“Nah, itu kan Gerbang Raja Herodes!” Begitu ucap bibir saya ketika saya berdiri di perempatan yang memisahkan antara Salah el-Din Street. dan Sultan Suleiman Street. dan posisinya lurus pada gate Harun Al-Rasyid street, Gerbang kuno tersebut dalam Bahasa Arab disebut Bab Al-Sahiroh. Al-Quds alias Jerusalem. Hal itu terjadi dalam kunjungan saya Bersama Istri beserta rombongan berjumlah 15 orang diantaranya Kepala Madrasah Romo KH. Abdul Nashir Fattah dan Ibu Nyai Ummu Salma, Gus Rif’an, Ibu Nyai Lilik Muhibbah Fattah Cirebon, Ibu Nyai Halimah Ahmad Denanyar, Gus Afif Denanyar, Gus Kholiq Hasan dan Ning Ida, serta beberapa kerabat dan sahabat, pada hari selasa malam, tanggal 10 Desember 2019.
Padahal, dua hari yang lalu. Kami masih terdampar terlempar jauh di ujung barat pantai Mediterania kota Alexandria Mesir (220 km baratnya kota Cairo), saat itu dengan perjalanan Bus Misr Travel dari Cairo ke arah timur laut, menyeberangi terowongan Hamdi di bawah Terusan Suez kemudian menyusuri lereng semenanjung gunung Turisina hingga masuk di kota Taba, kota terakhir sebelum perbatasan Israel hingga masuk Border kota Eilat, Jericho dan saat ini sudah berada di Jerusalem, Palestina, perjalanan darat yang kami tempuh kurang-lebih 950 km. Kunjungan ini merupakan dream comes true. Saat masih belajar di Universitas Al Azhar Cairo, Mesir saya sudah mengunjungi kota suci Makkah dan Madinah, dengan demikian kunjungan ke Jerusalem ini merupakan puncak dari pendakian menuju spiritualitas-historis yang tak akan pernah terlupakan (unforgettable). Kunjungan ke kota suci ketiga bagi umat Islam.
Malam itu saya ketinggalan rombongan untuk berangkat Bersama-sama Shalat berjamaah di Masjidil Aqsha. Waktu saat itu menunjuk sekitar pukul tujuh malam. Suasana di sekitar perempatan jalan utama ramai. banyak orang yang lalu lalang. Tidak jauh dari gerbang itu sebuah Tank Panser warna putih dan dihiasi bendera negara Israel sedang bersiaga. Entah apa dan siapa yang mau dihadapinya.
Menyadari berada tidak jauh dari Gerbang Raja Herodes, segera dalam benak saya menggelegak keinginan untuk menapakkan kaki menuju Kubah Al-Shakhrah (Dome of the rock) dan Masjidil Aqsha. Dengan langkah cepat, saya pun segera memasuki gerbang itu dan kemudian menelusuri labirin lorong-lorong kecil menuju Masjidil Aqsha. Sepanjang perjalanan, saya hanya bertemu beberapa orang, saya menduga mungkin orang-orang masih melaksanakan shalat Isya’ berjamaah. Ketika melintasi Via Dolorosa, lorong yang dikatakan sebagai jalan yang dilintasi Nabi Isa a.s. ketika memanggul salib, saya lama mengamati, mencermati lorong itu sambil merenung. Dan, kemudian, selepas berjalan sekitar 20 menit, langkah saya pun kian mendekati gerbang ke arah Kubah Al-Shakhrah dan Masjidil Aqsha.
Derap langkah cepat diiringi dengan hati yang berdebar-debar, jantung berdegub kencang, seakan ingin cepat sampai di tanah suci itu, Dari jauh saya melihat, dua polisi Israel laki-laki dan perempuan dengan menyandang senjata laras panjang berdiri di depan pintu. Mungkin karena melihat saya melangkah cepat menuju ke arah mereka, mereka tampak siaga penuh. Apalagi saat itu malam ba’da isya’ rasanya seperti dini hari yang sepi sekali.
“Hey..Good Evening! Selamat malam!” ucap saya kepada mereka berdua, begitu langkah kaki saya kian dekat dengan pintu gerbang itu.
“Hi man, where do you come from? Dari mana kau?” tanya salah seorang polisi itu, dengan nada suara galak.
