Tuhan sangat bersungguh – sungguh dalam mengurusi
setetes embun yang Ia tampung di sehelai daun
Tuhan sangat menyayangi sepenuh hati
setitik debu yang menempati persemayamannya di tengah ruang
Tapi kita iseng sesama manusia
Kita tidak serius terhadap nilai-nilai
bahkan, Terhadap Tuhan pun kita bersikap setengah hati*
Ini adalah serpihan realita yang ‘ku punya. Meski tak utuh terekam, namun cukup untuk sebuah cambuk kehidupan. Kisahku di pesantren tentang seorang sahabat terbaikku di madrasah (meski antara madrasah dan pondok masih dalam satu naungan yayasan, tapi tidak keseluruhan teman madrasahku tinggal di pondok. Banyak juga anak kampung sekitar. Termasuk sahabatku ini). Dia dikenal ramah, periang, sosialnya luar biasa dan seluruh konsep yang memenuhi tatanan seorang wanita muslimat yang baik. Fitri, namanya. Berparas cukup cantik, kulit sawo matang, wajah tedu dibalik balutan kerudung. Teman-teman di sekolah memanggilnya Khumairo’ (perempuan dengan pipi kemerah-merahan).
Sayang, bukan hal tadi yang hendak aku ceritakan. Tapi, bagaimana dia menjadi korban pecinta Tuhan yang terlempar dari rel esensi keagamaan. Akhirnya, merubah dirinya menjadi sosok yang tak aku kenal lagi.
Aku bukanlah seorang Pujangga atau Pengarang. Bila dalam menuturkan sederetan peristiwa terdapat ratusan cela, itu suatu kewajaran.
Baiklah, aku mulai saja bercerita.
***
Segalanya berawal, ketika ayahnya menganut sebuah ajaran, kata banyak orang, sudah tersesat. Sulit juga untuk menggali pengertian sesat. Karena kata sesat sendiri sudah mengalami penyempitan makna dan pendangkalan paham. Tergantung siapa yang memandang.
Masih samar apa sebenarnya amaliyah Pak Parto, ayah Fitri, sehingga dia menyandang predikat penganut alirat sesat. Jelasnya, pada waktu-waktu tertentu dia meninggalkan rumah selama beberapa hari, dan ketika pulang membawa beberapa teman berpenampilan laksana penduduk asli Jazirah Arab.
Mengikuti sebuah ajaran yang tidak lazim diikuti masyarakat, lebih-lebih masyarakat lingkungan pesantren, pastinya akan banyak menuai resiko. Cemooh tetangga sudah menjadi makanan harian. Fitri sendiri tak menyiapkan telinga dan memilih untuk diam meski dibenaknya terdapat seribu jawaban. Yang jelas, pada suatu malam, ayahnya pernah mengatakan, “Setiap manusia pasti berusaha mencari kebenaran. Dan pastinya akan ada perbedaan di dalamnya. Kau tahu kenapa?” berhenti sejenak mengambil nafas dalam. Fitri hanya menggeleng. “Kebenaran menuju Tuhan tidaklah dangkal. Kalau saja ada orang datang dengan memberi pencerahan yang lebih baik, setiap saat Ayah bersiap koq menghianati pemikiran yang selama ini Ayah anut!” lanjut Ayah Fitri. Sebuah perkataan luar biasa yang cukup membuat Fitri lega.
Apalagi di Aliyah, Guru Qur’an-Hadist sering berkata, “Perbedaan dalam Islam adalah rahmat dari Tuhan”. Lebih-lebih dalam pelajaran Antropologi, dia pernah mendengar, penganut Islam di Indonesia itu bersifat fleksibel, moderat dan siap menampung pemikiran baru. Tenanglah dia akan ayahnya, karena hal-hal itu cukup sebagai pedoman mengeja kehidupan.
Februari 2011 (Tragedi Kemanusiaan)
Menjelang Pertengahan bulan. Malam mencekam membawa malapetaka datang. Ketika Fitri sekeluarga sedang berbincang-bincang di ruang tamu. Segerombolan orang tak dikenal menyerang rumah Fitri. Dengan teriakan takbirnya, mereka mempora-porandakan tatanan rumah dan memukuli Ayah Fitri yang sudah tua.
Diserbu rasa takut yang mencekam, membuat langkah Fitri dan Ibunya secepat mungkin menuju kamar untuk melindungi diri. Di dalam kamar sempit dan pengap yang berada di sudut utara tak jauh dari ruang tamu, mereka senantiasa mendaratkan pandangan ke ruang tamu. Dimana gerombolan asing itu sedang asyik memukuli Ayah Fitri. Mereka hanya bisa merasakan asinnya air mata. Teriakan takbir dan lontaran lantang kata “kafir” yang mereka dengar semakin memecah air mata.
Beberapa saat kemudian
Setelah para pembuat onar angkat kaki, barulah Fitri dan ibunya menghampiri sang ayah. Terlihat ruang tamu yang sebelumnya tertata rapi, kini bak kapal pecah. Lebih mengenaskan, ayahnya terlunta-lunta menyemburkan darah dan kemudian terkapar kehabisan daya. Dengan umur yang sudah melengkung senja, ditambah luka-luka hasil intimidasi, memudahkan jalan Izroil mencabut nyawanya.
