Oleh : H.Moh Abdulloh Rif’an Lc.
9. Dasar-Dasar Dalil Fiqh Madzhab Syafi’iyah
Dasar-dasar dalil syar’i yang di buat sandaran Imam Syafi’i terbatas pada empat hal, yaitu: al-Qur’an al-Karim, al-Sunnah al-Nabawiyyah, Ijma’ Ulama’ dan Qiyas. Madzhab Syafi’iyyah telah tersebar di berbagai negara seperti di Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan yang lainnya. Di berbagai Negara tersebut Imam Syafi’i sendirilah yang menyebarkannya dengan mengajarkan dan menyebarkan kitab-kitab karangan beliau, setelah itu para murid beliau lah yang bertanggung jawab mengajarkan kepada para pengikutnya ketika beliau telah wafat.
10. Istilah-Istilah Nama Atau Sebutan Dalam Madzhab Syafi’iyyah
Istilah-istilah nama atau sebutan dalam madzhab Syafi’iyyah ada dua, yaitu: Pertama, al-Imam, yang dimaksudkan adalah Imam al-Haromain al-Juwainy. Beliau adalah Abdul Malik bin Abdillah bin Yusuf pengarang kitab al-Nihayah, al-Burhan dan yang lainnya, wafat pada tahun 478 H. Kedua, al-Qodli, yang dimaksudkan adalah al-Qodli Husain Abu Ali Muhammad bin Ahmad al-Marwazy, sebagian dari karangannya adalah kitab Syarkhu Talkhisi ibni al-Qodli dan kitab Syarkhun ‘Ala Furu’i ibni al-Khaddad, wafat pada tahun 462 H.
Al-Qodliyani lainnya yang di harapkan adalah: Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardy (wafat pada tahun 450 H) pengarang kitab al-Khawy al-Kabir dan kitab al-Ahkam al-Shulthoniyyah serta Abdul Wahid bin Isma’il bin Ahmad al-Ruyany yang wafat pada tahun 501 H. Sedangkan al-Syaikhoni yang di harapkan adalah: Abdul Karim Muhammad bin Abdul Karim al-Rofi’i Abu al-Qosim al-Quzwainy (wafat pada tahun 634 H) pengarang kitab al-Aziz Syarkhu al-Wajiz serta Yahya bin Syarof Abu Zakariyya al-Nawawi, beliau memiliki banyak karangan yang di antaranya adalah kitab al-Roudloh, Syarhu Muslim dan al-Tahqiq, wafat pada tahun 677 H ketika umur beliau sekitar empat puluh lima tahun. Al-Syuyuh yang diharapkan adalah Imam Nawawi, Imam Rofi’i dan Imam al-Shubki yaitu Taqiyyuddin Ali bin Abdul Kafi al-Shubki Syaihul Islam di masanya, wafat pada tahun 756 H.
Al-Syarih ketika di ucapkan menggunakan al-Syarih atau al-Syarih al-Muhaqqiq maka yang di harapkan adalah Jalaluddin al-Makhally Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim yang mensyarahi kitab al-Minhaj karangan Imam Nawawi serta mempunyai beberapa karangan yang sangat bermanfaat, beliau wafat pada tahun 874 H. Akan tetapi dalam kitab Syarkhu al-Irsyad kitab karangan al-Maziyyi, ketika di ucapkan al-Syarih maka yang di harapkan adalah al-Jaujary, beliau adalah Muhammad bin Abdul Mun’im al-Qohiry Syamsuddin (wafat pada tahun 889 H), sebagian dari peninggalannya adalah Syarhu al-Irsyad dan Tashilu al-Masalik Ila Umdati al-Salik Li Ibni al-Naqib. Syarih, ketika diucapkan istilah syarih tanpa menggunakan (al) maka yang diharapkan adalah salah satu dari pensyarah untuk kitab manapun yang ada, ini tidak ada bedanya baik yang ada pada kitab Tuhfatu al-Muhtaj atau yang lainnya, berbeda pendapat lagi dengan orang yang megatakan bahwasannya yang di harapkan adalah syuhbah.
Syaihuna, al-Syaih atau Syaihu al-Islam yang diharapkan adalah Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad al-Anshory (wafat pada tahun 926 H), beliau mempunyai beberapa karangan yang menunjukkan keutamaannya diantaranya yaitu; Manhaj al-Tullab, Lubbu al-Usul. Syaihi ketika yang mengucapkan istilah ini adalah al-Khotib al-Syirbini maka yang di harapkan adalah al-Syihab Ahmad bin Ahmad al-Romly (wafat pada tahun 971 H). Dan yang di harapkan adalah al-Jamal al-Romli dengan ucapan “Orang tuaku telah berifta’ dengan ini dan sebagainya”.
