Para malaikat menjawab; ‘Tentu mereka akan lari dan lebih takut lagi.” Beliau (Nabi Saw.) melanjutkan: ”Allah Swt. berfirman: ‘Sesungguhnya Aku telah mempersaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Beliau melanjutkan; ”Salah satu dari malaikat berkata; ‘Sesungguhnya diantara mereka ada si Fulan yang datang untuk suatu keperluan yang lain?‘ Allah Swt. berfirman: ‘Mereka adalah suatu kaum yang majelis mereka tidak ada kesengsaraannya bagi temannya.”
Keimanan manusia lebih mantap justru karena keterhalangannya dalam melihat Allah Swt, surga dan neraka. Malaikat berbeda, wajar mereka punya rasa iman karena memang mereka menyaksikan betul peristiwa-peristiwa ‘langit’. Maka menjadi benar kata sekian pakar bahwa definisi iman yang pertama adalah pembenaran hati (tashdiq bil qalbi), belum sampai aktifitas anggota indrawi. Bila diamati, beberapa peristiwa yang menyangkut janji Allah Swt. sebenarnya tergambar pola yang sama bahwa para nabi melakukan perjuangan nubuwah-nya adalah dengan bermodalkan keimanan tanpa melihat pembuktian (live by faith, not by sight). Nabi Ibrahim yang masuk dalam kobaran api, Nabi Musa yang membelah lautan, Nabi Yunus yang tertelan ikan, Nabi Zakariya yang memiliki anak di usia senjanya dan sekian contoh lain yang serupa, semuanya bermuara pada kata kunci; keimanan tanpa pembuktian.
Apabila dirasa kurang, penulis akan berikan lagi satu contoh, yakni kisah seorang yang Nabi Saw. menjulukinya dengan khoir al-qurun dan Nabi Saw. pernah bercerita bahwa namanya tidak terkenal di bumi, namun begitu kondang di langit. Nama orang tersebut adalah Uwais Al-Qorni. Ciri fisiknya begitu mudah diidentifikasi, yakni: tinggal di Yaman bersama ibunya, berpawakan lusuh, berpenyakit kulit, hanya memiliki sebuah pakaian dan hanya makan sesuatu yang ada di tempat pembuangan (mazbalah). Dalam pembahasan tema ini, penulis tidak akan memperlebar isi terkait kisah beliau yang dimintai doa oleh Sayyidina Umar dan Sayyidina Ali, dimana keduanya mendapat pesan dari Nabi Saw. untuk mencari Uwais dan memintakan ampunan Allah Swt.
Kita semua sepakat atas statement Nabi Saw. yang mengatakan bahwa generasi terbaik adalah generasi beliau (khoirunnas qarni). Yang dimaksud generasi Nabi Saw. disini adalah generasi sahabat, yang diartikan sebagai orang-orang yang menyatakan Islam dan pernah bertatap muka langsung dengan Nabi Saw. (face to face). Kesepakatan bahwa generasi sahabat layak mendapatkan posisi ini juga didasarkan pelukisan Nabi Saw. yang menyatakan bahwa sahabat-sahabatnya adalah layaknya bintang-bintang yang menjadi pengaman-pengaman di langit (lihat Shohih Muslim 2531).
Namun yang menarik adalah Nabi Saw. dalam haditsnya yang lain justru memberikan apresiasi besar atas umat-Nya yang tidak pernah melihat beliau;
حَدَّثَنَا حَسَنٌ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ لَهِيعَةَ قَالَ ثَنَا دَرَّاجٌ أَبُو السَّمْحِ أَنَّ أَبَا الْهَيْثَمِ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ طُوبَى لِمَنْ رَآكَ وَآمَنَ بِكَ قَالَ: "طُوبَى لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي ثُمَّ طُوبَى ثُمَّ طُوبَى ثُمَّ طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي" قَالَ لَهُ رَجُلٌ وَمَا طُوبَى قَالَ "شَجَرَةٌ فِي الْجَنَّةِ مَسِيرَةُ مِائَةِ عَامٍ ثِيَابُ أَهْلِ الْجَنَّةِ تَخْرُجُ مِنْ أَكْمَامِهَا"
Telah menceritakan kepada kami [Hasan] berkata: aku mendengar [Abdullah bin Lahi'ah] berkata: telah menceritakan kepada kami [Darraj Abu As Samh] bahwa [Abu Al Haitsam] menceritakan kepadanya dari [Abu Sa'id Al Khudri] dari Rasulullah Saw., bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah Saw.: "Wahai Rasulullah, alangkah beruntungnya orang yang dapat melihat dan beriman kepadamu." Lalu beliau bersabda: "Beruntunglah orang yang melihat dan beriman kepadaku, kemudian beruntunglah, beruntunglah dan beruntunglah orang yang beriman kepadaku dan dia belum pernah melihatku." Laki-laki tersebut berkata: "Apakah keberuntungan orang tersebut?" Rasulullah Saw.: "Sebuah pohon di surga yang besarnya seperti jarak seratus tahun perjalanan, pakaian penduduk surga yang keluar dari lengan bajunya."