Tidak ada pembelaan termasuk dari para tetangga. Mungkin juga mereka mengiyakan. Aparat negara juga tak melakukan pengusutan lebih dalam. Menurut banyak berita, hari-hari sebelumnya, kejadian serupa juga terjadi di beberapa tempat.
Ringkas cerita : kesedihan mendalam yang dirasakan ibu Fitri menjadikanya sering sakit-sakitan. Akhirnya untuk kali ke dua, seminggu setelah kewafatan ayah Fitri, Izroil bertandang ke rumah Fitri dalam rangka yang sama. Kali ini mencabut roh yang sudah lama bersarang di tubuh Ibu Fitri. Lengkaplah penderitaan tokoh kita ini. Hidup sebatang kara di rumah yang buta dan tuli.
Sejak saat itu, pandangannya pun berubah. Baginya, Islam di Indonesia seperti Serigala di hutan rimba. “Tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan pemeluk dan penduduknya” jeritnya, lirih.
Meski tidak memiliki saudara, ia masih memiliki bibi yang baik hati. Sang bibi yang memang bisa merasakan kedalaman duka keponakannya, dengan suka rela bersedia menopang hidupnya. Berusaha menjadi pelita bagi hati Fitri yang sunyi.
Apapun yang dilakukan Bu Desi, Bibi Fitri, ternyata sia-sia. Fitri tetap tidak bisa bersahabat dengan kenyataan dan memendam api dendam. Hari-harinya selalu terlihat gelisah dan merubah prilakunya. Apalagi kala arus pikiranya bergulir ke memori kelam itu, air matanya selalu tumpah. Jika di tampung dalam sebuah wadah, mungkin sudah terkumpul puluhan gelas air mata.
Kami di madrasah dibuatnya bingung dengan perubahannya. Khumairo’ yang dulunya suka menabur senyuman, kini bibirnya selalu menyungging garis-garis kegetiran. Mata sang surya yang dulunya memancarkan kasih sayang, kini harus terlihat menakutkan. Tubuhnya yang tinggi dan ramping, kini terlihat tipis. Jarang bicara dan sering menyendiri menatap langit dengan kaku dan beku. Persahabatan kami pun mulai renggang. Pokoknya dia berubah, titik!
Bukan berarti aku ingin melepaskan sifat manusiawi yang mudah berubah pada dirinya! Tapi… entahlah, memang manusia yang tertimpah masalah bisa terbunuh kecerdasan emosi dan spiritualnya.
Aku dihadapkan dua pilihan. Pertama, membiarkan keadaan berlarut-larut tanpa suatu tindakan dan rasa keprihatinan. Kedua, memikul tanggung jawab untuk berusaha merubah keadaan. Sebagai seorang sahabat yang memahami relung-relung kejiwaan Fitri, aku memilih yang kedua.
Dengan aneka cara aku mencoba menerbitkan senyuman yang sudah cukup lama tenggelam, meluluhkan batu dendam yang menancap pada hatinya. Aku juga sering menasehatinya bahwa, memaafkan keadaan adalah memberi sedikit ruangan bagi rasa benci dan dendam. Tapi, seperti apa yang kuduga tetapi tak kuharap terjadi , semua usahaku sia-sia. Membuatnya seperti dulu bak ingin mendatangkan Pinguin di padang pasir.
Maret 2012
Kehawatiranku semakin lama semakin menjadi-jadi. Di mataku tiba-tiba dia hilang ditelan bumi. Dimulai dari beberapa hari alpa di madrasah. Apalagi ini adalah hari-hari mendekati ujian nasional. Pak Romli, wali kelasku, mencoba mendatangi rumah Fitri. Sayang, Fitri tidak mau ditemui.
Tidak tahan hanya berdiam diri, aku memutuskan meminta izin pada pengurus pondok untuk menjenguk Fitri. Hasilnya nihil. Aku sudah ke rumahnya, malah si Fitrinya yang tidak ada. Aku hanya mendapat cerita dari Bu Desi, bahwa dia sering keluar pagi dan pulang ketika senja kemerah-merahan, kadang-kadang malahan sampai larut petang. Bu Desi sempat menasehatinya, tetapi, “Dia malah menimpali saya dengan berkata seperti peluru” ujarnya.
April 2011
“Mbak Rizka!” Pak Satpam berlari kecil ke arahku, ketika aku baru masuk gerbang madrasah.
“Ada apa, pak?” tanyaku, “kayak ada perkara yang penting aja”.
“Ini ada titipan surat” Pak Satpam menyodorkan sepucuk surat yang diikat pita berwarna merah.
“Dari siapa, pak?” aku mengambil amplop surat itu.
“Gak tahu, neng! Tadi itu ada perempuan muda berambut panjang, di bahunya ada kerudung, cantik dan penampilannya necis banget, ngasiin surat itu. Kelihatanya sih bapak kenal, tapi lupa. Dianya juga buru-buru. Dibaca aja!”
“Iya, makasih, pak!”
