Oleh : H.Moh Abdulloh Rif’an Lc.
4. Murid-Murid Imam Syafi’i
Selain memiliki banyak guru, Imam Syafi'i juga mempunyai beberapa murid yang telah mengambil fiqh darinya. Imam Syafi'i mempunyai murid-murid yang telah ditemui ketika di Makkah, di Baghdad untuk kedua kalinya dan juga pada akhir masa beliau di negara Mesir.
1) Murid-Murid Imam Syafi'i di Makkah Al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
a. Abu Bakar Abdullah bin Zubair al-Asadi al-Makky al-Khamidy, beliau mengikuti Imam Syafi’i pergi dan menetap bersamanya dari Makkah al-Mukarromah menuju ke Baghdad sampai ke Mesir hingga Imam Syafi'i wafat. Kemudian beliau kembali ke Makkah al-Mukarromah dan berfatwa untuk ahli Makkah sampai beliau wafat pada tahun 219 H dan ada yang mengatakan pada tahun 220 H.
b. Abu al-Walid Musa bin Abu al-Jarwud.
c. Abu Ishaq Ibrohim bin Muhammad al-Abbasi, wafat di Makkah al-Mukarromah pada tahun 237 H.
2) Murid-Murid Imam Syafi'i di Baghdad dan Iraq adalah sebagai berikut:
a. Abu Tsaur al-Kalabi Ibrohim bin Kholid al-Bagdadi, wafat pada tahun 240 H.
b. Abu Ali al-Khusain bin Ali al-Karobisy, dipanggil dengan sebutan al-Karobisy karena beliau adalah penjual Karobis (pakaian tebal), wafat pada tahun 245 H dan ada yang mengatakan 256 H.
c. Abu Ali al-Khusain bin Muhammad bin al-Khusain al-Za'farony, dinisbatkan pada Za'faronah suatu desa dekat dengan kota Baghdad, wafat pada tahun 260 H dan ada yang mengatakan 249 H.
3) Murid-murid Imam Syafi'i di Mesir adalah sebagai berikut:
a. Kharmalah bin Yahya bin Abdullah bin Kharmalah al-Misry, wafat pada tahun 243 H dan ada yang mengatakan 244 H.
b. Abu Ya'qub Yusuf bin Yahya al-Qurosyy al-Buwaithy, dinisbatkan pada Buthi sebuah desa didataran tinggi negara Mesir. Beliau termasuk sebagian dari pembesar Ashhab al-Syafi'i dan menjadi pengganti Imam Syafi'i setelah beliau wafat. Imam Syafi’i berkata tentang al-Buwaithy “Tidak ada seorangpun yang lebih berhak dengan kedudukanku dibanding Abi Ya’qub, tidak ada seorang pun dari ashhabku yang lebih pandai daripada dia”. Beliau wafat dalam penjara pada tahun 232 H dan ada yang mengatakan 231 H.
c. Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya al-Muzany al-Mishry. Imam Syafi’i berkata tentang beliau “Ketika dia melihat syetan dia akan mengalahkanya”. Beliau wafat pada tahun 264 H dan dimakamkan dekat dengan makam Imam Syafi’i.
d. Al-Robi’ bin Sulaiman bin Abdul Jabbar al-Murody, seorang muadzin masjid Jami’ Mesir dan juga menjadi khodim Imam Syafi’i. Imam Syafi’i berkata “Sesungguhnya dia itu paling kuat hafalanya diantara Ashabku, manusia dari beberapa penjuru bumi pergi menuju dia untuk mengambil ilmu al-Syafi’i dan riwayat kitabnya”. Ketika diucapkan al-Robi’ dalam kitab-kitab al-Syafi’iyyah maka sesungguhnya yang diharapkan adalah al-Robi’ al-Murody. Beliau wafat pada tahun 270 H.
e. Al-Robi’ bin Sulaiman bin Dawud al-Jizy dinisbatkan dari Jizah, beliau sedikit meriwayatkan dari Imam Syafi’I dan wafat pada tahun 256 H.
