Suatu hari penulis pernah mendapatkan cerita seorang siswa yang terbiasa menggunakan anggota tubuhnya yang kiri dalam beraktifitas, lalu ia mendapatkan arahan dari gurunya untuk dapat merubah kebiasaannya dengan menggunakan anggota tubuhnya yang kanan. Memang, begitu banyak argumen keagamaan yang meletakan posisi kanan lebih baik daripada posisi kiri. Yang paling populer tentu saja istilah ashaab al-yamiin dan ashaab asy-syimaal dalam surat Al-Qur’an. Benar bahwa ayatnya memang tidak berbicara tentang kanan dan kiri dengan makna sebenarnya, namun dalam konteks akibat perbuatannya, ashaab al-yamiin selalu diasosiasikan akan mendapatkan kenikmatan surgawi dan sebaliknya, ashaab asy-syimaal akan mendapatkan berbagai siksaan di neraka.
Dalam kitab Tafsir Al-Jalalain, Imam Mahalli menyebutkan bahwa istilah tersebut dipakai setelah ditentukan posisi penerimaan buku catatan amal di akhirat kelak, yang menerimanya dengan tangan kanan dinamakan ashaab al-yamiin dan yang menerimanya dengan tangan kiri dinamakan ashaab asy-syimaal. Beberapa hadits juga mendukung pernyataan di atas:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
Artinya: “Nabi Muhammad Saw. suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci dan dalam semua urusannya” (HR Bukhari dan Muslim).
Cerita-cerita nabi terdahulu pun menunjukan bahwa tangan kanan memiliki tempat tersendiri dalam pelaksanaan kebaikan. Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala Namrudz dengan tangan kanannya (As-Shaaffaat: 93), Nabi Musa memegang tongkat ’sakti’-nya juga dengan tangan kanan (Thaha: 17) dan bahkan Nabi Muhammad Saw. yang diandaikan beliau dapat menulis, Al-Qur’an menyebutkan posisi penulisannya adalah dengan tangan kanan sebagaimana tradisi-tradisi orang Arab saat itu (Al-’Ankabut: 48).
Kembali ke akar masalah, pembahasan ini akan menjadi sulit ketika dalam kehidupan sehari-hari kita lalu mendapati seseorang yang kidal, apapun ia lakukan dengan anggota tubuh bagian kiri. Bijakkah kita apabila langsung melabeli mereka sebagai ashaab asy-syimaal yang tempat layaknya adalah neraka? Menghantam mereka dengan dalil-dalil keagamaan yang bisa jadi justru melukai hati mereka? Islam sebagaimana fitrahnya harus hadir menawarkan solusi dan jawaban yang bijak atas permasalahan di atas.
Pertama, seharusnya kita akan mufakat terkait makna dari ‘golongan kanan dan golongan kiri’ dalam Al-Qur’an adalah dalam hal substansi, bukan leterlek makna sebenarnya. Ya, kanan yang dimaksud adalah simbol kebaikan dan kiri adalah simbol keburukan. Begitu banyak argumentasi dari Al-Qur’an dan Hadits mengenai hal ini, antara lain beberapa dalil yang disebutkan sebelumnya. Rincian mengenai penempatan posisi dan penerimaan buku catatan amal di hari kiamat nanti kiranya bukan sesuatu yang terang benderang untuk dibahas, sama seperti rincian terkait surga, neraka, hisab dan sebagainya, ia masih merupakan perkara-perkara ghaib yang saat ini cukup untuk kita imani, walaupun tanpa pembuktian nyata.
Kedua, perlu diketahui bahwa dengan memakai sudut pandang kelayakan penarikan suatu hukum, sunnah Nabi Saw. dapat dibagi menjadi 2 (dua), yakni sunnah tasyri’iyyah (mengandung legacy hukum) dan sunnah ghoiru tasyri’iyyah (tidak mengandung legacy hukum). Kaitannya dengan aktifitas-aktifitas Nabi Saw. di atas yang memprioritaskan anggota tubuh kanan, menurut hemat penulis ia dapat masuk ke dalam dimensi tasyri’iyyah dan ghoiru tasyri’iyyah sekaligus. Dinilai tasyri’iyyah sebab darinya lalu melahirkan sekian banyak hukum fiqh yang menganjurkan pendahuluan anggota tubuh kanan daripada anggota tubuh kiri sebagaimana yang telah disebutkan.
