Oleh: Ahmad Afiq Al Hamidy (Kelas 2B1 Putra)
7 Ramadan 1440 Hijriah, sekitar pukul 1 siang, mobil yang kutumpangi telah meninggalkanku sendiri. Merasa sendiri di tengah keramaian tempat suci ini, Ribath Annashriyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Setelah sebelumnya, aku diajak sowan ke pengasuh pondok ini, KH Taqiyudin Mawardi (Gus Yuyud), untuk "menitipkan" diri kecilku ini, yang tidak membawa apa-apa selain pakaian, sarung, dan secuil ilmu Tata Bahasa Arab yang kubawa dari daerah asalku.
Aku tidak mengenal siapa-siapa di tempat ini, sebelum Gus yuyud mempertemukanku dengan seseorang yang aku kenal dengan panggilan Mas Miftah, yang kebetulan ia satu sekolah denganku, Madrasah Muallimin Muallimat Enam Tahun. Au dikenalkan dengannya hanya dengan sesingkat kata
"Ini mas miftah, sama sekolahnya dengan sampeyan, sekolah Muallimin".
Setelah itu, Aku sholat Dhuhur berjamaah dan menemukan sesuatu yang membuatku takjub, yang tak kutemui dirumah, diantaranya, pertama kali jamaah Dhuhur dengan jamaah sebanyak ini, saat wiridan pun semua ikut melantunkan bacaan-bacaan wirid. Setelah mushofahah dengan imam, seluruh jamaah dengan spontan langsung berdiri untuk melaksanakan sholat Rawatib Ba'diyah Dhuhur dengan tetap memperhatikan kelurusan shaf seperti saat sholat berjamaah, serta tak ada jamaah yang masbuk.
Hal hal seperti itu, tak mudah kujumpai di daerah asalku, dimana sholat Dhuhur berjamaah hanya 1 shof, itu pun tak penuh. Wiridan hanya imam dan makmum yang sepuh-sepuh saja yang mengikuti. Jangankan sholat sunah, banyak yang sudah pulang saat di tengah-tengah wiridan. Hal-hal seperti itu, membuat takjub diri saya yang hina ini.
Hanya jamaah Dhuhur, sudah banyak hal yang membuatku takjub, belum lagi saat setelahnya, dimana mereka berebut membalikkan sandal sang imam, mengaplikasikan "ikromuddhoif" dengan cara membalikkan sandalku dan abahku yang saat itu masih ber status tamu, kakak-kakak tingkat yang membantuku menata isi lemari, dan sebagainya.
Tentang lemari, saat aku masuk pondok, dimana semua lemari di pondok sudah penuh, dan aku tak mendapatkan lemari yang kosong, ada 2 kakak tingkat yang mengambilkan lemari plastik (yang nantinya akan aku gunakan sementara) di pondok putri, tentu dengan seizin Gus Yuyud.
Setelah menata lemari, mereka berdua mengikuti ngaji kilatan (ngaji kitab yang khusus dikaji di bulan Ramadhan) dimana ngaji tersebut, lagi-lagi membuatku takjub, yang mana tak ada di antara para santri yang mengikuti ngaji, ngobrol sendiri, grusak grusuk, dan lain sebagainya. Semua menundukkan kepala, fokus, dan lmendengarkan semua perkataan penting yang keluar dari lisan sang "qori".
Setelah berhari hari, berminggu minggu, dan berbulan bulan aku bertempat di Annashriyah ini, aku mulai mengenal jargon jargon yang aku dapatkan dari guru guru yang ada di pesantren ini, baik dari guru pondok maupun dari guru di sekolah seperti:
- "Albiso minal kulino"
- "Man soro pasti biso"
- "man jadda wajada"
- "al ajru biqodritta'ab"
- "biqodri ma tata'anna, tanaalu ma tatamanna"
- "Man khodama khudima" dan sebagainya. Hal hal seperti itu, membuat ku bertanya-tanya, "bagaimana jadinya aku jika aku tak sungguh-sungguh" begitu ucapku pada diriku.
Dan yang paling terpenting setelah aku beberapa saat di sini, aku mengerti arti pentingnya ngaji, ngaji, dan ngaji, Di mana di Annashriyah, setiap hari ngaji meskipun hari jumat. Sangat jarang libur. Meski libur paling tidak Ashar atau Maghrib sudah mulai mengaji lagi, dan setelah tiap-tiap hari mengaji, aku menyadari bahwa, nikmat terbesar dalam hidupku adalah mengaji. Sebagaimana motto Annashriyah
"Annashriyah, bagi mereka yang mau mengaji". Yang mana "mafhum mukholafah" dari motto tersebut adalah
"yang tak mau mengaji, tak usah di Annashriyah" begitu dawuh Gus Yuyud, dan benar, di antara banyaknya santri Annashriyah, tak sedikit diantaranya yang "agak malas" untuk mengaji, dan itu membuat dirinya makin lama makin jauh dari pesantren, dan hal tersebut membuat nya hengkang dari Qnnashriyah.
Dari ngaji, ku tahu bahwa peka itu penting. Dimana adab puncaknya ilmu, dan puncaknya adab adalah peka. Jadi peka itu inti daripada inti, atas di segala sesuatu.
Dari ngaji, ku tahu bahwa "perjuangan di jalan Allah tak kan sia-sia" yang mana, motto ini selalu diqiyaskan dengan kata-kata lain seperti:
Ngajimu, ngantukmu, roanmu, bersih-bersihmu jika di jalan Allah tidak sia-sia. Motto ini mendoktrinku bahwa semua yang kita lakukan berasas, berdasarkan, dan berada di jalan Allah itu semua takkan sia-sia.
Dari ngaji, ku tahu bahwa sholat jamaah itu memberikan dampak positif yang sangat besar, sesuai dengan hadits nabi "Sholaatul jama'ati afdholu min sholatil faadzi bisab'in wa'isyrina darojah".
Sholat jamaah tidak hanya bermanfaat untuk menghidupkan sunah sunah nabi, tapi dampak positif yang lain diantaranya menjalin silaturrahim sesama kaum muslimin, mendapatkan pahala sebesar 27 derajat, serta membentuk kedisiplinan diri, baik di dalam melakukan taat kepada Allah, maupun sesuatu yang lain di luar sholat.
Hal sederhana tapi mewah lain yang ku dapati dari mesantren adalah mayoran. Mayoran adalah makan bersama-sama dalam satu wadah, bisa satu pondok, satu kamar maupun satu komuniti yang lain, yang ada di pesantren. Mayoran mempererat hubungan antara santri satu dan lainnya, refreshing bagi para pengembara, dan perbaikan gizi. Mayoran juga bermanfaat mengikuti fi'liyah Nabi, dimana Nabi juga sering makan bersama sama.
Inilah sedikit dari pengalaman saya mesantren/mondok yang masih belum lama.