f. Sebagian orang yang menimba ilmu dari Imam Syafi’i dan tidak menjadi pengikut madzhab beliau adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
5. Keteladanan Sikap al-Syafi’i
Para ulama’ menyebutkan bahwasannya ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir menghadaplah al-Robi’ al-Murody kepada beliau, ia memberi nasehat supaya beliau mendapat kedudukan dihadapan Hakim, terlihat mulia dihadapan manusia, dan menyimpan makanan untuk setahun didalam rumahnya. Akan tetapi Imam Syafi’i menolak nasehat tersebut sambil berkata “Hai Robi’ seseorang yang dirinya tidak di agungkan oleh ketaqwaan maka tidak ada keagungan untuknya, Aku telah dilahirkan di Guzzah dan aku dirawat di Hijaz dan aku tidak mempunyai makanan pada waktu malam………………..”. Perkataan ini menunjukkan bahwa kepercayaan beliau mutlak hanya kepada Allah SWT, dan diriwayatkan juga bahwasannya beliau berkata “Ketika aku tidak melihat seseorang, maka aku suka ketika dia salah, tidak ada dalam hatiku dari ilmu kecuali aku bimbang bahwa ketika dia dihadapan setiap orang dan tidak menisbatkan kepada diriku”.
6. Fiqh Imam Syafi’i
Imam Syafi’i tidak pernah mengarah pada pembuatan madzhab yang independen atau mengikuti beberapa pendapat fiqh yang independen seperti pendapat Imam Malik. Ketika beliau pergi menuju Baghdad untuk pertama kalinya, Imam Syafi’i di anggap dari Ashab Imam Malik yang selalu menjaga beberapa pendapat dan melawan para Ahli al-Ro’yu untuk menjaga fiqh Madinah, hingga beliau disebut dengan sebutan Nashiru al-Hadits (penyelamat hadits). Setelah cukup lama menetap di Baghdad, Imam Syafi’i memutuskan untuk mempelajari kitab-kitab Muhammad bin al-Hassan murid dari Imam Abu Hanifah. Setelah itu beliau mendebat dan mengkritik para Ahlu al-Ro’yi sampai beliau merasa bahwasannya beliau harus keluar untuk para manusia dengan komposisi/ campuran fiqh ahli Iraq dan fiqh ahli Madinah.
Imam Syafi’i pun mempelajari pendapat-pendapat Imam Malik dengan mempelajari, mengkritik, dan menyelidiki bukan mengalahkan kefanatikan atau mungkin perdebatan pendapat. Karena menurut beliau ketika mengalahkan kefanatikan maka hanya akan menunjukan beberapa kekurangan. Seperti halnya ketika terjadi beberapa keunggulan dan kekurangan fiqh ahli Iraq, menurut pandangan beliau diharuskan ada pemikiran dan pengarahan penbaharuan misalnya munaqosyah dalam furu’ dan pengarahannya pada mengetahui ushul-nya serta membahas batas-batas dan ukuran. Sehingga Imam Syafi’i pun keluar dari Baghdad dan mencetuskan garis-garis pembaharuan.
7. Periodesasi
Proses pembuatan pendapat-pendapat Imam Syafi’i terbagi dalam tiga periode, yakni: periode Makkah al-Mukarromah, periode Madinah al-Munawwaroh, dan periode Mesir. Dan pada setiap masa ini munculah murid-murid Imam Syafi’i yang belajar dari beliau dan mensyiarkan madzhab beliau di masanya. Imam Syafi’i menetap di kota Makkah al-Mukarromah setelah beliau dari Baghdad yang pertama dalam jangka waktu sekitar sembilan tahun. Dan disini beliau merasa paling semangat di masa-masa penuntutan ilmu, dikarenakan di masa ini beliau banyak memperhatikan beberapa pendapat para ulama’-ulama’ besar dimasa itu.