Di sisi yang lain, ia juga dapat masuk ke dalam sunnah ghoiru tasyri’iyyah, karena Nabi Saw. melakukannya dalam rangka menjalankan aktifitas sebagai manusia pada umumnya, hal ini sama dengan keterampilan Nabi Saw. di bidang perdagangan, pertanian, pengobatan dan sebagainya. Dalam diskursus ushul fiqh, sunnah ghoiru tasyri’iyyah ini tidak wajib diikuti karena karakter kemanusiaan akan berbeda satu sama lain, termasuk dalam hal ini adalah dominasi anggota bagian kiri bagi orang yang kidal. Sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa sunnah jenis ini bisa bernilai pahala apabila ia dilakukan dalam rangka mengikuti tindak lampah Nabi Saw. (ittiba’), jadi yang dinilai adalah ittiba’-nya, bukan konkrit aktifitasnya.
Ketiga, sebelum beban hukum (taklif) diterapkan, fiqh yang kita kenal selama ini selalu memberikan doktrin bahwa seorang mukallaf harus mencapai batas kemampuan optimal agar ia masuk dalam jangkauan khitaabullah, mendapatkan pahala ketika berbuat baik dan berdosa ketika berbuat buruk. Kemampuan optimal ini jangkauannya mencakup segmen waktu, tempat dan usaha. Itulah mengapa, ada yang dinamakan masa fatrah karena dari segi waktu orang-orang di masa itu tidak menerima khitaabullah sama sekali.
Dari segi tempat, hal itu juga yang antara lain menghasilkan hukum fiqh terkait kebolehan seorang ummiy (orang yang tidak sempurna bacaan Al-Fatihah-nya) untuk mengimami shalat dikarenakan ia jauh dari komunitas orang-orang Islam. Asumsinya adalah ia yang jauh dari komunitas orang-orang Islam maka ia tidak memiliki kesempatan belajar guna memperbaiki bacaan Al-Fatihah-nya sehingga kemampuan optimal seorang ummiy ini dianggap hanya sampai batas ini saja. Sebaliknya, ketika ia berada dekat dalam komunitas orang-orang Islam maka kewajiban baginya adalah belajar dan memperbaiki bacaan, ia akan dianggap tidah sah shalatnya (bukan lagi hanya tidak boleh menjadi imam) sebab ia melakukan dosa lainnya yakni keengganannya untuk menaikkan statusnya menjadi lebih optimal.
Dengan memakai sudut pandang usaha, kemudian terkonfirmasi juga terkait kebolehan orang cadel (pelat) untuk menjadi imam shalat (walaupun makruh) sebab dari segi usaha, kemampuan optimalnya adalah hanya sampai batas tersebut dan perlu diketahui orang cadel ini tidak bisa disamakan dengan kasus ummiy di atas karena proses untuk menjadi tidak cadel adalah sesuatu sangat sulit atau bahkan mustahil dilakukan, berbeda dengan ummiy yang masih ada harapan bacaannya menjadi lebih baik lagi selama ia mau belajar.
Akhirnya penulis hanya ingin mengatakan bahwa ternyata orang paham agama bukanlah orang yang tahu segalanya, mau tidak mau ia harus menggandeng dan mengakomodir pihak lain guna menyelesaikan sebuah permasalahan. Pada tulisan ini, pertanyaan besarnya adalah apakah menurut ilmu psikologi dan pola asuh anak modern, orang kidal ini bisa belajar dan memperbaiki diri agar ia lebih dominan menggunakan anggota tubuh kanan-nya? Jawaban dari pertanyaan inilah yang kemudian menentukan arah tulisan dan semoga kemajuan Islam selanjutnya. Semoga bermanfaat.
Penulis : Robi Pebrian