Oleh : H.Moh Abdulloh Rif’an Lc.
1. Masa Kecil Imam syafi’i
Beliau adalah salah satu ulama’ besar yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi' al-Hasyimi al-Qurosyi al-Muttholibi. Beberapa kalangan diantaranya mengenal beliau dengan sebutan Abu Abdillah akan tetapi namanya lebih sering dikenal dengan sebutan al-Syafi’i, yang dinisbatkan pada kakeknya. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah SAW pada kakek Nabi yang ke-3 yaitu Abdu Manaf bin Qushay.
Al-Syafi'i lahir pada tahun 150 H di Guzzah, salah satu daerah yang terletak di negara Syam. Sebenarnya Guzzah bukanlah tempat nenek moyang beliau akan tetapi pada saat al-Syafi’i lahir ayahnya yang bernama Idris datang ke Guzzah bersama istrinya, yang kemudian meninggal di daerah tersebut. Setelah al-Syafi'i berumur dua tahun ibunya khawatir akan keterasingan nasab anaknya. Karena kehawatirannya tersebut akhirnya sang ibu memutuskan untuk kembali ke Makkah al-Mukarromah, tempat nenek moyang beliau. Imam Syafi'i lahir sebagai anak yatim yang menjalani hidup dalam perawatan ibunya. Pada saat al-Syafi'i mulai hidup dan bertempat tinggal di Makkah tibalah masa-masa pendidikan bagi beliau. Sang ibupun menyerahkan anaknya kepada seorang guru supaya di didik tentang al-Qur’an. Hingga pada suatu ketika ibu al-Syafi’i merasa tidak sanggup kembali untuk membiayai pendidikan beliau, maka al-Syafi'i pun disuruh untuk tidak meneruskan pendidikannya.
Al-Syafi’i berbeda dengan kebanyakan anak lainnya, beliau bisa menangkap dengan cepat apa yang telah di ajarkan dari pengajarnya dan ketika pengajar tadi sudah meninggalkan tempatnya al-Syafi'i pun mengajarkan apa yang telah beliau dapat kepada anak-anak kecil yang lain. Hal ini pun di ketahui oleh pengajarnya, maka al-Syafi'i pun di bebaskan dari biaya pendidikan sampai beliau benar-benar hafal al-Qur'an ketika beliau berumur tujuh tahun. Ketika beliau berumur tujuh tahun dan sudah hafal al-Qur’an, al-Syafi’i memutuskan untuk pergi ke Qabilah Hudzail, yaitu suatu Qabilah yang bertempat di daerah pinggiran Makkah yang terkenal dengan kefasihannya dimasa itu. Di tempat itulah beliau belajar ilmu bahasa dan menghafalkan bait-bait serta syair-syair bahasa Arab.
Setelah dirasa cukup dengan ilmu bahasanya, beliau memutuskan untuk kembali ke Makkah untuk belajar ilmu Fiqh kepada seorang mufti Makkah dimasa itu yang bernama Muslim bin Kholid al-Zanji. Hingga pada saat al-Syafi’i berumur lima belas tahun beliau diberi izin oleh gurunya untuk berfatwa. Karena semangat beliau yang berkobar-kobar untuk menuntut ilmu, al-Syafi’i memutuskan ke Madinah untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik yang saat itu menjabat sebagai mufti Madinah. Pada saat bertemu dengan Imam Malik, al-Syafi'i membacakan al-Muwattha' yang telah beliau hafal dihadapannya. Ketika al-Syafi’i mencapai tingkatan Rijal (sebutan untuk perawi hadits), beliau memutuskan untuk bekerja dan mencari rizqi agar dapat mencukupi kehidupannya yang dibantu oleh Abdullah bin al-Qurosyi, seorang mufti Yaman.
Telah diriwayatkan dari al-Syafi'i bahwa beliau berkata "Aku mengalami kepailitan tiga kali, sampai-sampai aku telah menjual sedikit dan banyak dari apa yang telah aku miliki hingga perhiasan anak dan istriku ……….". Al-Syafi'i menikah dengan Khamidah binti Nafi' bin 'Ansah bin Amr bin Utsman bin Affan dan beliau dikaruniai anak yang bernama Muhammad (menjabat Qodli dikota Madinah), Khalab, Fathimah dan Zainab.
2. Sanjungan Ulama Terhadap al-Syafi’i
Imam Syafi'i telah menempati tempat yang tinggi dalam bidang Fiqh dan beberapa ilmu yang lain, hingga banyak ulama' yang menyanjung beliau. Beberapa sanjungan yang dilontarkan kepada Imam Syafi’i yang pertama adalah dari Imam Ahmad bin Hanbal, yakni sebagaimana berikut: Imam Ahmad bin Hanbal ketika di tanya oleh anak beliau mengapa sering kali menyanjung Imam al-Syafi'i dan beliau pun menjawab "Al-Syafi'i untuk manusia itu bagaikan kesehatan untuk badan manusia, dan bagaikan matahari untuk dunia, maka pikirkanlah apakah kedua hal ini ada penggantinya?" Imam Ahmad berkata "Aku tidak mengetahui tentang yang menasih hadits dari mansuhnya sampai aku belajar pada al-Syafi'i" Beliau berkata juga "Tidak ada seorangpun dari orang yang memiliki tinta dan kertas kecuali al-Syafi'i memiliki ………..".
