KH. A. Wahab Hasbullah menyampaikan pemikiran agar inovasi dalam bidang pendidikan yang dirintis oleh Wahid Hasyim di Pondok Pesantren Tebuireng diterapkan pesantren- pesantren lain, dengan demikian kemandirian dalam mendidik dan kualitas pendidikan meningkatkan. Sesuai dengan kelahiran NU untuk mempertahankan dan mengembangkan aswaja serta membentuk akhlak umat dan bangsa diharapkan terwujud melalui badan khusus tersebut. Karena itulah Hadratussysyaikh KH. Hasyim Asy‘ari meminta agar Wahid Hasyim menyampaikan pokok-pokok pikirannya kepada Mahfudz Shiddiq dan Abdullah Ubaid, dua aktifis dan motor penggerak NU saat itu.
a. Abdul Wahid Hasyim
Abdul Wahid Hasyim putra Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari lahir di Jombang pada tanggal 1 Juni 1914, saat usianya baru menginjak 15 tahun ia mendirikan Madrasah di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, saat itu ia belum aktif di NU, sedangkan Mahfudz Shiddiq dan Abdullah Ubaid sudah masuk dalam jajaran pengurus HBNO, namun demikian Wahid Hasyim yang merintis pendidikan dan memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan pada ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda yang dikuasai Wahid Hasyim secara otodidak. Pada tahun 1932 dalam usia 18 tahun menuntut ilmu ke Makkah, sekembali ke tanah air pada tahun 1935 gebrakan baru dalam dunia pendidikan pada masa itu lalu diwujudkannya menjadi Madrasah Nidzamiyah. Pada tahun 1944 ia mendirikan sebuah Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang saat itu pengasuh sekaligus pimpinannya dipegang oleh oleh KH. A. Kahar Moezakkir.
Saat menjabat Menteri Agama pada tahun 1950 Wahid Hasyim mengeluarkan peraturan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN). yang menjadi cikal bakal IAIN dan UIN sekarang. Selain itu juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta, mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta, serta mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga. Wahid Hasyim juga mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Negara yang kemudian diberi nama Masjid Istiqlal. Pada 19 April 1953 dalam usia yang relatif muda, 39 tahun, KH. Wahid Hasyim meninggal dunia dalam kecelakan kendaraan dalam kunjungan tugasnya di Cimindi Jawa Barat.
b. Abdullah Ubaid
Tokoh lain yang wafat se-usia adalah Abdullah Ubaid. Seperti halnya Wahid Hasyim, tokoh yang lahir di Surabaya pada tahun 1899 ini termasuk sosok yang telah menunjukkan keistimewaannya sejak muda. Sosok ulama yang satu ini digolongkan sebagai salah seorang tokoh pemuda yang mendahului zamannya. Pendidikan formal pertama didapat dari Madrasah Al Chairiyah. Setamat dari madrasah tersebut, Abdullah Ubaid kembali ke Pasuruan dan kemudian pada usia 14 tahun dikirim ke Tebuireng, untuk meneruskan pendidikan pada Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy‘ari. Sekembalinya dari Tebuireng, tahun 1919 dia diangkat menjadi guru di Madrasah Nahdlatul Wathan dan juga diminta mengajar di Madrasah Al Chairiyah, almamaternya, yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Arab. Abdullah Ubaid mampu memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Nahdlatul Wathan, ketika ia berperan di dalamnya baik sebagai guru maupun sebagai penggeraknya yang dapat membuka cabang-cabang di beberapa kota di luar Surabaya.
Bersama Mahfudz Siddiq dan Thohir Bakri, Abdullah Ubaid tercatat sebagai pendiri Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Organisasi tersebut semula bernama Syubbanul Wathan yang didirikan pada tahun 1924. Kemudian pada tahun 1932 berubah menjadi BANO (Barisan Ansor Nahdlatul Oelama), yang kemudian menjadi ANO (Ansor Nahdlatul Oelama), dan seterusnya GP(Gerakan Pemuda) Ansor, hingga sekarang.