“From Indonesia,” jawab saya. Sambil menahan langkah, bersikap santai dan percaya diri, karena beberapa kali saya melintasi Border serta Perbatasan negara Israel dan menghadapi pertanyaan serupa. Sepengetahuan saya, password “Indonesia” cukup manjur untuk “membuka pintu itu”.
“Okey, come in. Masuk!”
Begitu melintasi pintu itu, dua petugas keamanan Palestina segera menyegat saya dan bertanya dengan ramah. Tentu saja dalam bahasa Arab, “Kamu dari mana?”
“Dari Indonesia.”
“Ahlan wa sahlan,” ucap dua petugas keamanan itu dan kemudian memeluk saya. “Silakan masuk”. Itu banyak orang sedang berkumpul di Kubah Al-Shakhrah rupanya jamaah shalat isya’ baru saja selesai. Saya pun segera melaksanakan Shalat Isya’ ma’mum Masbuq.
“30 menit lagi gerbang ditutup” teriak petugas keamanan Masjid kepada Jamaah yang masih asik berdoa, wiridan, berfoto selfie.
Mendengar penjelasan petugas keamanan demikian, saya pun segera melangkah cepat menuju pintu keluar. Segera, dari kejauhan, mencuat sebuah bangunan persegi delapan dan di puncak bangunan itu bertengger sebuah kubah besar berwarna keemasan. Itulah Kubah Al-Sakhrah.
Kubah Al-Sakhrah, apa itu?
Kubah yang satu itu adalah sebuah kubah dalam lingkungan Masjidil Aqsha, Bait Al-Maqdis. Catatan sejarah menorehkan, kubah itu dibangun di bawah pengarahan dua arsitek asal Jerusalem, yaitu Raja’ ibn Hayawah Al-Kindi dan Yazid ibn Salam.
Kubah ini dapat dikatakan merupakan cikal bakal seni Islami, yang tujuan dasarnya untuk mengekspresikan akidah yang terkandung dalam Al-Quran. Hal ini seperti tertampilkan pada lokasi kubah tersebut, struktur bangunannya, dimensi dan proporsinya, bentuk-bentuk estetika yang terdapat padanya, warna-warna yang menghiasinya, garis besar luarnya, dan simfoni ruang dalamnya.
Ide pendirian bangunan tersebut sebenarnya cukup menarik: ide untuk menampilkan lokasi batu yang menjadi tempat awal perjalanan Mi‘raj yang dilakukan Nabi Muhammad Saw menuju Sidrah Al-Muntaha, serta untuk melindunginya dari terpaan sinar matahari, hujan, dan hajaran perjalanan hari.
Konon, ‘Umar ibn Al-Khaththablah yang pertama kali mengemukakan ide untuk memelihara batu tersebut. Karena itu, dia kemudian memerintahkan pendirian loteng dari kayu di atas batu tersebut. Loteng tersebut tetap bertahan hingga ketika ‘Abdul Malik ibn Marwan mengunjunginya. Penguasa Dinasti Umawiyyah, dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah itu kemudian memerintahkan untuk menggantinya dengan sebuah bangunan artistik yang selaras dengan kedudukan batu tersebut dalam kalangan kaum Muslim.
‘Abdul Malik ibn Marwan mengawali pembangunan bangunan Kubah Al-Shakhrah pada 69 H/688-689 M.
Pembangunan kubah ini baru rampung pada 72 H/691-692 M. Bangunan kubah ini merupakan sebuah ruangan lapang yang terdiri dari delapan sisi. Di atasnya terdapat sebuah kubah bundar yang indah yang tegak di atas struktur dari kayu. Bangunan ini, baik dari dalam maupun luar, diplester. Bagian dalam kubah dihiasi dengan ornamen-ornamen Byzantium yang sangat menawan, sedangkan bagian luarnya diberi warna keemasan. Al-Shakhrah tegak di dalam bangunan yang dikelilingi lingkaran terbuka dan tegak di atas lengkung-lengkung lancip serta berada di atas tiang-tiang dan penyangga-penyangga dari pualam.
