Dewasa ini, kita tahu marak dai, ulama, atau ustadz yang ceroboh dalam berfatwa menggunakan ayat Al-Qur’an; seenaknya dalam menafsirkan; atau menyajikan dalil yang tidak hanya tidak utuh tapi juga sebenarnya tidak sesuai dengan munasabah (kesesuaian) ayat. Kalaupun kita tidak pernah menemukan (fenomena di atas), setidaknya itulah titik kesamaan yang diresahkan oleh tiga orang kiai yang memberikan kata pengantar buku ini: KH Ahsin Sakho, KH Abdul Nashir Fattah, dan KH Afifuffin Dimyathi. Mereka semua merupakan orang-orang yang memang pakar di bidang tafsir. Karena itu, mereka tidak akan sembarangan menyatakan keresahannya ke publik. (Hanya saja Kiai Ahsin lebih berhati-hati dalam menyatakan pendapat ini. Beliau hanya mewanti-wanti bahwa tidak semua orang bisa memberikan tafsir pada ayat Al-Qur’an).
Memang Al-Qur’an tidak bisa dipahami dengan utuh secara mentah-mentah. Sebab untuk mendalami apa yang tumbuh dalam Al Qur'an, diperlukan alat bantu agar bisa mengetahui apa yang dikehendaki oleh Al Qur'an, walaupun itu hanya secara dugaan (dzonny). Meskipun mengetahui hakikat dari apa yang dimaksud Allah SWT lewat ayat Al Qura’n merupakan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan. Namun, setidaknya kita bisa meraba-raba dan menduga-duga terkait dengan apa yang dimaksudkan oleh Allah melalui ayat Al-Qur’an. Alat bantu itulah yang oleh para ulama disebut dengan Ilmu Tafsir.
Ilmu tafsir sendiri sebenarnya merupakan fan ilmu yang amat luas. Ia mencakup banyak bidang, termasuk ilmu Ushul al-Fiqh, ilmu Ma’ani, Tarikh at-Tasyri’ dan lain sebagainya. Bahkan Prof. Dr. Habib Quraish Shihab dalam salah satu bukunya, Kaidah Tafsir, menyitir pernyataan Imam al-Zarkasy dalam kitabnya, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an:
إن الصنـاعة طويلة والعمـر قصير
‘Disiplin (cakupan) ilmu ini sangat luas, sedangkan usia amat terbatas’
Padahal Imam al-Zarkasy menulis kaidah-kaidah ilmu Al-Qur’an dalam empat jilid besar. Lalu jauh setelah itu Prof. Quraish Shihab muncul sebagai seorang pakar Tafsir terkemuka dengan kitab tafsir belasan jilidnya. Dan di titik inilah buku “Mozaik Ilmu Tafsir” urun rembuk terhadap khazanah dunia ilmu tafsir dengan segala kesederhanaannya.
Sebelum menginjak ke isi buku ini, ada baiknya kita mengetahui bagaimana isi kitab “Manzhumah at-Tafsir” yang menjadi pokok bahasan dalam “Mozaik Ilmu Tafsir. Kitab ini merupakan karangan Syekh Abdul Aziz Ar-Rais AzZamzami (lahir 976 M), ditulis dengan sistematika penulisan berupa syair-syair indah yang berjumlah 158 bait. Teks puisi “Manzhumatut Tafsir” karya Az-Zamzami ini merupakan penggubahan karya berbentuk puisi dari kitab “Ilmu al-Tafsir” yang berbentuk prosa karangan As-Suyuthi (w. 911 H/1505 M).
Mengikuti penjelasan KH. Afifuddin Dimyathi, keunikan kitab “Manzhumatut Tafsir” adalah pengklasifikasian ayat. Secara umum klasifikasi ayat Al-Qur’an dikategorikan dalam Makkiyah dan Madaniyah. Namun, Syekh Abdul Aziz membuat klasifikasi tambahan berupa pengelompokan ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saat beliau di rumah (al-hadhari); dan dalam perjalanan (as-safari); kelompok ayat yang diturunkan di malam hari (al-laili); dan di siang hari (an nahari); kelompok ayat yang diturunkan pada saat musim panas (ashshaifi); dan musim dingin (as-syita'i); atau bahkan kelompok surat yang diturunkan saat Nabi Muhammad tidur (al-firasyi).
Secara umum, urutan bab dalam buku ini mengikuti apa yang sudah ada dalam Manzhumah at-Tafsir, yakni terdiri dari: sebuah pembukaan (mukaddimah) yang berisi mabadi’ asyroh dan definisi istilah-istilah penting; 6 (enam) bab (dalam kitab kata “bab” disebut dengan “‘iqd”) dan sebuah penutup tentang nama-nama yang ada di dalam Al-Qur’an. Sedangkan yang membedakannya dengan kitab adalah terdapat pembahasan mengenai sejarah perkembangan dan pertumbuhan tafsir, sejak masa Nabi Muhammad, sahabat hingga era Tabi’ut Tabi’in.