Sebagaimana cerita yang masyhur, Uwais bukanlah termasuk seorang sahabat Nabi Saw. walaupun berada di masa yang sama. Semua pakar hampir sepakat bahwa Uwais tidak pernah bertemu langsung dengan Nabi Saw sebab jarak yang begitu jauh antara Makkah dan Yaman. Namun setidaknya dengan membaca hadits di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa keputusan Uwais yang memilih tinggal demi mendampingi ibunya yang sakit adalah keputusan yang didasari keimanan tanpa melihat pembuktian (live by faith, not by sight). Uwais lebih percaya konstitusi Nabi Saw. dalam hal-hal yang berada dalam jangkauannya. Jelas bahwa berbakti kepada ibu adalah konstitusi Nabi Saw. maka Uwais memilih mendampingi dan mengantarkan ibunya berhaji dengan cara menggendong dalam rangkaian ibadahnya. Ia tak peduli omongan masyarakat yang menuduhnya telah gila karena sebelumnya ia berlatih diri dengan melakukan ritual naik-turun gunung menggendong hewan ternak.
Di beberapa paragraf sebelumnya penulis singgung bahwa Uwais hanya memilki sebuah pakaian dan hanya makan sesuatu yang ada di tempat pembuangan (mazbalah). Ternyata keputusan Uwais ini juga merupakan manifestasi atas konstitusi Nabi Saw. yang di dalam hidup beliau sebisa mungkin menghilangkan potensi hisab yang panjang. Nabi Saw. diceritakan pernah mempercepat sholatnya untuk kemudian bersegera mengambil dinar yang ada di rumah beliau lalu dibagikan kepada orang fakir. Begitupun Uwais, ia acuh saja walaupun banyak orang yang mencemoohnya karena tidak sholat Jum’at. Yang ia yakini adalah jika ia memiliki lebih dari satu pakaian, lalu di saat yang sama terdapat orang yang membutuhkan dan ia tidak dapat memenuhinya maka ia akan dihisab oleh Allah Swt. di hari kiamat.
Makanan yang ada di tempat pembuangan (mazbalah) dipilih Uwais karena pasti makanan tersebut adalah makanan yang tidak dibutuhkan orang lain, ia tidak akan merasa bersalah memakannya karena tidak mungkin makanan tersebut diperebutkan di kalangan manusia. Sebagai penutup, penulis tidak ingin berkata bahwa kita harus mengikuti tindak laku Uwais seekstrim keterangan di atas, toh dalam kitab Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim, Imam Nawawi memberikan penjelasan bahwa Uwais ketika diketahui kewaliannya oleh Ibnu Hayyan, di antara pesannya kepada Ibnu Hayyan adalah agar ia mengikuti kesepakatan mayoritas (jama’ah al-muslimin), walaupun dalam tanda kutip Uwais sendiri adalah manusia minoritas. Yang ingin penulis tekankan adalah keimanan tanpa melihat pembuktian (live by faith, not by sight) yang mayoritas kita sandang ini merupakan barang mewah dan tak ternilai harganya, tinggal bagaimana kita mengaktualisasikan keimanan tersebut menjadi sebuah tindak laku yang mengikuti -walaupun tidak seluruh- tindak laku Nabi Saw.
Robi Pebrian