Sebuah wacana historis kalangan pemuda Nahdlatul Ulama’
Oleh Putri Nur Faizah (kelas Ababil)
Zaman beredar, banyak perubahan terjadi, membawa akibat positif dan negatif. Tidak selamanya arus modernisasi membawa kebaikan. Kalau saja dunia ini di diami oleh orang-orang yang sepaham dengan kita, alangkah enaknya hidup ini. Tetapi tidak demikian, jauh-jauh dari pesantren di kumandangkan firman Allah SWT dalam kitabNya, yang berbunyi :
“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (Qs. al-Maaidah : 48)
Benar, beruntung sekali kita berada di ‘dunia’ (pesantren) ini. Seperti ada semacam pembendung terhadap anasir yang merusak, suatu kekuatan pembendung yang terjadi dengan sendirinya dari unsur-unsur yang dimiliki pesantren. Semacam jaringan refinery atau filter yang menyaring apa yang boleh masuk dan apa yang harus berhenti di gerbang pesantren. Demikianlah, Allah memberikan perumpamaan dalam Al-qur’an. yang berbunyi :
“Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, Maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan” (Qs. ar-Ra’d : 17)
Pesantren, suatu hal yang mempunyai kaitan erat dengan organisasi masyarakat bernama Nahdlotul ‘Ulama, atau biasa di sebut NU. Bila kita mengkaji sejarah NU, tidak sedikit referensi atau file-file yang kaitannya tentang NU, tidak sedikit di dalam referensi tersebut, kita menemukan pembahasan mengenai pesantren. Penulis berasumsi, secara garis besar keterkaitan NU dengan pesantren bisa di gambarkan sebagai berikut :
Pesantren >> Ulama/Santri >> Ormas NU
Di struktur tersebut NU di gambarkan, seperti hasil ‘kreatif’ dari ulama’ dan santri dari kalangan pesantren.
Tetapi, tidak seluruhnya kalangan pesantren bermuara pada ormas NU. Melihat konteks zaman dewasa ini, arus modernisasi menciptakan berbagai “konsep gemblengan” di dalam pesantren, yang muaranya tidak melulu kearah NU.
Ah, rasanya terlalu ngelantur jika kami mebahas tentang keterkaitan NU dengan pesantren. Karena, kami berasumsi tidak sedikit dokumen – dokumen yang membahas tentang keterkaitan 2 hal tersebut. Disamping itu, dokumen – dokumen tersebut ditulis oleh orang-orang yang tidak diragukan lagi kapasitasnya.
*****
Berbagai macam referensi yang di dalamnya membahas tentang peran Ormas NU dalam berbagai kancah perjuangan bangsa Indonesia, seakan tak pernah luntur dari lembaran-lembaran sejarah bangsa ini.
Dalam perjalanan sejarahnya, NU selalu memberikan kontribusi yang besar kepada negara dan agama. Menjelang berdirinya pada tahun 1926 para ulama membentuk komite Hijaz, yang hasilnya benar-benar mewarnai dunia islam.
Tidak saja di medan fisik dan politik NU berperan, namun juga tidak kalah penting di medan tegaknya islam yang rahmatan lil ‘alamin, dengan cara melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran islam Ahlussunnah wal jama’ah, sehingga di bidang budaya dan amaliyah pun NU tetap toleran, bahkan melestarikan, sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at islam.
Peran-peran di atas tidak lepas dari kreatifitas besar para tokohnya sebagai pengendali NU sekaligus sebagai uswah bagi umatnya. Dan kami yakin, tidak sedikit dari para sidang pembaca sekalian, mengetahui ulama-ulama yang mempunyai pengaruh besar sekaligus sebagai uswah bagi umtanya. Sebut saja, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbulloh, KH. Bisri Syansuri, dan masih banyak lagi tokoh atau figur yang ‘mewarnai’ dalam pergerakan NU pada zamannya.
Alm. KH. Syaifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari pesantren, yang menggambarkan kisah perjuangan dan pergerakan NU pada masa kolonial Belanda dan penjajahan Jepang. Disitu beliau menggambarkan betapa gigihnya dan ikhlasnya figur-figur dalam tubuh NU, dalam menjaga kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di dalam buku tersebut juga memuat surat yang di tulis oleh KH. Hasyim Asy’ari di tujukan kepada para ulama’ NU, yang berada pada masing-masing daerah tanah kelahirannya. Surat tersebut berisi anjuran dan motivasi kepada para ulama, khususnya lapisan pesantren, agar tidak mengambil sikap pasif terhadap kebangkitan bangsa.
“Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai-berai dan saling bersangketa.
Didik dan bimbinglah pemuda-pemuda kita, karena mereka pewaris masa depan kita. Islam memang selamanya akan tegak berdiri dan tak terkalahkan. Namun tidak mustahil akan sirna dari lingkungan kita kalu kita tidak memeliharanya. Sirna dari lingkungan kita untuk timbul di tempat lain. Pemeliharaan tidak hanya pada waktu ini, tetapi juga untuk masa yang akan datang. Jangan dilupakan bahwa tidak semua orang menyukai islam. Yang senang melihat Islam tegak berdiri hanyalah kita. Di dini letak arti sebuah perjuangan. Dan, untuk perjuangan ini, kedudukan pemuda sangatlah penting. Mereka akan mengarungi hidup dimasa yang akan datang. Saat dimana kita yang tua-tua ini tak ada lagi”
Demikianlah antara lain pesan-pesan Rais Akbar Hasyim Asy’ari yang di tujukan kepada para ulama’ NU, yang berada pada masing-masing daerah tanah kelahirannya.
Dari isi pesan tersebut, sudah memberikan gambaran tentang sebuah perjuangan yang di landasi oleh pengabdian. Tidak hanya sampai disitu di akhir pesan beliau, memberikan sebuah wacana mengenai kondisi waktu mendatang jika para pemuda tidak mendapatkan didikan dan bimbingan pada masa itu. Sungguh, betapa bijaksana dan pedulinya tokoh-tokoh kita memikirkan tentang masa dimana beliau belum menjajaki masa tersebut.
Lantas seperti apa respon kita, sebagai pemuda dari beliau-beliau, setelah mengetahui wacana historis tersebut? Dan langkah apa yang dilakukan untuk menjaga keutuhan dan kelestarian amaliah kita (Nahdlotul Ulama)? Entahlah. Kami belum bisa memberikan jawaban yang bisa mewakili dari sekian pemuda di sini. Bersandar pada ayat Al-Qur’an Qs. an-Nisa’ : 28 yang berbunyi.
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah”
Termaktub dalam Al-Qur’an, ayat di atas, merupakan gambaran manusia diciptakan oleh Alloh SWT bersifat lemah. Yang pada saatnya nanti ketika telah mencapai ‘titik lemah’ tersebut pertolongan dan keringanan dari Alloh SWT sampai kepada kita. Tapi, tidak semena-mena pertolongan dan keringanan tersebut datang secara cuma-cuma tanpa disertai sebuah pergerakan.
Well, semua tergantung dari kehidupan, pengetahuan, kemauan, dan kemampuan kita sebagai individu (pemuda) untuk mengarungi masa yang telah beliau-beliau ‘ramalkan’.
Ihdinashirathal mustaqiem
Hasbunallah wa ni’mal wakil. Ni’mal maula wa ni’man nashir.