Jika dirinci, ke-6 bab tersebut adalah :
1. Turunnya Al-Qur’an dari segi waktu dan tempat, terdiri dari 12 pasal. Pembahasannya seperti di lokasi mana sebuah ayat diturunkan; dalam kondisi apa ayat tersebut diturunkan; apakah saat traveling, saat di rumah, siang, malam, musim dingin, musim panas; apa alasan dibalik turunnya ayat-ayat Al-Qur’an (asbabun nuzul).
2. Sanad Al-Qur’an yang terdiri dari 6 pasal. Tentang siapa yang meriwayatkan ayat tersebut, apakah riwayatnya mutawatir atau tidak. Hal ini terkait dengan para penghafal Al-Qur’an di masa ketika Nabi Muhammad masih di tengah-tengah sahabat, serta ketika Nabi Muhammad sudah tiada.
3. Pembahasan Qiro’ah dalam Al-Qur’an, terdiri dari 6 pasal. Seperti tentang Waqf, Idgham dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pembacaan Al-Qur’an.
4. Pembahasan lafal dalam Al-Qur’an, terdiri dari 7 pasal. Pembahasan ini berhubungan dengan teks Al-qur’an sebelum mencapai maknanya. Pengetahuan tentang inilah yang menentukan apakah seseorang bisa sampai pada makna sebuah ayat secara utuh. Seperti apa saja lafal yang bermakna ganda (Musytarok), benarkah dalam Al-Qur’an ada lafal selain bahasa arab yang sengaja diarabkan (Mu’arrob)? Dan lain sebagainya.
5. Makna yang berhubungan dengan hukum, terdiri dari 14 pasal. Diantara bab-bab lain, bab 5 ini merupakan bab terpanjang dan, karena itu, menurut saya, paling rumit pembahasannya.
6. Makna yang berhubunga dengan lafal, terdiri dari 6 pasal.
Sekilas melihat sampulnya, memang buku ini seperti sebuah buku terjemah dari Manzhumah at-Tafsir. Namun, nyatanya tidak. Banyak referensi-referensi lain yang meliputinya, baik yang besar seperti Tafsir Ibnu Katsir, sampai kitab yang kecil (hanya berupa catatan kaki) seperti Khulashoh at-Taqrir karya Syekh Yasin Al-Fadani. Bahkan ada pula kitab dari KH. Afifuddin Dimyathi—yang juga menulis kata pengantar untuk buku ini: Mawarid al-Bayan fii Ulum al-Qur’an.
Tambahan penjelasan dalam buku ini sangat diperlukan karena Manzhumah at-Tafsir sangatlah ringkas. Sehingga ada hal-hal yang perlu dilengkapi dari kitab lain. Semisal saja, ketika menjelaskan lafal Ghorib, Syekh Abdul Aziz tidak memberikan contoh mengenai lafal tersebut. Beliau hanya menuturkan dari manakah makna lafal Ghorib didapatkan. Sedangkan Ghorib sendiri menjadi pasal pertama dalam bab ke-4. Oleh sebab itu harus dicarikan contoh dari kitab yang lain.
Bagi buku ini—saya pikir—Manzhumah at-Tafsir bukan saja sebagai “sopir” yang mengatur bagaimana buku “berjalan”, tapi juga menjadi rambu-rambu yang menjadi tolok ukur ke mana buku akan diarahkan di antara banyak simpang jalan. Hal ini berhubungan dengan para ulama ilmu tafsir, sebagaimana dalam ilmu-ilmu yang lain, yang seringkali berbeda pendapat dalam memandang suatu permasalahan. Seperti dalam pembahasan Mu’arrob berikut.
Syekh Abdul Aziz alih-alih memungkiri adanya ulama yang mengingkari keberadaan Mu’arrob dalam Al-Qur’an, beliau malah menyebutnya sendiri dalam bait bahwa memang ada kelompok yang ingkar. Maka yang diikuti oleh buku ini adalah apa yang juga diikuti oleh Syekh Abdul Aziz. Sehingga ditampakkanlah dalam bab Mu’arrob ini argumentasi-argumentasi dari kitab dan ulama lain yang menguatkan pendapat adanya Mu’arrob dalam al-qur’an. Seperti pendapat Imam Syafi’I dan Imam Suyuthi.
Selain itu, dalam setiap akhir pasal juga disertakan skema ataupun tabel yang merangkum isi pasal. Hal ini tentunya memudahkan kita untuk memahami dan—kalau perlu—menghapalkannya.
Mungkin kita yang haus akan ilmu tafsir tidak akan terobati hanya dengan membaca buku ini. Sebab buku ini hanya memuat kurang lebih 300-an halaman. Sebuah ukuran yang tipis untuk sebuah kajian ilmu tafsir yang luas. Namun, setidaknya, buku ini bisa menjadi batu pijakan bagi seorang calon mufassir. Batu pijakan yang tidak bisa tidak harus diinjak untuk melangkah menuju fase berikutnya yang lebih tinggi.