Para agamawan pasti percaya bahwa Tuhan itu ada. Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, adalah Tuhan dari seluruh makhluk di alam raya ini. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Allah tidak bisa kita lihat, kita dengar, kita raba, sebagaimana kita melihat, mendengar, dan meraba benda-benda atau makhluk di sekitar kita. Tapi kita, sebagai umat Islam meyakini dan merasakan ke-Ada-annya dan kehadirannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Lalu bagaimana konsep komunikasi yang dibangun diantara Tuhan dan manusia, sedangkan keduanya berada pada dimensi yang berbeda? Di bawah ini, akan saya paparkan bagaimana konsep komunikasi antara Tuhan dan manusia perspektif ilmu semantik.
Membicarakan mengenai komunikasi antara Tuhan dan manusia, pada dasarnya bersifat timbal balik, yakni dari Tuhan kepada manusia, dan dari manusia kepada Tuhan. Dalam Islam, persoalan tentang Tuhan berbicara kepada manusia adalah persoalan Wahyu. Wahyu adalah ‘perkataan’ Tuhan yang menjadi fenomena linguistik non alamiah karena antara pembicara dan pendengar (baca:manusia) berada pada tatanan dimensi yang berbeda antara supranatural dan natural. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan ontologis antara pembicara dan pendengar. Terdapat beberapa hal khusus dalam proses turunnya Wahyu, diantaranya adalah wahyu diturunkan dengan bahasa manusia, yakni bahasa arab kepada orang arab yakni Muhammad SAW. Wahyu ini tidak bisa lepas dari tiga konsep besar. Pertama, Wahyu itu berkaitan dengan kata yang berhubungan dengan dua orang. Artinya, harus ada dua dua orang di tempat kejadian komunikasi agar peristiwa turunnya Wahyu itu dapat benar-benar terwujud. Dalam proses ini, Tuhan bertindak secara aktif melalui isyarat-isyarat dalam ayat-ayat wahyu-Nya kepada manusia. Tetapi dalam kejadian ini, tidak ada respon atau hubungan timbal balik dari manusia kepada Tuhan, yang disebut dengan komunikasi unilateral.
Kedua, komunikasi yang terjadi tidak harus bersifat verbal, yakni tidak selalu bersifat linguistik, meskipun berupa kata-kata
Ketiga, selalu terdapat hal-hal misterius, rahasia, dan pribadi. Konsep ini berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara Tuhan dan manusia (Muhammad). Muhammad sebagai penerima Wahyu menjadi memiliki hubungan personal dengan Tuhan. Hubungan ini menyebabkan komunikasi yang dibangun antara keduanya menjadi intim dan misterius. Maksudnya adalah bahwa apa yang dikehendaki oleh Tuhan dalam perkataannya dimengerti dan dipahami oleh Muhammad SAW. Ketika perkataan ini disampaikan Muhammad kepada manusia lainnya, maka timbullah rasa skeptis dari mereka. Mereka menganggap bahwa Muhammad itu gila pada awalnya karena apa yang Ia sampaikan tidak dipahami sepenuhnya oleh selain Muhammad itu sendiri.
Menurut Al-Qur’an sebagai kitab Wahyu, hanya terdapat tiga bentuk komunikasi antara Tuhan dan manusia. Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yakni komunikasi misterius. Kedua, berbicara dari balik tabir. Maksudnya adalah pendengar sama sekali tidak melihat pembicara. Meskipun demikian, Muhammad SAW benar-benar menyadari bahwa terdapat sesuatu gaib di sisinya yang berbicara kepadanya dengan cara yang asing, seperti gemerincing lonceng yang tidak bisa kita definisikan sebagaimana gemerincing lonceng yang kita ketahui. Ketiga, komunikasi verbal melalui utusan khusus, yakni malaikat. Suatu riwayat menyebutkan mengenai proses turunnya Wahyu melalui seorang utusan yang mana adalah malaikat yang menjelma menjadi laki-laki yang berbicara kepada Muhammad SAW dan ia kemudian memahami perkataannya.
Setelah interaksi yang terjadi dari Tuhan kepada manusia, maka selanjutnya adalah interaksi yang terjadi dari manusia kepada Tuhan. Interaksi ini adalah interaksi yang dilakukan manusia atas dasar inisiatifnya untuk melakukan hubungan verbal dengan Tuhan dan berusaha berkomunikasi dengan-Nya dengan cara yang mereka bisa. Sehingga yang terjadi adalah suatu fenomena yang secara struktural berhubungan dengan Wahyu, karena sebagai kebalikan dari komunikasi dengan arah turun dari Tuhan kepada manusia, menjadi komunikasi dengan arah naik dari manusia kepada Tuhan. Inilah yang biasa kita sebut dengan doa.
Interaksi seperti ini juga terjadi dalam bentuk yang sangat khusus dan istimewa. Pada dasarnya, manusia tidak bisa berkata-kata secara langsung kepada Tuhan jika mempertimbangkan dimensi keduanya. Tidak adanya kesejajaran ontologis antara Tuhan dan manusia membuat komunikasi yang dijalin keduanya menjadi terhambat. Tetapi ketika manusia berada dalam situasi luar biasa, dimana manusia berada pada fase dirinya tidak seperti hari-hari biasanya yang mana jiwanya hampir berada pada titik pertahanannya sebagai manusia biasa, maka ia akan berada pada kondisi dapat berkomunikasi langsung kepada Tuhan. Menurut Al-Kirmani, manusia seperti itu telah mentransformasikan dirinya menjadi sesuatu yang berada di luar dirinya.
Manusia melakukan doa ini karena kasus yang menimpanya, dan ini berbeda pada setiap manusia. Tetapi juga bisa terjadi karena rasa patuh yang mendalam dalam diri manusia atau ketika manusia itu merasakan kematian sudah dekat dengannya. Menurut eksistensialis, hanya dalam situasi terbatas manusia dapat sepenuhnya murni dari semua pikiran kedamaian dan mampu melakukan komunikasi personal yang paling intim antara hari dengan Tuhan.
Dari sini, dapat kita perhatikan bahwa pada saat Tuhan menyampaikan Wahyu, Ia berkehendak agar manusia meresponnya dengan percaya dan keyakinan mendalam. Dalam firman Tuhan أدعوني أستجب لكم , Tuhan meminta manusia untuk berdoa kepada-Nya dan doa yang disampaikan kepada-Nya akan Ia kabulkan pada saat-saat yang tepat. Respon Tuhan terhadap doa manusia ini disebut dengan istijabah yang artinya adalah menjawab dan bersifat non verbal. Konsep istijabah ini juga menentang adanya Tuhan selain Allah. Karena berdasarkan fakta yang terjadi, Tuhan-tuhan selain Allah tidak dapat mengabulkan doa yang disampaikan manusia. Tuhan-tuhan itu tidak dapat mendengar doa-doa manusia, apalagi mengabulkannya.
Sumber : Tuhan dan manusia pendekatan semantik terhadap Al-Qur’an (Judul asli : God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung)
Penulis : Thosihiko izutsu
Penerjemah: Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah, dan Amiruddin
Penerbit: PT Tiara Wacana Yogya, November 2003
Penulis artikel :
Nama : Siti Baazegha Busyaina
Tempat tanggal lahir: Pasuruan, 02 Desember 2001
Profesi : Mahasiswa S1 program studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga