Pasca kewafatan Kiai Nashir kurang lebih setahun lalu, semua orang yang pernah berdekatan dengan beliau memberikan bermacam-macam kesaksiannya mengenai kebaikan beliau, baik melalui ceramah maupun tulisan, penulis sendiri saat itu menulis tujuh seri beruntun dengan judul Al-Mahaasin. Penulis meyakini semua orang melakukannya adalah karena mereka mengalami pengalaman interaksi yang berkesan dengan beliau semasa hidupnya kemudian sebagian dari mereka terpikirkan untuk mengaplikasikan hadits Nabi Saw. ‘Udzkuruu mahaasina mautaakum’
Dengan hadits yang sama, kali ini penulis ingin memberikan perhatian khusus pada kata ‘udzkuruu’. Kata dzikr pada mulanya berarti mengucapkan sesuatu dengan lisan, kemudian maknanya berkembang menjadi mengingat karena umumnya kalau kita mengingat sesuatu, sedikit atau banyak akan terucap keluar dari lisan dan begitu juga sebaliknya, semakin kita sering menyebut sesuatu maka akan semakin banyak pula kita mengingatnya. Kata dzikr juga memiliki makna memelihara, karena apabila kita mengingat dan tidak melupakan sesuatu maka berarti kita memeliharanya dalam hati atau pikiran.
Cara mengenai berdzikir ini sangat banyak sekali, bisa dilakukan dengan cara sederhana melalui lisan seperti bacaan tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan sebagainya. Ataupun menghadirkan ketenangan kondisi jiwa dengan merenungkan objek-objek perisitiwa yang memiliki keterkaitan dengan Alloh Swt., bahkan yang berada di luar kontrol kita.
Fadzkurulloha dzikron katsiron, berdzikir itu memang diharapkan dengan banyaknya jumlah karena sebanyak itu pula objek yang bisa dijadikan sarana berdzikir. Dalam hadits qudsi dikatakan oleh Alloh Swt. bahwa: ‘Siapa yang disibukkan oleh mengingat Aku, sehingga dia tidak sempat berdoa, maka akan Aku anugerahkan kepadanya lebih baik dari apa yang Aku anugerahkan kepada orang yang berdoa’.
Tujuan berdzikir yang paling sering dikutip adalah ketenangan jiwa, alaa bi dzikrillahi tathmainnu al-quluuba. Tujuan lainnya adalah mendapatkan rahmat dan ampunan Alloh Swt. Imam Bukhori pernah menceritakan bahwa setiap majelis dzikir pasti dihadiri pula oleh banyak malaikat Alloh Swt., setelah majelis selesai kemudian malaikat tersebut menghadap kepada Alloh Swt. dan menerima perintah dari Alloh Swt. untuk melimpahkan rahmat kepada seluruh yang hadir dan mengampuni dosa-dosanya. Malaikat bertanya: ‘Apa juga termasuk orang-orang yang sekedar hadir tanpa mengingat-Mu, ya Alloh Swt.?’. Alloh Swt. menjawab: ‘Ya, karena siapapun yang mendekat kepada orang yang berdzikir kepada-Ku itu tidak akan merugi.’
Boleh jadi dalam sekian banyak kebaikan (mahaasin) Kiai Nashir yang diperdengarkan dan dituliskan selama ini masih terbesit hal-hal yang mengkotori niat baik berdzikir sehingga tujuannya tidak tercapai. Ketika menceritakan dan menuliskan peristiwa tentang Kiai Nashir, barangkali saat itu kita masih diliputi rasa geram dan tinggi hati sehingga kerapkali cerita atau tulisan tersebut malah menjadi sindiran secara halus pada orang lain dan takabbur atas diri sendiri. Mungkin kita menganggap bahwa apa yang kita ceritakan atau tuliskan tentang Kiai Nashir dapat menjadi semacam motivasi kepada pendengar dan pembaca agar segera mengaplikasikannya dalam kehidupan, namun justru kita sendiri yang belum mampu meniru atau minimal memiripkan diri dengan apa yang telah dilakukan beliau.
Kewafatan Kiai Nashir telah menggugah banyak orang untuk bersaksi atas beliau melalui banyak hal, namun dalam menyampaikannya kita juga harus meminimalisir nafsu kepentingan. Mengenai hal ini, Nabi Saw. pernah berujar bahwa yang beliau takutkan bukan umatnya kembali menyekutukan Alloh Swt. dengan menyembah berhala, matahari, rembulan dan sebagainya, tetapi Nabi Saw. takut apabila mereka menyembah Alloh Swt. namun memiliki syahwat khofiyyah (kepentingan yang tersembunyi). Kiranya penulis tidak perlu membatasi diri dalam hal ini, karena penulis pun yakin kalau penulis sendiri membaca kembali tulisannya setahun lalu, penulis juga akan mengintropeksi diri sedalam-dalamnya.
Robi Pebrian