Ketika Imam al-Syairozi dalam kitab al-Muhaddzab menggunakan istilah Abu al-Abbas maka yang di harapkan adalah Ahmad bin Suraij al-Bagdady Syaihu al-Syafi’iyyah di masanya, wafat di Baghdad pada tahun 306 H ketika umur beliau lima puluh tahun lebih enam bulan. Dan ketika al-Syairozi mengharapkan Abu al-Abbas bin al-Qodli maka beliau akan memberi catatan tersendiri.
Ketika menggunakan istilah Ibnu al-Qosh maka yang di harapkan adalah Ahmad al-Thobary, beliau belajar fiqh dari Ibnu Suraij dan wafat pada tahun 335 H. Al-Qosh adalah seseorang yang menganjurkan untuk menyebutkan beberapa kisah. Ketika Imam al-Syairozi menggunakan istilah Abu Ishaq dalam kitab al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah al-Marwazy Ibrahim bin Ahmad murid dari Ibnu Suraij yang wafat pada tahun 340 H. Imam Nawawi berkata “Imam Syairozi tidak menyebutkan Abu Ishaq al-Isfiroyiny dalam kitab al-Muhaddzab”.
Ketika Imam Syairozi menggunakan istilah Abu Sa’id dalam kitab al-Muhaddzab maka yang di harapkan adalah al-Isthohry Abu Sa’id al-Hasan bin Ahmad yang wafat pada tahun 328 H. Beliau dan Ibnu Suraij adalah Syaihu al-Syafi’iyyah di negara Baghdad. Imam Nawawi berkata “Imam al-Syairozi tidak menyebutkan Abu Sa’id dari ahli fiqh selain beliau”. Abu Hamid, istilah ini di gunakan dalam kitab al-Muhaddzab untuk dua orang, yaitu: Al-Qodli Abu Hamid al-Marwazy Ahmad bin Basyar bin Amir yang wafat pada tahun 362 H serta Syeikh Abu Hamid al-Isfiroyiny Ahmad bin Muhammad yang wafat pada tahun 406 H. Imam Nawawi berkata setelah menyebut beliau berdua “…akan tetapi beliau berdua di sebut dengan catatan al-Qodli dan al-Syaih maka tidak akan ada keserupaan, pada kitab Muhaddzab tidak ada Abu Hamid selain beliau berdua tidak dari Ashab kita dan tidak dari yang lainnya”.
Abu al-Qosim di gunakan dalam kitab al-Muhaddzab dan yang di harapkan adalah empat Imam yaitu: al-Anmathy, al-Daroky, Ibnu Kajjin dan al-shoimary. Tidak di temukan dalam kitab al-Muhaddzab istilah Abu al-Qoshim selain nama keempat beliau tersebut. Abu al-Thoyyib dalam kitab al-Muhaddzab yang di harapkan adalah dua imam dari ahli fiqh Syafi’iyyah, yaitu: Ibnu Salamah dan al-Qodli Abu al-Thoyyib guru dari Imam Syairozi. beliau berdua ini di sebut dengan di sifati. Ketika dalam kitab al-Muhaddzab menyebutkan istilah al-Robi’ min Ashabina maka yang di harapkan adalah al-Robi’ bin Sulaiman al-Murody murid dari Imam Syafi’i. Di dalam kitab al-Muhaddzab tidak ada al-Robi’ selain beliau, tidak dari kalangan fuqoha’ atau yang lain kecuali pada masalah penyamaan kulit apakah bulunya suci. Dan yang di harapkan adalah al-Robi’ bin Sulaiman al-Jiyi.
Imam Nawawi berkata “Ketika aku mengucapkan kata ana pada al-Syarhu, Dzikri dan al-Qoffal maka yang aku maksud adalah al-Marwazy, dikarenakan beliau yang paling masyhur pada pemindahan (naqlu) madzhab………….”. Adapun penyebutan al-Syasyi lebih sedikit jika dibandingkan dengan al-Marwazy di dalam madzhab. Ketika yang diharapkan adalah al-Syasi maka Imam Nawawi akan memberi catatan. Al-Muhammadun al-Arbaah beliau adalah:
1) Muhammad bin Nashr Abu Abdillah al-Marwazy, wafat pada tahun 294 H.
2) Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir, wafat pada tahun 309 H atau 310 H.