8. Istilah Fiqh Madzhab Syafi’iyah
Ada beberapa istilah fiqh yang biasa digunakan oleh Imam Syafi’i, antara lain sebagai berikut:
1) Lafadz fardlu untuk sesuatu yang wajib atau yang diharuskan untuk melaksanakanya. Seperti juga kata muharram atau haram untuk sesuatu yang harus ditinggalkan dan untuk sesuatu yang menjadi kebalikan dari fardlu.
2) Kata karohah berarti sesuatu yang dianggap bagus untuk dilaksanakan, misalnya: diriwayatkan bahwasannya sesungguhnya nabi Muhammad SAW berkata: ”Bumi itu masjid kecuali kuburan dan toilet”. Disini Imam Syafi’i memberi illat bahwasannya sesungguhnya kuburan dan toilet itu tidak suci, dan berkata bahwa kuburan adalah tempat yang dibuat mengubur masyarakat umum, yaitu pasir yang bercampur dengan para mayat. Adapun shohro’ (sahara atau padang pasir) yang tidak pernah dibuat mengubur sama sekali kemudian dibuat mengubur suatu kaum yang telah mati, jika pada suatu saat ada seseorang yang shalat pada kuburan tersebut atau diatasnya maka Imam Syafi’i menghukumi makruh dan tidak menyuruh untuk mengulang kembali shalatnya dikarenakan diketahui bahwa pasir itu suci dan tidak bercampur dengan sesuatu apapun.
3) Kata uhibbu berarti sesuatu yang bagus untuk dilaksanakan, akan tetapi tidak sampai tahap wajib, misalnya perkataan Imam Syafi’i tentang pelepasan anjing atau burung yang sudah jinak. Imam Syafi’i berkata “Ketika seorang lelaki muslim melepas anjing atau burungnya yang sudah jinak aku menyukai untuk dia membaca basmalah, maka ketika dia lupa tidak membaca basmalah kemudian anjing atau burung tadi membunuh buruannya maka untuk dia boleh memakannya dikarenakan orang muslim yang menyembelih itu atas nama Allah SWT meskipun dia lupa”. Dan Imam Syafi’i juga berkata “Dan aku menyukai pada sembelihan supaya menghadap kearah qiblat ketika hal itu memungkinkan, dan ketika penyembelih tidak melaksanakannya, maka dia telah meninggalkan sesuatu yang aku menyukainya dan itu tidak mengharamkan pada yang disembelih”. Al-Robi’ meriwayatkan “Aku bertanya kepada al-Syafi’i; Apakah anda membaca Ummul Qur’an dibelakang imam pada rakaat akhir secara pelan? Maka Imam Syafi’i menjawab: ”Aku suka itu dan tidak mewajibkan atas hal itu”.
4) Kata akrohu menurut Imam Syafi’i yang telah diterangkan di atas kadang juga menggunakan istilah lam uhibbu. Imam Syafi’i menggunakan istilah la ba’sa untuk sesuatu yang diperbolehkan tanpa kemakruhan dan kesunatan. Semisal Imam Syafi’i berkata tentang zakat fitrah “Tidak apa ketika melaksanakan zakat fitrah dan mengambilnya ketika dibutuhkan dan selainnya dari shodaqoh yang diwajibkan dan yang lainnya”. Dan beliau juga berkata “Seseorang yang menjual barang dari beberapa barangnya sampai pada masa dari beberapa masanya, dan pembeli telah menerimanya maka tidak apa ketika dia menjualnya pada orang yang membelinya dengan harga yang lebih rendah atau lebih tinggi, baik dengan hutang atau kontan dikarenakan barang yang di jual itu bukanlah barang yang telah di jual pertama kali”.
5) Kata ja’iz digunakan untuk arti boleh tanpa ada kemakruhan atau kesunatan. Seperti beliau juga menggunakan istilah la khoiro fihi untuk sesuatu yang diharamkan dalam artian tidak di perbolehkan.