• madrasatuna.1953@gmail.com
  • 0321-865280 (Putri) / 0321-3083337 (Putra)
  • Home
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi dan Misi
    • Sambutan Kepala Madrasah
    • Struktur Personalia Organisasi
    • Jenjang Belajar Dan Ijazah
    • Data Guru
  • Program
    • Program Strategis 5 Tahun (2023-2028)
    • Rencana Kerja 1 Tahun (2023-2024)
    • Rencana Kerja 1 Tahun (2024-2025)
  • Publikasi
  • Pengumuman
  • Download
  • Kontak

Kecerdasan Emosi Ala Santri: Menemukan Kembali Kearifan Kitab Kuning Di Era Modern

  • Home
  • Berita
Artikel Rabu, 05-November-2025 04:05 80

Hanif yang Bergejolak

Di pesantren yang hiruk pikuk dengan jadwal padat, seorang santri bernama Hanif baru saja keluar dari ruang Asatidz setelah ditegur keras karena hafalannya menurun. Rasa malu dan kecewa menumpuk jadi satu, seakan semua usahanya sia-sia. Langkahnya terhenti ketika mendapati sandal kesayangannya basah kuyup terkena air wudhu yang tumpah dari ember santri lain. Sepele, tetapi di kepalanya yang penuh tekanan, itu terasa seperti pukulan terakhir. Dengan wajah tegang, ia menatap santri kecil yang membawa ember itu. "Kamu tidak bisa lihat jalan?!" bentaknya sambil menendang sandalnya ke arah tembok. Santri kecil itu terdiam, matanya berkaca-kaca, sementara hanif sendiri tercekat mendengar suara kasarnya.

Dalam hening yang menekan, ia baru sadar bahwa kemarahannya bukan pada sandal yang basah, melainkan pada dirinya sendiri yang sedang rapuh. Sepanjang malam, Hanif terbaring gelisah. Air mata mengalir tanpa ia pahami sebab pastinya. Di kelas pagi harinya, ketika Ustadz menerangkan kitab Akhlak lil Banin tentang menahan amarah, Hanif hanya bisa menunduk malu. Ia ingat betul teori tentang khadimul hawa yaitu menjadi pelayan bagi hawa nafsu, tapi praktiknya ternyata begitu sulit. "Apa gunanya hafal kitab tebal-tebal kalau mengelola emosi sendiri saja tidak mampu?" keluhnya dalam hati.

Dari Kitab Kuning hingga Daniel Goleman

Apa yang dialami Hanif sebenarnya adalah persoalan klasik yang justru telah dijawab oleh tradisi pesantren berabad-abad silam, meski dengan bahasa yang berbeda. Jika psikolog modern seperti Daniel Goleman memopulerkan konsep Emotional Intelligence (kecerdasan emosional) pada 1995, kitab-kitab kuning pesantren telah membahasnya dengan istilah seperti tazkiyatun nafs (pensucian jiwa) atau tahdzibul akhlak (penyempurnaan akhlak). Kecerdasan emosional dalam perspektif modern mencakup kemampuan mengenali, memahami, mengelola, dan memanfaatkan emosi secara produktif. Sementara dalam tradisi pesantren, pengelolaan emosi adalah jalan menuju insan kamil yaitu manusia paripurna yang memiliki akhlak mulia. Dua tradisi yang terpisah zaman ini ternyata sedang membicarakan kebenaran yang sama bahwa kesuksesan hidup tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual, tetapi terutama oleh kemampuan mengelola dunia batin sendiri.