Kemudian Kubah Al-Shakhrah direnovasi dengan menambahkan keramik Iznik yang bertuliskan Surat Yaasin dan Al Isra’ pada masa Turky Ottoman. Setelah itu terjadi renovasi besar-besaran pada masa pendudukan Jordania yg menggantikan Kubah Al-Shakhrah dengan aluminium dan bronze alloy dari Italia pada tahun 1963-1964.
Bangunan Kubah Al-Shakhrah akhirnya dipercantik lagi oleh Raja Husein dari Jordania dengan menambahkan lapisan emas seberat 80kg pada kubahnya, sehingga terlihat indah seperti yang kita lihat sekarang ini. Lalu yang mana yang dimaksud Masjidil Aqsha yang disebut dalam Surat Al Isra’ ayat 1 di dalam Al Qur’an? Yaitu daerah yang membentang dari sekitar Kubah Al-Shakhrah sampai Masjid Al Aqsha yg sekarang. Karena bangunan Masjid Al Aqsha yg sekarang sendiri baru dibangun pertama kali oleh Umar ibn Al-Khaththab yg awalnya dikenal sebagai Masjid Umar.
Begitu sampai di bangunan yang berbentuk segi delapan bak kristal yang menggambarkan bumi, berlapis emas, dan memiliki tinggi dan garis tengah sekitar 25 meter itu, saya pun segera menuju pintu di sebelah kanan dari arah saya datang. Sebelum memasuki bangunan itu, karena udara terasa dingin, sekitar 10 derajat celcius, saya pun menutupi muka dengan kafiyeh. Dan, begitu langkah saya menapaki bagian dalam bangunan, mâsyâa Allâh, indahnya luar biasa.. ada ruangan di bawah tanah mirip gua, konon tempat tersebut yang dipakai munajat oleh Baginda Rasulullah SAW.
Selesai mengamati kubah al Shakhrah dan bangunan masjid persegi lima, saya bergegas kembali ke Hotel Holy Land (Hotel Bait al-Maqdis) yang terletak hanya 100 meter dari Gerbang Raja Herodes tepatnya di gate Harun al Rasyid street, sebelum tantara Israel menutup pintu 30 menit selepas shalat isya’.
Setelah sampai Hotel, saya masuk kamar dan memesan kopi panas, duduk santai di Balkon kamar sambil memandang kubah Emas Dome of the rock Yang pada akhirnya berbagai pertanyaan muncul bertubi-tubi, berkecamuk tentang Jerusalem atau Bait al-Maqdis.
Bait al-Maqdis atau Jerusalem, apa itu?
Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang berjudul al-Muqaddimah, menguraikan dengan apik tentang Sejarah Bait al-Maqdis yang disajikan dalam bab yang berjudul Faslun fi al-Masajid wa al-Buyut al-Adhimah fil ‘Alam:
وأما بيت المقدس وهو المسجد الأقصى فكان أول أمره أيام الصابئة موضع الزهرة وكانوا يقربون إليه الزيت فيما يقربونه يصبونه على الصخرة التي هناك. ثم دثر ذلك الهيكل، واتخذها بنو إسرائيل حين ملكوها قبلة لصلاتهم
“Bait al-Maqdis atau yang sering disebut sebagai Masjidil Aqsha pada awalnya di masa kaum Sabean adalah kuil Zahrah (Dewi Venus). Kaum Sabean menggunakan minyak sebagai sajian pengorbanan yang dipercikkan dan disiram pada batu karang yang ada di kuil tersebut. Kuil pemujaaan Dewi Venus ini pada tahap selanjutnya mengalami kerusakan. Dan ketika Bani Israil berhasil menguasai Jerusalem, mereka menggunakan batu karang bekas pemujaan di kuil Zahrah tersebut sebagai kiblat untuk peribadatan mereka.”
Jerusalem dalam bahasa Yahudi (Hebrew) Yerushaláyim, juga dulu ada yg menyebut Tsiyown atau Zion, atau dalam masa Romawi disebut Ilya atau Aelia Capitolina, kemudian dalam bahasa Arab dikenal juga sebagai: al-Quds atau Bait al-Maqdis [al-Sharif], "The Holy Sanctuary" merupakan kota tua penuh dengan cerita sejarah kontroversi dari sejak zaman purba hingga kini yang melibatkan 3 agama samawi besar di dunia yaitu: Islam, Yahudi dan Nasrani. Kontroversi ini berpusat pada satu titik di dalam kota Jerusalem yaitu: Kubah Al Sakhrah atau Dome of the rock di dalam kawasan Masjidil Aqsha, yang mana di dalamnya terdapat batu karang besar atau biasa disebut al Sakhrah (Dome of the rock).
Menurut agama Islam di Masjidil Aqsha inilah Rasulullah SAW melakukan starting point Mi’raj ke Sidratul Muntaha. Menurut agama Nasrani, Jacob (Nabi Yakub) pernah tidur di batu besar, yg kini berada dalam Dome of the rock tersebut, dan bermimpi melihat tangga menuju langit. Agama Nasrani pun meyakini bahwa di batu itulah tempat Abraham (Nabi Ibrahim) mengorbankan anaknya yaitu Ishaq (yang selama ini kita yakini anak yang diqurbankan adalah Ismail dan tempatnya di Mina Makkah). Sementara menurut orang-orang Yahudi meyakini bahwa Luh-luh Nabi Musa (kitab Taurat asli), yang dulu pernah hilang, berada tepat di bawah Dome of the rock. Dan orang-orang Yahudi meyakini bahwa Jerusalem adalah tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka yang dinyatakan melalui Nabi Musa, sehingga mereka meyakini bahwa mereka punya hak penuh atas tanah Jerusalem tersebut. Sementara bangsa Arab Palestina meyakini bahwa mereka adalah penduduk asli dari tanah ini sebelum Bani Israel (orang Yahudi) datang ke tanah ini. Hal inilah yang menjadikan pergolakan antara bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi Israel hingga sekarang.
Dalam Bahasa Karen Armstrong, Jerusalem disebut juga sebagai “satu kota tiga iman” hal ini mengingatkan saya pada kunjungan Presiden ke tiga Mesir Anwar Sadat 19 November 1977, kunjungan itu dilakukan semata-mata untuk mengusahakan perdamaian, pada saat itu Anwar Sadat mengemukakan pandangannya mengenai status wilayah yang direbut Israel yaitu Semenanjung Sinai (Gunung Turisina), Tepi Barat, Jalur Gaza dan sebagian wilayah Jerusalem serta para pengungsi Palestina, kunjungan ini sungguh mengejutkan siapa saja, semua pihak yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung dalam perang timur tengah. Sadat adalah pemimpin Arab pertama yang mengunjungi Israel sejak pecah perang teluk. Dihadapan para anggota Knesset (Parlemen Israel) Sadat berpidato: “saya datang ke hadapan anda semua pada hari ini dengan niat teguh untuk menciptakan sebuah kehidupan baru dan perdamaian, kita semua mencintai tanah ini, tanah tuhan…”.
Kunjungan inilah yang antara lain mendorong ditandatanganinya dua naskah penting yakni A Framework for Peace in the Middle East dan A Framework for the conclusion of a Peace Treaty between Egypt and Israel. Naskah inilah yang menjadi dasar dicapainya perdamaian antara Mesir-Israel yang disebut Perjanjian Camp David di USA ditandatangani pada bulan Maret 1979 oleh Presiden Mesir Anwar Sadat, Perdana Menteri Israel Menachem Begin dan disaksikan oleh Jimmy Carter Presiden USA. Akhirnya Isreal menarik pasukannya dari Turisina dan menyerahkan seluruh wilayah Turisina yang direbutnya dalam perang tahun 1967 itu kepada Mesir. Akan tetapi kunjungan kontroversial Anwar Sadat ke Jerusalem dan penandatanganan perjanjian Camp David ini menuai pro dan kontra, tidak hanya dihadapan rakyatnya sendiri tetapi di seluruh semenanjung Arab. Hal yang sama juga pernah dialami oleh Gus Dur menuai pro dan kontra atas sikapnya yang dianggap kontroversial. Tahun 1994, saat menjabat ketua umum PBNU Gus Dur diundang Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, untuk menyaksikan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Tahun 1999 Presiden Gus Dur pernah mencoba membuka hubungan diplomatic dengan Israel, Tahun 2004 Surat kabar Haaretz di Israel menjuluki Gus Dur sebagai “A friend of Israel in the Islamic World”. Tahun 2008 Gus Dur menjadi anggota dan menerima Medal of Valor, Medali Keberanian dari Yayasan Simon Peres Israel.