“He’e. Ayo langsung masuk kelas” Pak Satpam beranjak menuju gerbang memeriksa anak-anak yang masih tersisah di luar madrasah.
Aku buka surat itu pelan-pelan :
Untuk Sahabatku, Rizka
Maaf Riz, aku begitu menjahatimu. Kau selalu memahami dan memperhatikan aku. Tapi, aku selalu mengelak. Lebih parah lagi aku tidak memahamimu kalau engkau sedang memahamiku.
Sebelumnya, sedapat mungkin aku selamat-selamatkan imanku. Tapi, kini aku berada di tepi. Dimana akan sulit membuatku ‘tuk kembali. Tepi perbatasan : betapa tipisnya keimanan pada arti rahmat agama dan Tuhan. Kau mungkin tak percaya, Riz.
Sebab? jangan tanya : Tengoklah! Orang yang terlalu beriman dan terlalu Islam yang selalu angkat senjata tinggi-tinggi atas nama sang Hyang Karya Jagat yang (katanya) Maha Rahmat.
Kisah-kisah Nabi Muhammad yang aku peroleh dari madrasah dan ngaji dulu, rasanya cuma dongeng belaka. Tidak ada yang mungkin mampu menjadi Sri Sultan Penggembala manusia menuju Kedamaian. Yang ada hanya : saling menikam, fanatisme buta, menghakimi pemikiran seenaknya, kaum minoritas selalu kalah dan mayoritas selalu berjaya.
Rahmat hanya indah di lisan tanpa menghiasi perilaku penganutnya. Bahkan, bukan hanya Islam saja! Semua agama akrab dengan darah. Semua berteriak ; memekikkan api dendam atas nama tuhan yang disambut mengalir derasnya air mata korban.
Begitu bayan perkataan Niesche, “Agama adalah candu manusia” lebih-lebih dalam konteks jaman sekarang. Dan itu adalah candu yang paling berbahaya daripada harta. Bukankah Masih Lebih baik berperang demi harta dari pada demi agama? Perang atas nama cinta Tuhan, maka sama saja menabur benih kehancuran. Lebih baik aku mengudetakan Tuhan dalam diriku. Kini tidak ada tempat Tuhan di relung-relung hati dan jiwaku. Atau memang Tuhan telah mati, hingga aturan-aturanya tidak di ta’ati. Aku akan menjadi manusia yang belajar menyelami laut kepahaman apa arti kemanusian tanpa menunggu perintah agama.
Sahabatmu, Inda Nur Safitri
Aku lipat kemudian aku masukkan surat itu kedalam saku bajuku. Dengan mata yang tak terbendung untuk basah, aku berlari pada Pak Satpam.
“Pak, a…a…apa Fitri baru saja pergi?” tanyaku tersendu-sendu
“Fitri siapa?”
“Yang ngasih surat tadi”
“Oh… gak terlalu lama. Mungkin belum jauh, neng”
“Makasih, pak” aku menerobos Pak Satpam melewati pagar.
“Neng! Neng! Mau kemana?” Pak Satpam berusaha mencegahku.
Aku tidak peduli. Aku berlari menyusuri jalan. Sesekali berhenti guna bertanya pada orang yang berpapasan di jalan. “Fitri, dimana kamu?” gerutu hatiku.
Aku terus berlari hingga jalan pertigaan desa yang lurus menuju jalan raya. Aku melihat seorang wanita berambut panjang, memakai celana jens sedang berjalan menuju arah jalan raya. Iya, dia Fitri. Meski penampilanmu kini berubah, aku tetap bisa mengenalimu, sahabatku, Fitri.
“Fitri! Fitri!” teriakku. Aku mempercepat langkah.
Wanita itu menoleh ke arahku. Dan benar, dia Fitri. Seketika melihat aku, dia bukanya menghampiriku, malah ia berlari menajuhi. Aku juga masih terus berlari.
“Fitri! Ini aku Rizka! Kenapa kamu berlari?” tidak terasa seluruh mukaku sudah basah oleh air mata.
Teriakanku ternyata tidak mendapat respon. Dia malah mempercepat kaki seribunya.
Dia berlari hingga ujung jalan desa menuju jalan raya. Aku terus mengejarnya. “Aku bukan Fitri yang dulu lagi!” dia menoleh ke belakang. Matanya berkaca-kaca. Ada sebuah mobil Avanza berwarna hitam melaju dari arah berlawanan. Dan…
Braaaaak
“Fitriii!”
Fitri tertabrak dan tubuhnya terplentang tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku hanya terpaku melihat sahabatku berlumuran darah. Kemudian banyak orang berdatangan mengerumuni Fitri.
Dengan kecelakaan itulah yang dijadikan perantara Izroil untuk mencabut nyawa sahabatku yang masih sangat mudah. Padahal, baru saja bertemu kembali dengannya. Bahkan belum sempat bicara. Memang maut selalu bergurau dengan hidup.
Sahabatku, Fitri, telah pergi membawa duka dan dendamnya.
Seperti janjimu, Tuhan! Apa engkau akan tega memasukkan Fitri ke dalam neraka?