3) Muhammad bin Jarir al-Thobary, wafat pada tahun 310 H.
4) Muhammad bin Ishaq bin Khozimah, wafat pada tahun 311 H
Keempat nama di atas telah sampai pada tingkatan mujtahid mutlaq, meskipun keluar dari pendapat Imam Syafi’i dalam beberapa masalah tapi secara keseluruhan beliau-beliau ini tidak keluar dari pendapat Imam Syafi’i. Maka mereka tetap di anggap sebagai Syafi’iyyah dari ushul mereka dikeluarkan. Al-Ashab yang di harapkan adalah beliau-beliau para pendahulu Syafi’iyyah, yaitu para Ashabul Aujuh secara keseluruhan. Jika di batasi dengan hitungan masa, beliau ini adalah para Syafi’iyyah yang muncul dari empat ratusan yang disebut dengan al-Mutaqoddimun, karena dekatnya beliau dengan kurun waktu yang di saksikan dengan keberhasilan (tanbih). Sedangkan al-Mutaahhirun yang di harapkan adalah mereka para ulama’ Syafi’iyyah setelah kurun keempat, atau bisa di katakan mereka adalah para ulama’ Syafi’iyyah yang datang setelah Imam Nawawi dan Imam Rofi’i.
Perkataan Imam al-Rozi dengan kata al-Ashab ini membingungkan, karena tidak diketahui apa yang di harapkan dari Imam al-Rozi, apakah beliau mengharapkan al-Syafi’iyyah atau Asya’iroh. Hal tersebut di karenakan Imam al-Rozi sendiri adalah pengikut Syafi’iyyah juga pengikut Asya’iroh. Maka hal tersebut tidak akan menjadi jelas kecuali ketika Imam al-Rozi menjelaskan apa yang dimaksudkan di dalam kitabnya, misalnya beliau berpendapat pada masalah fiqh murni maka bisa di ketahui bahwa yang beliau maksudkan adalah al-Syafi’iyah atau jika beliau berpendapat pada masalah aqidah murni maka yang dimaksud adalah Asya’iroh. Adapun jika masalahnya adalah masalah fiqh yang ada sangkut pautnya dengan ilmu kalam, maka akan susah untuk menentukannya.
11. Kitab-Kitab yang di Bukukan Madzhab Syafi’iyah
Para ulama’ telah sepakat bahwa kitab-kitab yang dikarang oleh Imam Syafi’i dalam ilmu fiqh itu ada empat kitab, yaitu: al-Umm, al-Imla’, Muhtashoru al-Buwaity dan Muhtashoru al-Muzanny. Dan yang di maksudkan disini adalah kitab-kitab yang di tulis oleh Imam al-Buwaity dan Imam al-Muzanni tersebut dinisbatkan kepada Imam Syafi’I akan tetapi hanya dalam maknanya saja. Kemudian keempat kitab tersebut di ringkas oleh Imam al-Haromain al-Juwainy pada karangan beliau yang diberi nama al-Nihayah (keterangan ini sesuai dengan apa yang telah di jelaskan oleh ulama’ mutaahhirun). Akan tetapi jika kita mengambil pendapatnya al-Babily dan Ibnu Hajar beliau mengatakan bahwasannya kitab al-Nihayah adalah Syarah dari kitab Muhtashoru al-Muzanny dan kitab tersebut adalah kitab ringaksan dari kitab al-Umm.
Imam al-Ghozaly dengan kitabnya yang diberi nama al-Bashit, dimana kitab tersebut adalah ringkasan dari kitab al-Nihayah, yang kemudian beliau meringkas kitab al-Bashit menjadi kitab al-Wasith kemudian meringkasnya kembali menjadi kitab al-Wajiz, hingga akhirnya kitab al-Wajiz di ringkas menjadi al-Khulashoh. Setelah itu datanglah Imam al-Rofi’i yang juga meringkas kitab al-Wajiz karangan Imam Ghozali yang diberi nama al-Mukharror, akan tetapi ada keterangan sedikit di kitab al-Tuhfah yang menjelaskan bahwasannya kitab al-Muharror disebut Muhtashor (ringkasan) itu disebabkan lafadlnya hanya sedikit (ringkas), bukan karena termasuk ringkasan dari al-Wajiz.