Pada tanggal 6 Oktober 1981 saat peringatan hari kemenangan Mesir atas Israel sebuah parade militer di Shalah Salem street tepat di depan Kampus II Universitas Al Azhar, tiba-tiba salah satu panser dalam parade itu keluar dari barisan menuju depan mimbar kehormatan tempat Anwar Sadat berdiri, seorang tentara berpangkat Letnan satu bernama Khaled Islambouli turun dari panser dan berlari mendekati mimbar sambil melepaskan tembakan bertubi-tubi. Presiden Anwar Sadat dan beberapa pengawal dan 7 petinggi negara Mesir tewas sedangkan 28 orang lainnya terluka. Inilah akhir perjalanan hidup seorang Peaceman, Sadat tewas saat memperingati hari kemenangan atas Israel.
Nah, inilah persamaan antara Presiden Sadat dan Presiden Gus Dur, sama-sama “dibunuh” Sadat dibunuh Badannya, Gus Dur “dibunuh” kekuasannya/karir politiknya sebagai Presiden pada Tanggal 23 Juli 2001 dilengserkan (Impeachment) secara politis oleh Parlemen Indonesia, anehnya meski jutaan pendukung Gus Dur siap menjadi tameng, untuk menjaga kekuasaannya, tetapi dengan tenang Gus Dur mendinginkan para pendukungnya dengan ucapan: “tak ada Jabatan di dunia ini yang perlu dibela mati-matian”. Akhirnya pertumpahan darah yang diprediksi oleh banyak pengamat akan terjadi, ternyata tidak.
Pemimpin-pemimpin dunia itu memang telah tiada, Anwar Sadat, Abdurrahman Wahid, tetapi setiap orang yang menyusuri jalan di Jerusalem pasti akan mengingatnya kembali, bahwa sejarah mencatat Presiden Sadat adalah pemimpin Muslim pertama setelah Shalahuddin al Ayyubi yang mendapatkan kehormatan dan kekaguman dari penduduk Jerusalem, Presiden Gus Dur adalah pemimpin Muslim kedua yang mendapatkan kehormatan dan kekaguman serta tokoh sentral yang menjadi jembatan dialog bangsa Arab-Israel, Sadat adalah tokoh perdamaian, Gus Dur adalah Tokoh Demokrasi & Kemanusiaan, keduanya memasuki Jerusalem dengan tujuan yang sama, misi yang berbeda dan zaman yang berbeda. Setiap zaman memiliki pahlawannya sendiri. Dan, perjalanan ke Jerusalem itu sama-sama melegenda walaupun akhir dari perjalanan itu berbeda.
Malam ini hingga mendekati 9 derajat celcius beberapa pertanyaan yang masih menjadi tanda tanya tentang Jerusalem hingga membuat malam ini semakin sunyi, senyap, dingin menusuk tulang:
Mengapa “Rumah Allah” SWT kedua didirikan di sini? Mengapa Nabi Musa diperintahkan Allah membawa Bani Israel ke tanah ini? Kenapa Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk Shalat menghadap tempat suci ini selama 16 atau 17 bulan? Mengapa Nabi Muhammad SAW dibawa dulu ke sini baru di’Mi’rajkan’ ke Sidratul Muntaha untuk bertemu Sang Maha Pencipta? Kenapa tidak dari Makkah langsung ke Sidratul Muntaha? Mengapa Nabi Muhammad SAW meminta umatnya agar mengutamakan pergi ke Masjidil Aqsha ini (selain Masjidil Haram & Masjid Nabawi) sebelum pergi ke tempat lain? Mengapa sejak dahulu, berbagai bangsa datang untuk berperang memperebutkan tempat suci ini? Mengapa semua manusia akan dikumpulkan di tempat ini kelak ketika datangnya hari Kiamat?
Ya Allah.... kopiku berubah menjadi es…….
Apakah semua ini adalah salah satu bagian dari rahasia-rahasia Allah? Ataukah logika kita yang masih sangat terbatas untuk dapat menjawabnya?
Wallahu a’lam bi al Shawab.
Jerusalem, 11 Desember 2019
Oleh: H. Muhyidin, Lc, MM (Staf Pengajar Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 6 Tahun Bahrul Ulum Tambakberas Jombang)