Oleh : Dian D.J.
Seorang teman senior yang bekerja untuk sebuah penerbitan di Jogjakarta pernah mengatakan, bahwa buku yang laris manis di pasaran sekarang adalah buku-buku agama dan buku-buku motifasi. Dari pernyataan temanku itu timbul sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin di jaman di mana manusia dibuai dengan paham materialisme, banyak orang mencari buku yang bertemakan agama! Apa ini sebuah bukti bahwa makhluk yang bernama manusia tidak cukup hanya dipenuhi dengan kebutuhan jasmani semata. Di mana rohani benar-benar menuntut akan asupan yang semestinya diterima. Dan, hal ini sekarang mulai dirasakan.
Satu kesimpulan sederhana yang bisa diambil : Orang-orang menggandrungi segala sesuatu yang berbau agama. Sehingga tidak jarang atribut islam (dengan “i” kecil) dipakai dalam dunia politik, bisnis dll. Bagaimana kita memandang Islam akan mempengaruhi bagaimana memperlakukannya. Apakah Islam itu sebuah subtansi nilai, ideologi politik, kostum drama, acara TV Ramadhan, merek dagang yang laku di pasaran atau Islam adalah aset besar yang multifungsi kegunaannya. Yang bisa menjadi tameng rasa bersalah atas dosa yang kita lakukan.
Dalam sebuah analogi bodoh mengenai pencucian dosa uang haram menyebutkan, kalau kita mengkorupsi uang sepuluh milyar dan kemudian kita mendermawankan uang tersebut sebanyak dua milyar, sesuai janji Tuhan akan dikalikan kebaikan kita minimal sepuluh sampai tujuh ratus kebaikan. Dua milyar dikali sepuluh kebaikan maka hasilnya dua puluh milyar sedangkan uang korupsi kita cuma 10 milyar, berarti antara dosa dan amal masih beratan amal kita. Benarkah demikian?
Atau, bisa juga kita tidak usah repot-repot mengkalkulasi dosa, kita cukup berangkat tamasya haji atau umrah dan benar-benar beriman pada hadist yang mengatakan, “Tidak ada balasan yang tepat baginya kecuali surga”.
Jika ada kesempatan, berjalan-jalanlah ke beberapa pembangunan masjid atau yayasan pendidikan yang berbasis Islam, di sana anda akan banyak menemukan di mana Islam dilemahkan. “Sejak kapan di Masjid ada karaoke dan penangkap kupu-kupu”, kata Aji Stand Up Comedy, (yang dimaksud karaoke adalah orang yang meminta sumbangan dengan mikrofon yang mengobral ayat Qur’an dan Hadist. Sedangkan penangkap kupu – kupu adalah alat penadah uang shodaqoh) meski pengetahuan saya tentang Islam tidak terlalu dalam, tapi saya yakin, Islam tidak mengajarkan umatnya untuk minta-minta”. Mungkin bagi sebagian kecil, semoga benar, ini akan menjadi bisnis tersendiri.
Ada kasus di sebuah daerah yang demi tata krama sosial dan etika nasional saya tidak sebut daerahnya, ada kasus jual proposal pembangunan masjid. Ada seorang ta’mir yang hampir menyelesaikan pembangunan masjidnya, menjual proposal pembangunanya kepada seseorang kisaran beberapa juta untuk menutupi kekurangan pembangunan. Sang pembeli proposal bisa mencari uang dengan proposal itu dengan dalih saya sudah membeli proposal resmi dari ta’mir masjidnya. Jadi hak berapa pun yang saya dapat dari proposal ini menjadi milik saya.
Agama memang proyek yang menjanjikan laba luar biasa. Hingga sampai sekarang pun aku belum memahami dengan adanya privat sholat khusu’ dan kursus melihat cahaya ma’rifat. Di sinilah nampak jelas betapa kreatifnya manusia Indonesia dalam mencari mata pencaharian. Apa pun saja bisa menjadi uang, sebut saja rel Kereta Api dikilokan, bahan material jembatan SURAMADU saja banyak yang hilang dst. dsb.
Mau contoh lagi?
Jika anda diberi kesempatan untuk bisa pergi ke Baitullah, Ka’bah, di sana anda akan menemukan banyak sekali calo Hajar Aswad. Karena memang sangat tidak mudah bisa mencapai Hajar Aswad di tengah ambisi ketuhanan yang luar biasa hingga seakan menghalalkan menyakiti sesama mu’min. Ada beberapa kelompok orang yang menawarkan jasa bisa mencium Hajar Aswad dengan pengawalan dari mereka. Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, di bagian bumi yang paling suci sekalipun masih saja ada manusia yang mencari keuntungan dengan cara tidak sehat. Dan, rata-rata para calo Hajar Aswad adalah orang Indonesia.
Silahkan anda lanjutkan sendiri mendaftar berbagai komersilitas agama yang terjadi di sekitar kita. Keterbatasan halaman yang dijatah bagi saya menuntut saya untuk membatasi tulisan. Silakan diperluas lagi bagaimana contoh-contoh di mana agama bisa benar-benar bersifat multi fungsi sesuai kebutuhan kita. Ini belum menyentuh ranah politik dan sebagainya. Tentunya dengan alur pembahasan yang lebih sistematis yang di dukung dengan data valid. Tidak seperti tulisan ini.
Terakhir, saya mengutip pernyataan Emha Ainun Najib mengenai bagaimana orang menghalalkan segala cara dengan cara yang dihalal-halalkan, “Orang – orang seperti itu tidak bisa disalahkan. Karena memang mencari pekerjaan di Indonesia begitu sulit.”