Sanjungan yang kedua dari Yahya bin Sa'd al-Qotthon berkata "Aku tidak mengetahui yang lebih pandai dan cerdas dari al-Syafi'i, dan aku selalu berdo’a kepada Allah yang aku khususkan kepada beliau seorang didalam setiap shalat". Kemudian Abdur Rahman bin Mahdi pun berkata "Ketika aku melihat (al-Risalah) milik al-Syafi'i yang telah mengherankan diriku, maka aku telah melihat perkataan dari seseorang yang cerdas dan fasih dan juga tulus hatinya, maka kemudian aku memperbanyak do’a untuknya". Dan beliau juga berkata "Aku tidak akan shalat kecuali aku berdo’a untuk al-Syafi'i didalam shalat ini"
3. Guru-Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi'i telah menimba ilmu dari banyak ulama' besar, baik yang berada di Makkah al-Mukarromah, Madinah al-Munawwaronh, Yaman dan Iraq.
Guru-guru beliau yang dari Makkah al-Mukarromah adalah sebagai berikut:
a. Muslim bin Kholid al-Qurosyiyyi al-Zanji, wafat pada tahun 179 H, salah satu imam penduduk Makkah. Beliau berasal dari Syam dan mempunyai laqob al-Zanji (kulit hitam atau negro), dikarenakan warna kulit beliau yang terlalu putih sampai kelihatan kemerah-merahan. Imam al-Syafi'i menuntut ilmu pada beliau sebelum menuntut ilmu pada Imam Malik.
b. Sufyan bin Uyainah bin Maimun Al-Hilali pakar hadits kota Makkah, wafat pada tahun 198 H. Beliau adalah seorang yang buta dan telah menunaikan ibadah haji tujuh puluh kali. Imam Syafi'i berkata "Jika tidak ada Malik dan Sufyan maka ilmu di Hijaz telah hilang".
c. Sa'd bin Salim al-Qodakh.
d. Dawud bin Abdur Rohman al-'Atthor.
e. Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Zuwad.
Guru-guru beliau yang dari Madinah al-Munawwaroh adalah sebagai berikut:
a. Imam Malik bin Anas bin Malik, wafat pada tahun 197 H yang menjadi imamnya kota Hijroh.
b. Ibrahim bin Sa'd al-Anshori.
c. Abdul Aziz bin Muhammad al-Darowardi.
d. Ibrahim bin Abu Yahya al-Asami.
e. Muhammad bin Sa'id bin Abu Fadik.
f. Abdullah bin Nafi' al-Shoigh.
Guru-guru beliau yang dari Yaman adalah sebagai berikut:
a. Mathrof bin Mazin.
b. Hisyam bin Yusuf Abu Abdir Rohman, wafat pada tahun 197 H dan beliau adalah Qodli Sana'a.
c. Amr bin Abu Salamah (murid dari Imam al-Auza'i)
d. Yahya bin Hassan (murid dari Imam Laits bin Sa'd)
Guru-guru beliau yang dari Iraq adalah sebagai berikut:
a. Waki' bin al-Jarokh bin Malikh Abu Sufyan, wafat pada tahun 197 H dan salah satu pakar hadits kota Iraq dimasanya.
b. Khamad bin Usamah al-Kufi Abu Usamah, wafat pada tahun 201 H.
c. Isma'il bin Aliyyah al-Bashri
d. Abdul Wahhab bin Abdul Majid al-Bashri.
e. Muhammad bin Al-Khasan al-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah).
Mereka semua di atas adalah para guru-guru Imam al-Syafi'i yang masyhur di dalam ilmu Fiqh dan Fatwa. Dari nama-nama para guru-guru tersebut kita bisa mengetahui bahwa Imam Syafi'i telah mengambil Fiqh dari banyak madzhab yang ada dimasanya, seperti fiqh Imam Malik, fiqh Imam al-Auza'i dari muridnya Amr bin Salamah, fiqh Imam Laits dari muridnya Yahya bin Hassan, dan juga mengambil fiqh Imam Abu Hanifah dari muridnya Muhammad bin al-Hassan. Dan dari itu semua terkumpulah pada diri Imam Syafi'i fiqh Makkah, Madinah, Iraq dan Mesir.
Imam Syafi'i mempelajari Fiqh dari beberapa madzhab tersebut dengan cara mengkritisi, menyelidiki dan mencari pemahaman bukan dengan mencela dan menjadi pengikut. Maka setelah mempelajari, Imam Syafi'i mengambil apa yang harus di ambil dan menolak apa yang harus ditolak menurut pemikiran beliau yang tetap mengambil dasar dari al-Qur’an al-Karim, hadits, menjaga kemaslahatan dan mencegah kemafsadahan.