Khadimul Hawa: Seni Mengelola Emosi, Bukan Mematikan Perasaan

Konsep khadimul hawa sering kali disalahpahami sebagai upaya mematikan emosi sepenuhnya. Padahal makna sesungguhnya lebih halus dari itu, menjadi pelayan yang bijak bagi emosi, bukan budak yang dikendalikan olehnya. Seperti seorang pelayan setia yang mengenal tuannya dengan baik, kita diajak untuk benar-benar mengenal setiap emosi yang muncul seperti kapan kemarahan hadir, bagaimana rasa cemas berbicara, apa yang diinginkan oleh rasa iri. Dalam kerangka kecerdasan emosional modern, ini setara dengan self-awareness atau kesadaran diri akan emosi. Seorang santri yang mendalami khadimul hawa tidak serta-merta menjadi robot tanpa emosi, melainkan menjadi manusia yang mampu merespons situasi dengan tepat karena memahami apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Ia bisa marah ketika melihat ketidakadilan, tetapi marah yang terkendali dan produktif. Ia bisa sedih ketika mengalami kegagalan, tetapi sedih yang tidak menjerumuskan pada keputusasaan.

Mujahadah an-Nafs: Latihan Kesadaran Emosi Setiap Hari

Mujahadah an-nafs (bersungguh-sungguh melawan nafsu) sering digambarkan sebagai pertarungan heroik melawan godaan besar. Namun dalam praktik sehari-hari, mujahadah justru terjadi dalam momen-momen kecil seperti ketika ingin membalas ucapan kasar dengan lebih kasar lagi, ketika rasa malas mengajak untuk meninggalkan shalat berjamaah, atau ketika keinginan untuk bergosip menggerogoti persaudaraan. Inilah yang dalam psikologi modern disebut sebagai emotional regulation atau kemampuan mengatur respons emosional. Setiap kali seorang santri berhasil mengambil jeda sejenak sebelum bereaksi, menghela napas dalam-dalam saat marah, atau memilih untuk tersenyum ketika hati ingin cemberut, itulah mujahadah yang sesungguhnya. Proses ini mirip dengan latihan otot di gym dimana semakin sering dilatih, semakin kuat kemampuan kita dalam mengelola emosi. Tradisi pesantren dengan jadwal yang teratur dan disiplin yang ketat sebenarnya menyediakan medan latihan yang ideal untuk melatih "otot emosi" ini setiap hari.

Muhasabah: Kunci Membaca Bahasa Hati

Sebelum tidur, tradisi pesantren mengajarkan muhasabah atau mengintrospeksi diri atas segala yang telah dilakukan seharian. Dalam konteks kecerdasan emosional, praktik ini adalah bentuk emotional awareness yang sangat sophisticated (rumit). Bukan sekadar menghitung dosa dan pahala, muhasabah yang benar melibatkan proses menelusuri "Mengapa tadi pagi saya mudah marah?" "Apa yang sebenarnya membuat saya iri dengan prestasi teman?" "Bagaimana perasaan saya ketika diminta membantu dan mengapa saya menolak?" Dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif ini, seorang individu belajar menjadi observer bagi emosinya sendiri. Ia tidak lagi dikuasai oleh emosi, tetapi mampu berdiri sedikit menjauh untuk memahami pola-pola emosional yang berulang dalam dirinya. Seperti ilmuwan yang meneliti spesimen, muhasabah mengajarkan kita untuk mempelajari emosi dengan rasa ingin tahu, bukan dengan penghakiman. Inilah dasar dari pertumbuhan emotional intelligence atau kemampuan untuk belajar dari setiap pengalaman emosional.

Ta'awun: Empati yang Diwujudkan dalam Aksi

Nilai ta'awun (tolong-menolong) dalam kehidupan pesantren adalah laboratorium praktik empati yang paling nyata. Ketika seorang individu membantu temannya yang kesulitan memahami pelajaran, atau menghibur yang sedang sedih, ia sebenarnya sedang melatih empathy (kemampuan memahami perasaan orang lain). Yang menarik, tradisi pesantren tidak berhenti pada teori tentang empati, tetapi langsung mempraktikkannya dalam kehidupan komunitas sehari-hari. Hubungan senior dan junior, sistem bandongan (belajar bersama dalam kelompok), dan budaya berbagi dalam kehidupan asrama menciptakan ekosistem dimana empati bukanlah konsep abstrak, melainkan keterampilan yang harus dilatih terus menerus. Dalam perspektif neuroscience, praktik ta'awun yang konsisten actually dapat menguatkan neural pathways yang terkait dengan empati dan compassion. Dengan kata lain, semakin sering seseorang praktik ta'awun, semakin "otak empatinya" terlatih.