Peran utama Ansor pada saat itu, adalah mendidik dan membangkitkan semangat pemuda untuk bersama-sama dengan kekuatan bangsa lainnya serta mempersatukan kekuatan pemuda untuk memperjuangkan hak-haknya yang terjajah di negerinya sendiri. Abdullah Ubaid juga dikenal sebagai tokoh pendidikan, sebagaimana ditulis Wahid Hasyim dalam artikel yang berjudul Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik yang dimuat di majalah yang diterbitkan Lembaga Pendidikan Ma’arif “Suluh NU”, Agustus 1941, Th. I No. 5. Pada 8 Agustus 1938. Abdullah Ubaid meninggal dunia karena sakit yang diderita sejak kecelakaan kendaraan bermotor yang dialaminya usai mengikuti Muktamar NU ke-13 pada Juni 1938 di Menes, Banten, Jawa Barat.
c. Mahfudz Shiddiq
Saat belajar di PP Tebuireng Mahfudz Shiddiq bertemu dan berteman akrab dengan Abdullah Ubaid dari Pasuruan, seorang pemuda yang di kemudian hari dikenal sebagai penggerak NU lewat majalah dan organisasi kepemudaan. Di masa remajanya, Mahfudz Shiddiq adalah seorang aktivis dan organisatoris yang sangat piawai. Mahfudz Shiddiq yang pernah menjabat Ketua Tanfidziyah PBNU, Rais PBNU, adalah Perumus Konsep ―Mabadi Khaira Umah, Perintis Gerakan Muawanah, Pemimpin Majalah ―Berita Nahdlatul Ulama. Mahfudz Shiddiq juga menulis buku ―Ijtihad dan Taqlid untuk Rekonsiliasi‖. Watak sebagai pendidik Mahfudz Shiddiq kentara sekali sepanjang masa hidupnya. Bermula dari menjadi pengasuh dan pengajar bagi adik-adiknya. Mahfud Shiddiq dikenal sebagai sosok yang sabar, tenang, dan sangat cerdas. Mahfud Shiddiq juga suka berpenampilan necis dan rapi. Wawasan berfikirnya amat luas dan modern, baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum. Sebagaimana dua sahabatnya itu Mahfudz Shiddiq, yang lahir pada tahun 1906 meninggal pada tahun 1944, dalam usia yang relative muda, yakni 38 tahun.
Pertemuan Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq dan Abdullah Ubaid, pada awal September 1929 di kantor Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) Jl. Bubutan Kawatan Surabaya itu, membuahkan hasil perlunya dibentuk lembaga/bagian di HBNO yang khusus mengurusi pendidikan, yang diberi nama Ma‘arif. Usulan pembentukan Ma‘arif itu disahkan pada tanggal 19 September 1929 di Muktamar NU ke-4 yang dilaksanakan 17-20 September 1929 di Semarang. HBNO Hasil Muktamar Semarang menunjuk Abdullah Ubaid sebagai Ketua yang membidangi Ma‘arif (pendidikan).
Pengurus Lembaga Pendidikan Ma'arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif PBNU) masa khidmah 2022-2027 Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, MA Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI resmi dikukuhkan oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Pengukuhan ini berlangsung di Aula Institut Agama Islam Cipasung (IAIC), Cipakat, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (24/3/2022) malam. Pengurus LP Ma'arif PBNU disahkan melalui surat keputusan Nomor : 36/A.II.04/03/2022 dan ditandatangani oleh Rais Aam KH Miftachul Akhyar, Katib Aam KH Akhmad Said Asrori, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dan Sekretaris Jenderal PBNU H Saifullah Yusuf pada Rabu (23/3/2022).
LP Maarif NU melakukan berbagai usaha untuk mencapai visi Lembaga ini. Pertama, pengembangan system pendidikan dan terus berupaya mewujudkan pendidikan yang mandiri, menjadikan LP Maarif NU sebagai pusat pengembangan pendidikan bagi masyarakat, baik melalui sekolah, madrasah, perguruan tinggi, maupun pendidikan masyarakat. Kedua, merepresentasikan perjuangan pendidikan NU yang meliputi seluruh aspeknya, Kognitif, afektif maupun psikomotorik. Ketiga, menciptakan komunitas intitusional yang mampu menjadi agent of educational reformation dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan pembangunan masyarakat beradab.
