Oleh : Citra Putri Sary
Telah menjadi rahasia umum, bahwa kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Saat ini yang menjadi pertanyaan fundamental untuk kita adalah “Bagaimanakah nasib pendidikan Negara kita?”
Dalam bingkai realita, problema pendidikan Indonesia sepertinya memang tak ada habis-habisnya untuk dikritik, direnungkan, disesalkan dan dibicarakan oleh manusia-manusia yang peduli akan nasib pendidikan Indonesia. Pendidikan yang terealisasi saat ini, sepertinya telah melenceng jauh dari hakikat konsep pendidikan awal, jika kita reflesikan dengan konsep yang dicita-citakan oleh bapak pendidikan, KI Hajar Dewantara. Dan lebih naasnya lagi, justru konsep tersebut telah sukses diimitasi oleh Negara lain.
Kendala-kendala yang menerpa dunia pendidikan, memanglah banyak sisi pemicunya. Sebut saja masalah biaya. Banyaknya kocek yang harus dikeluarkan untuk dapat memperoleh pendidikan saat ini, seolah-olah menghadirkan kesan bahwa “Orang miskin dilarang sekolah”. Bagaimana tidak? Pelunasan administrasi saja menjadi persyaratan untuk mengikuti ujian. Bahkan tak jarang ditemukan siwa-siswi dari kalangan atas yang dengan mudah masuk ke sebuah lembaga pendidikan dengan prosedur suap. Dari hal tersebutlah sumber daya manusia dan mutu pendidikan Indonesia ini tak banyak meningkat. Meskipun pada dasarnya sebuah pendidikan sendiri memiliki harapan tulus untuk anak didiknya. Yaitu menyulap anak didik menjadi sosok yang berkualitas dari segala sisi. Entah itu dari segi spiritual, intelegensi bahkan dari segi skill.
Tak hanya faktorisasi biaya saja, namun sebuah metode yang dikemas dalam bungkus kurikulum pun, tampaknya perlu dikoreksi ulang. Mengapa seperti itu? Hal tersebut dapat kita tilik dari kurikulum yang sering bergonta-ganti. Mulai dari kurikulum berbasis kompetensi hingga kurikulum tingkat satuan pendidikan. Hal ini seolah-olah menghadirkan satu opini sendiri bahwa adanya kurikulum tak lebih dari sekedar untuk dijadikan sebagai kelinci percobaan semata. Hanya menjadi analisis untuk menemukan kurikulum yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap mutu pendidikan. Namun memang pada hakikatnya, eksistensi kurikulum itu dirancang untuk kepentingan masyarakat. Tapi yang sangat disayangkan adalah kurang adanya pemaksimalan dari elemen pelaku pendidikan.
Yang dimaksud pelaku pendidikan disini tak hanya sebatas guru atau murid saja. Tapi, juga semua elemen masyarakat Indonesia yang bertanggungjawab penuh atas berhasilnya pendidikan. Seperti halnya, masih tersisanya pergantian kurikulum sebagai perolehan lading uang lebih
Selain faktor diatas, masih ada kendala yang dilihat seperti sesuatu yang sepele, namun sebenarnya memberikan dampak negatif untuk para generasi muda dalam jangka panjang. Faktor ini lebih pada sudut pandang secara intern. Diantaranya yaitu kebiasaan-kebiasaan para pendidik dalam suatu lembaga pendidikan untuk mengontrol nilai. Yaitu penambahan nilai pada nilai-nilai siswa-siswi yang dirasa tidak mampu mencukupi standar. Tindakan ini tak lebih dari tindakan keegoisan untuk sekedar mendapat label lulus 100% atau label naik kelas 100%. Padahal pada dasarnya, tanpa disadari ini adalah sebuah pembodohan siswa dan pembohongan besar pada masyarakat. Sikap ini termasuk dalam kategori kedzaliman yang sangat merugikan.
Selain pengontrolan nilai, yang banyak didominasi bukan dari pihak murid, masih ada tindakan yang justru bersumber dari murid sendiri. Yaitu adat buruk yang biasa kita sebut sebagai “Adat contekan”. Namun juga tak jarang diterbitkan adanya dukungan dari pihak guru. Dalam sebuah buku “Pembodohan siswa tersistematis“ yang disalin dari opini Abdul Mu’id Badrun memaparkan tentang dampak psikologi akibat tindakan tersebut (contekan). Salah satunya adalah perampasan hak siswa yang berprestasi. Termasuk juga adanya pembodohan intelektual dan pemaksaan agar anak yang pintar mensubsidi nilainnya pada yang bodoh. Faktor mutu pendidikan dan pencetakan generasi muda yang banyak tak berguna.
Dari dampak-dampak diatas tampaknya kita perlu banyak bercermin pada Negara-negara lain yang berkategori sukses dalam masalah pendidikan. Marilah kita coba mengambil sample dari beberapa Negara yang sukses. Sebut saja Negara Singapura yang seolah-olah memiliki perbadingan bumi dan langit dengan Indonesia. Pendidikan disana memang memiliki kurikulum yang sangat baik, pengajar pendukung, fasilitas memadai, biaya murah serta lingkungan yang kondusif. Karena Negara Singapura termasuk Negara yang terkaya di dunia, maka tak heran jika biaya yang diperlukan teruntuk pendidikan relatif murah. Selain itu, pemerintah pun menyediakan beasiswa bagi keluarga yang tidak mampu. Namun sudah bukan menjadi sesuatu yang mengherankan lagi, jika Singapura menjadi Negara yang sukses karena memang adanya latar belakang Negara yang kaya. Tapi masih ada bebrapa Negara yang tampaknya perlu kita beri acungan jempol. Seperti halnya Negara Kamboja yang masih dicengkram kemiskinan yang malah membiarkan biaya gratis untuk unit pedidikan yang besar serta dibarengi dengan upaya peningkatan mutu. Bahkan Negara China berani mengeluarkan komitmen terhadap wajib belajar dengan menyatakan illegal memperkerjakan anak sebelum selesai wajib belajar Sembilan tahun.
Dari paparan diatas, yakin mulai dari kendala-kendala sampai pengkomparan terhadap Negara tetangga, memanglah sulit jika hanya dilaksanakan sepihak, namun perlu adanya kerjasama dari semua elemen, mulai dari guru, murid, orangtua, terutama pemerintah dan Negara. Untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah tugas kita, para generasi muda. “Mereka saja bisa, mengapa kita tidak?” bukan begitu?!