Akhlak sebagai Kecerdasan Emosi Paripurna

Apa yang diajarkan dalam kitab kuning tentang akhlak ternyata bukan sekadar kumpulan norma moral yang kaku, melainkan sistem pengembangan kecerdasan emosional yang sangat sophisticated. Dari khadimul hawa yang mengajarkan kesadaran diri, mujahadah yang melatih pengelolaan emosi, muhasabah yang mempertajam refleksi, hingga ta'awun yang mengasah empati, semuanya adalah mata rantai yang saling terhubung dalam membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional.

Ketika Hanif menyadari hal ini, ia pun mulai melihat kitab kuning dengan cara yang baru. Bukan sebagai buku usang yang berisi larangan dan perintah, melainkan sebagai manual pengembangan diri yang timeless. Pelan-pelan ia belajar bahwa emosi bukanlah musuh yang harus dimusnahkan, tetapi sahabat yang perlu dipahami bahasanya. Dan dalam proses memahami bahasa emosi itulah, ia menemukan jalan menuju kedewasaan sejati sebagai santri, sebagai muslim, dan sebagai manusia.

Oleh : Muhibullah (Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Alumni Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun)

Bagikan :

Tags

Muallimin Muallimat Tambak Beras

Data dan Fakta

Jumlah Rombel 81 Rombel
Jumlah Total Siswa 3.022 orang
Jumlah Siswa Putra 1.553 orang
Jumlah Siswa Putri 1.469 orang
Guru dan Pegawai 204 orang

Pengumuman Terbaru

  • Jadwal PTS I 2025/2026
  • Edaran PTS I 2024/2025
  • Jadwal PTS I Tahun Ajaran 2024/2025
  • Brosur PPDB 2024

Berita Terkini

Kecerdasan Emosi Ala Santri: Menemukan Kembali Kearifan Kitab Kuning Di Era Modern
Kepala Kemenag Jombang Monitoring TKA di Madrasah Muallimin Muallimat
Kanwil Kemenag Jatim Lakukan Monitoring Pelaksanaan TKA di Madrasah Muallimin Muallimat
Menggiatkan Musyawarah (Diskusi) Buku
Hasil Garudeya FC Vs Atheria FC, Arfi Cetak Gol, Garudeya Pastikan Tiket Semifinal MMA Cup 2025

Gallery

  • Album(4)
  • Video(25)

Link Pendidikan

  • UNIVERSITAS AL AZHAR
  • KEMENAG RI
  • PENDIS KEMENAG RI
  • PP BAHRUL ULUM

Tentang Kami

Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Bahrul Ulum Tambakberas Jombang didirikan pada tahun 1953 oleh KH Abdul Fattah Hasyim. Madrasah ini menjalankan kurikulum 70% pelajaran Salaf Pesantren dan 30% pelajaran Kurikulum Nasional. Siswa Madrasah Muallimin Muallimat mengikuti ujian negara tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs) bagi siswa kelas 3, dan mengikuti ujian negara tingkat Madrasah Aliyah (MA) bagi siswa kelas 6.

Profil
  • Sejarah
  • Visi dan Misi
  • Sambutan Kepala Madrasah
  • Struktur Personalia Organisasi
  • Jenjang Belajar Dan Ijazah
  • Data Guru
Alamat

Jl. Tanjung, dusun Gedang, Tambakrejo Jombang, Jawa Timur, Indonesia

Copyright © 2121 All rights reserved | Be-Tech