Sedangkan misi Lembaga adalah Pertama, menciptakan tradisi pendidikan melalui pemberdayaan manajemen pendidikan formal maupun non-formal. Kedua, menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan, terutama pada masyarakat akar rumput, sehingga terjalin sinergi antar kelompok masyarakat dalam memajukan tingkat pendidikan. Ketiga, memperhatikan dengan sungguh-sungguh kualitas tenaga kependidikan, baik kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi melalui penyetaraan dab pelatihan serta penempatan yang proporsional, dengan dukungan moral dan material. Keempat, mengembangkan system informasi dan edukasi serta penyebarluasan gagasan, pengalaman pada tiap tingkatannya.
Pengurus LP Maarif dari Masa ke Masa
1. Abdullah Ubaid(1929-1938);
2. Mahfudz Shiddiq(1938-1940);
3. Wahid Hasyim(1940-1946);
4. Fathurrahman (1946 – 1949);
5. Anwar Musaddad (1949 – 1951);
6. Moh. Ansor Suryohadibroto (1951 – 1954);
7. Syukri Ghazali(1954-1959);
8. HA.Aziz Dijar (1959-1977), sesuai Akte Notaris RM. Soeroto No 83/1972;
9. Zaini Miftach(1977-1981);
10. Aziz Dijar (1981-1985), sebelumnya Wakil Ketua pada masa KHA. Zaini Miftach;
11. Musa Abdillah (1985-1989), sebelumnya Wakil Ketua pada masa HA. Aziz Dijar;
12. Dr. H. Achmad Sanusi SH, MPA (1990-1994);
13. Ghafar Rahman, SH (1994-1999), sebelumnya Sekjen PBNU;
14. HM. Nadjid Muchtar, MA (2000-2007), sebelumnya Wakil Ketua pada masaDrs. Musa Abdillah dan Prof. Dr. H. Achmad Sanusi SH, MPA, Sekretaris pada masa KHA. Zaini Miftach dan HA. Aziz Dijar;
15. HM. Thoyib IM (2007-2010), sebelumnya Wakil Ketua pada masa Drs. HM. Nadjid Muchtar, MA (2005-2007);
16. Dr. H. Manshur Ramly (2010-2013);
17. Arifin Junaidi (2013 – 2015)
18. Arifin Junaidi (2013 – 2021);
19. Prof. Dr. Muhammad Ali Ramdhani, MA (2022 – sekarang);
Salah satu tujuan dari didirikannya NU adalah untuk mewujudkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lingkungan NU. Bagi NU, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi mewujudkan masyarakat yang mandiri. Gagasan dan gerakan pendidikan ini telah dimulai sejak perintisan pendirian NU di Indonesia. Untuk merealisasikan pilar-pilar tersebut NU secara aktif melakukan gerakan sosial- keagamaan untuk memberdayakan umat. Di sini dirasakan pentingnya membuat lini organisasi yang efektif dan mampu merepresentasikan cita-cita NU. Maka lahirlah lembaga-lembaga dan lajnah; Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif, Lembaga Dakwah, Lembaga Sosial Mabarrot, Lembaga Pengembangan Pertanian, dan lain sebagainya. LP Ma‘arif NU dibentuk untuk melakukan gerakan pemberdayaan umat di bidang pendidikan yang sejak semula menjadi perhatian para ulama pendiri (the founding fathers) NU.
LP Ma’arif NU merupakan aparat departementasi Nahdlatul Ulama (NU) yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan-kebijakan pendidikan Nahdlatul Ulama, yang ada di tingkat Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, dan Pengurus Majelis Wakil Cabang, dalam perjalanannya semua urusan pendidikan diserahkan kepada LP Ma’arif NU yang memang secara aktif berperan dalam proses-proses pengembangan pendidikan di Indonesia. Secara institusional, LP Ma’arif NU juga mendirikan satuan-satuan pendidikan mulai dari pra sekolah, tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi; sekolah yang dalam struktur pemerintah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI maupun madrasah yang dalam struktur pemerintah di bawah Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Penulis : H. Muhyiddin, Lc., MM (Guru Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 6