Setelah melangsungkan akad nikah, dan acara resepsi pernikahan sudah selesai, sekitar tahun 1985, Kiai Nashir melakukan perjalanan bersama sang istri, Ny Ummu Salma, ke Jakarta. Perjalanan ini, pertama diniati silaturrahmi ke saudara-saudara yang tinggal di Jakarta. Kedua, karena pengantin baru, niatnya tentu adalah menikmati masa-masa indah penganti baru dengan menjalani honeymoon.
Dalam melakukan silaturrahim, salah satu keluarga yang dituju adalah keluarga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang pada saat itu tinggal di salah satu wilayah di Jakarta.
Gus Dur adalah kakak misan Kiai Nashir dari ibu. Ibu-nya Gus Dur (Ny Hj Sholihah Wahid) adalah kakak dari ibu-nya Kiai Nashir (Ny Hj Musyarofah Fattah), keduanya adalah putri KH Bisri Syansuri Denanyar Jombang, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama.
Saat silaturrahmi di rumah Gus Dur, Kiai Nashir sempat berbincang dengan Gus Dur tentang berbagai hal. Salah satu perkataan Gus Dur, yang sangat mempengaruhi Kiai Nashir dalam menjalani kehidupan selanjutnya adalah ucapan Gus Dur yang mengandung ramalan tentang Kiai Nashir. "Umurmu iku gur sampek petang puluh (umurmu itu hanya sampai empat puluh)," kata Gus Dur dengan entengnya.
Entah bercanda atau serius, di benak Kiai Nashir hanya terpikir, perkataan Gus Dur sesuai dengan yang sudah-sudah biasanya sangat tepat. Ramalan Gus Dur sebagaimana yang sudah pernah diketahui Kiai Nashir, banyak yang sesuai kenyataan.
Sepulang dari Jakarta itu, di benak Kiai Nashir yang saat menikah dan kemudian bertemu dengan Gus Dur tersebut berumur 29 tahun menginjak umur 30 tahun, merasa hanya punya harapan hidup sampai umur 40 tahun. Berarti hidup hanya kurang 10 tahun.
"Selama hampir sepuluh tahun, sejak tahun 1986 sampai tahun 1996, hidup saya hanya berputar antara mengajar di Madrasah Muallimin Muallimat, jamaah di Masjid Tambakberas dan mengaji kitab kuning untuk santri. Di luar itu jika ada waktu senggang pergi ke pasar untuk kulakan barang-barang yang saya jual untuk keperluan santri," kata Kiai Nashir, mengisahkan saat setelah nikah dan setelah dibilangi Gus Dur.
Sebagian besar waktu benar-benar digunakan untuk ibadah: sholat, dzikir, belajar, mengajar dan bekerja untuk keluarga. Tidak mau melakukan kegiatan-kegiatan yang lain, baik kegiatan organisasi atau kegiatan mengaji di masyarakat. Bagi Kiai Nashir, masa-masa itu adalah masa menunggu ajal menjemput.
Pada tahun 1996 Kiai Nashir genap berumur 40 tahun. Kegiatan sehari-hari masih bergulat antara Madrasah, masjid dan ngaji kitab kuning di pondok. Baik pondok putra maupun pondok putri. "Saat itu, saya juga heran, dengan kondisi tubuh seperti ini, gampang sakit, tetapi bisa (mengajar) ngaji rutin setiap hari, dengan menghatamkan kitab-kitab besar seperti kitab hadist Shohih Bukhori," kenangnya.
Namun setelah mulai menginjak umur 40 tahun, kegiatan Kiai Nashir tidak hanya berputar dari madrasah, masjid dan pondok di Tambakberas, tetapi mulai melakukan aktifitas keagamaan dan sosial di tengah-tengah masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah membimbing masyarakat dengan melakukan pengajian rutin selapanan (40-an hari). Mula-mula di satu masjid, kemudian berkembang hingga banyak musholla dan masjid, bahkan dilakukan juga di luar wilayah Jombang.
Tidak hanya pengajian rutin, selanjutnya Kiai Nashir mulai aktif dalam kegiatan dan masuk di jajaran kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU). Kegiatan yang mula-mula dilakulan di NU adalah terlibat dalam kegiatan Lembaga Bahtsul Masail (LBM), kemudian mengelola Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Sodaqoh (LAZIS) NU.
Setelah satu periode, kemudian Kiai Nashir diminta masuk dalam kepengurusan Pengurus Cabang NU (PCNU) Jombang, sebagai Wakil Rais Syuriah. Ketika Rais Syuriah, yang saat itu dijabat KH M Sulthon Abdul Hadi, diminta untuk menjadi Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), maka di tengah perjalanan masa khidmat (periode), Kiai Nashir diangkat sebagai Pj Rais Syuriah PCNU Jombang. "Sebenarnya saya sudah merasa bahwa, saya akan diplokhoto (dikerjai), dan nanti ditengah perjalanan diminta mengganti sebagai Rais Syuriah," kata Kiai Nashir sambil tertawa lebar.
"Sebenarnya saya tidak mau dijadikan sebagai Rais Syuriah saat Konferensi Cabang, karena bagi saya berat. Karena tidak mau, maka kemudian dijadikan Wakil Rais, namun di tengah perjalanan dipaksa menggantikan", sambungnya, dengan tertawa sambil mengulang kata-kata, "ini kan namanya diplokhoto".
Kembali kepada perkataan Gus Dur, yang "meramal" Kiai Nashir hidup hanya sampai umur 40 tahun. Padahal saat tulisan ini dibuat (2019), Kiai Nashir sudah berumur 63 tahun. Pada satu kesempatan bertemu di salah satu tempat dengan Kiai Nashir dan beberapa orang, termasuk salah satunya almarhum Gus H. Edi Labib Patriadin, Kiai Nashir cerita bahwa pernah diramal Gus Dur hanya sampai umur 40 tahun.
Saat itu Gus Edi, sambil bercanda juga, memberikan dua makna atas ramalan Gus Dur tersebut. Yang pertama, umur Kiai Nashir hanya sampai 40 tahun. Yang kedua, umur Kiai Nashir ketika diramal Gus Dur adalah 30 tahun, ditambah 40 tahun. Jadi sampai 70 tahun atau mendekati itu, atau melebihi. Penyampaian makna oleh Gus Edi tersebut, disambut tawa semua orang yang mendengarkan. (ma)