Allah SWT berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Kata آَثَارَهُمْ terambil dari kata tunggal أَثَرٌ yang berarti bekas atau peninggalan. Banyak 'ulama yang memaknai kata ini sebagai amal-amal manusia yang mereka tinggalkan sepeninggal mereka, seperti harta benda yang diwakafkan, ilmu pengetahuan yang diajarkan atau bangunan yang ditinggalkan untuk kepentingan sosial dan semacamnya. Dalam konteks ini Nabi Saw. pernah bersabda:
مَن سَنَّ سُنَّةً حَسنةً فعمِلَ بِها ، كانَ لَهُ أجرُها وَمِثْلُ أجرِ مَن عملَ بِها ، لا يَنقُصُ مِن أجورِهِم شيئًا ومن سنَّ سنَّةً سيِّئةً فعملَ بِها كانَ عليهِ وزرُها وَوِزْرُ مَن عملَ بِها من بعده لا ينقصُ من أوزارِهِم شيئًا (رواه مسلم)
"Siapa yang merintis/memulai dalam Islam satu kebaikan maka ia akan memperoleh ganjarannya dan ganjaran orang-orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang ganjaran mereka dan siapa yang merintis/memulai dalam Islam satu dosa maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa sedikit pun berkurang dosa mereka." (HR. Muslim)
Ada juga yang memahami kata آَثَارَهُمْ dalam arti-arti bekas langkah kaki menuju ketaatan atau kemaksiatan. Kedua pendapat tentang maksud kata tersebut tidak harus dipertentangkan, bahkan menurut Ibnu Katsir pendapat kedua mengukuhkan pendapat pertama, karena kalau bekas-bekas dan tempat-tempat amal baik saja dicatat, maka tentu lebih-lebih lagi amal-amal yang dilakukan di tempat itu.
Kaitannya dengan amalan yang ditinggalkan, kemudian kita mengenal dua jenis amalan yaitu amalan qaashir dan amalan muta’addi. Secara sederhana, amalan qaashir adalah amalan yang manfaatnya hanya untuk pelakunya saja. Sedangkan amalan muta’addi adalah amalan yang manfaatnya ada untuk orang lain, baik manfaat ukhrawi maupun manfaat duniawi. Hampir para fuqoha sepakat (kalau enggan berkata semua) menyatakan bahwa amalan muta’addi lebih utama daripada amalan qaashir. Dalam kitab Al-Faraid Al-Bahiyyah dicontohkan bahwa menuntut ilmu lebih utama daripada melakukan sholat sunnah. Asumsinya adalah orang yang menuntut ilmu minimal dia berupaya keras untuk memerangi kebodohan dirinya, sehingga tindak lakunya dalam kehidupan selalu berpatokan pada ilmu, dari hal tersebut maka kehidupan sosial bersmasyarakat menjadi lebih tertata karena dimulai dari kebaikan pribadi masing-masing. Shalat sunnah diasumsikan 'hanya' dapat meraih pahala ukhrowi yang tak kasat mata dan tidak ada dampak konkrit dalam kehidupan maka ia dinomorduakan. Apa betul seperti itu?
Diskusi perihal seberapa besar dampak sesuatu dapat dimulai dari sudut pandang yang sama bahwa Allah SWT memiliki sifat Al-Mubdi' (pencipta awal segala sesuatu) dan Al-Mu’id (pengulang-ulang segala sesuatu). Di dunia ini walaupun terjadinya sesuatu terlihat memiliki mekanisme yang berpola dan berulang-ulang, pasti akan selalu dipatahkan oleh sebagian sebab yang tak masuk hitungan. Yang kaya tidak melulu karena kerja keras, ada yang karena beruntung dilahirkan dari keluarga saudagar. Yang pintar tidak harus karena rajin belajar, dalam agama kita kenal ada istilah ilmu ladunni. Di berita-berita TV nasional, kita pasti akan ditontonkan seorang tukang becak dan semacamnya yang mampu berangkat haji, dimana ia jauh dari kata berkecukupan.
Hemat penulis, karena tidak ada mekanisme pola yang pasti inilah maka memikirkan seberapa besar dampak sesuatu hanyalah sebuah permainan ilusi semata. Besar-kecil dampak hanya persoalan siapa yang melihat. Melakukan kebaikan dengan semata-mata mencari ridho Allah SWT dan melakukannya dengan proposional terlihat menjadi opsi terbaik dibanding sekadar mengkalkulasi sebuah dampak kebaikan itu sendiri. Ibnu Qoyyim mengatakan:
أَفْضَلَ العِبَادَةِ العَمَلُ عَلَى مَرْضَاةِ الرَّبِّ فِي كُلِّ وَقْتٍ بِمَا هُوَ مُقْتَضَى ذَلِكَ الوَقْتِ وَوَظِيْفَتِهِ
“Ibadah yang paling utama adalah amalan yang dilakukan sesuai ridha Allah SWT dalam setiap waktu dengan memandang pada waktu dan tugas masing-masing.”
Kebaikan oleh Allah SWT dibuat dengan berbagai macam varian karena ia akan selalu terikat dengan dimensi waktu dan tempat yang meliputinya. Kebaikan seseorang yang masuk waktu shalat adalah segera shalat di awal waktu, namun ketika ia di saat yang sama didatangi oleh seorang tamu maka jenis kebaikannya kemudian beralih ke memuliakan tamu tersebut. Selama tugas-tugas kebaikan terlaksana secara proposional, kecil atau besar, maka ia secara alamiah akan melewati proses-proses yang terukur membentuk sebuah keutuhan manifestasi. Allah SWT berfirman:
فَلْيَنظُرِ الْإِنسَانُ إِلَىٰ طَعَامِهِ
"Maka hendaklah manusia itu berangan-angan terkait makanannya." (QS. Abasa: 24)
Sepiring makanan yang ada di hadapan kita menjadi contoh paling real bahwa sesuatu yang sesederhana itu pun sudah disetting oleh Allah SWT dari berbagai penjuru sebab, mulai dari sebutir nasi yang bisa jadi diimpor dari negara antah berantah mana hingga sendok yang mungkin saja dibuat oleh seorang pandai besi yang hanya diupah sekadar untuk mencukupi keluarganya.
Penulis juga percaya bahwa kesuksesan sebuah acara lahir dari ide dan gagasan besar untuk kemudian menjalar ke seluruh kepanitian hingga detail-detail semisal sigapnya bapak-bapak tua penjaga keamanan yang mengatur lalu lintas parkir dan cekatannya tukang cat kamar mandi -yang temboknya dicoret-coret segala rupa- demi menjaga kebersihan tempat acara.
Terakhir, penulis agaknya cenderung menyetujui pendapat Imam Izzuddin bin Abdissalam terkait teori ini. Beliau mengatakan bahwa kaidah amalan muta'addi lebih utama dari amalan qaashir tidaklah sesuatu yang mutlak. Iman kepada Allah SWT yang tampaknya 'hanya' berdampak pada diri sendiri menurut beliau justru harus menjadi prioritas utama karena dari iman inilah yang kemudian dapat mengejawantahkan amalan-amalan lainnya, termasuk amalam muta'addi. Wallahu a'alam bis shawaab.
Robi Pebrian