Imam Nawawi meringkas kitab al-Muharror yang diberi nama al-Minhaj, kemudian kitab al-Minhaj tersebut di ringkas oleh Imam Zakariyya al-Anshory menjadi kitab al-Manhaj. Kitab al-Manhaj pun diringkas oleh Imam al-Jauhri menjadi kitab al-Nahj. Selain Imam Rofi’i yang membuat ringkasan dari kitab al-Wajiz beliau juga mengarang syarah dari kitab al-Wajiz menjadi dua kitab, yang satu kitabnya agak kecil dan beliau tidak memberi nama pada kitab tersebut sedangkan yang satunya agak besar yang beliau beri nama al-Aziz. Dari kitab al-aziz ini Imam Nawawi meringkasnya menjadi kitab al-Roudloh, kemudian kitab al-Roudloh diringkas oleh Imam Ibnu Muqri menjadi kitab al-Roudl, sampai akhirnya kitab al-Roudl ini di syarahi oleh Imam Zakariyya al-Anshori dalam kitab beliau yang diberi nama al-Asna.
Selain kitab al-Roudl yang di syarahi oleh Imam Zakariyya al-Anshori kitab ini juga di ringkas oleh Imam Ibnu Hajar yang diberi nama al-Na’im. Kitab ini sangat bagus sekali akan tetapi keberadaan kitab ini sudah tidak muncul di masa Imam Ibnu Hajar ketika masih hidup. Kitab al-Roudloh karangan Imam Nawawi juga di ringkas oleh Imam Ahmad bin Umar al-Muzajjad al-Zabidy yang diberi nama al-Ubab, kemudian kitab ini di syarahi oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya yang diberi nama al-I’ab, akan tetapi kitab al-I’ab ini belum ditulis sampai selesai.
Kitab al-Roudloh selain diringkas menjadi al-Ubab juga di ringkas oleh Imam al-Suyuti menjadi kitab al-Ghoniyyah, beliau juga membuat nadlomannya yang beliau beri nama al-Khulashoh akan tetapi kitab nadloman ini belum ditulis sampai selesai. Imam al-Quzwainy juga mengarang ringkasan dari kitab al-Aziz yang beliau beri nama al-Khawi al-Shoghir, kemudian kitab ini dinadlomkan oleh Imam al-Wardy dalam kitab Buhjah-nya. Kitab nadloman al-Buhjah disyarahi oleh Imam Zakariyya al-Anshori dengan dua kitab syarah. Setelah itu Ibnu al-Muqri membuat kitab ringkasan dari al-Khawi al-Shoghir menjadi kitab al-Irsyad, dan kitab ini kemudian disyarahi oleh Imam Ibnu Hajar dengan dua kitab syarah.
Imam Ibnu Hajar berkata “Setelah Imam Nawawi membuat karangan al-Roudloh datanglah beberapa ulama’ mutaahhirun (ulama’ setelah kurun Imam Nawawi) dan mereka berbeda-beda tujuan atas kitab-kitab yang telah ada, sebagian ada yang membuat karangan khasiyah (catatan pinggir) dan banyak ulama yang mempunyai gaya seperti ini, dan karangannya pun menjadi karangan yang besar-besar seperti contoh Khasyiyah-nya Imam al-Adzro’i yang beliau kasih nama al-Mutawassit Baina al-Roudloh wa al-Syarhi, kitab ini berjumlah lebih dari tiga puluh kitab. Begitu juga Imam al-Asnawy, Imam Ibnu al-‘Ammad dan Imam al-Bulqiny beliau-beliau ini adalah para jagoan dari ulama’ mutaahhirin dengan tempatnya yang berkilau”.
Setelah beberapa kurun waktu datanglah Imam al-Zarkasyi, beliau adalah murid dari keempat imam diatas (Imam al-Adzro’i, Imam al-Asnawy, Imam Ibnu al-‘Ammad dan Imam al-Bulqiny). Beliau membuat karangan yang menjadi kumpulan dari ringkasan Khawasi guru-guru beliau yang diberi nama Khodimu al-Roudloh. Ketika kita mengetahui bahwasannya kitab-kitab dalam madzhab Syafi’iyyah selalu berkaitan satu dengan yang lain, seperti apa yang dikatakan oleh Dr. Muhammad Ibrahim Ali akan menjadikan ketenangan pada hati kita dan suatu kekaguman pada pembenaran kitab-kitab tersebut beserta pengarangnya pada madzhab Syafi’iyyah.
Sumber Rujukan:
Al-Fathu al-Mubin fi Ta'tifi Mustalakhat al-Fuqoha wa al-Usuliyin oleh: Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-Khafnawy
Al-Imam al-Syafi’I fi Madzhabihi al-Qodim wa al-Jadid oleh : Dr. Achmad Nahrowi abdu al-Salam al-Indonesy.