Sekitar pukul 08.30 pagi bertepatan Ahad, 28 Agustus 2022, HP-ku berdering. Ternyata sahabatku, Gus Salman dalam sebuah perjalanan menghubungiku. Aku yang saat itu sedang rebahan setelah satu jam dua puluh menit mengkaji Fathul Mu'in bersama para santri, dengan riang menerima telepon dari sahabatku itu.
Tapi, riangku mendadak berubah menjadi kesedihan yang mendalam, tatkala sahabatku itu bercerita bahwa: Kiai Nashir telah tiada.
Sebenarnya sahabatku telah meneleponku sejak pagi, tapi data paketku habis dan belum sempat mengisi, keburu mengaji.
Oh Kiai Nashir
Aku mengenalmu sejak tahun 1994, kala itu kita sedang berdebat dalam majelis bahtsul masail tentang pemasangan terop di jalan. Itu adalah pertemuan pertama antara aku dan engkau. Selanjutnya kita menjadi teman diskusi yang hangat, sekaligus menjadi orang tua yang memberi nasihat.
Suatu hari kiai didikan Kiai Sahal Kajen dan Mbah Maemun Sarang ini, memberi nasihat padaku melalui sambungan telpon: "Kene lho ngaji nang Muallimin Tambakberas, ilmumu ben ora mong nglutek di Paculgowang dan Denanyar."
Ketika itu aku sedang mengisi pengajian di Boyolali, tanpa berpikir panjang kuiyakan ajakan sahabatku itu.
Oh Kiai Nashir,
Kiai didikan Syekh Ismail bin Zain Al-Yamani ini orang yang fokus dan teguh dalam pendirian, meski juga akomodatif.
Suatu hari beliau dawuh: "Aku rewangono nang NU, aku moh pengurus NU iku mung titipan atau yang hanya menitipkan namanya."
Sejarah panjang mengurus NU adalah pengalaman serius bagi dirinya, sehingga beliau paham betul arti sebuah khidmah.
Oh Kiai Nashir
Kiai didikan Kiai Fattah. Sang ayah ini pun sosok yang menghargai kiai lain, apalagi yang menjadi gurunya.
Maka kalimat yang lazim diucapkan beliau saat diskusi adalah: "Pie mungguhmu?" Bila hanya bersamaku. Atau "Pripun mungguh Panjenengan sedoyo?" Bila acara rapat bersama para kiai yang lain.
Suatu hari di ruang kepala di sela-sela obrolan santai beliau dawuh: "Pokoke yen ono wong ngerasani Kiai Sahal karo Mbah Mun, aku sukut dan tidak pernah aku berpendapat, mergo beliau berdua adalah guruku."
Suatu hari beliau bercerita: "Aku jane yen iso saat konferensi yang memilih aku dadi Rais pertama, aku moh dadi Rais". Namun Kiai Sahal dawuh: "Yen dikarepno wong akeh yo tomponen."
Bagi beliau jabatan di NU bukan sebuah tujuan yang dicari mati-matian, apalagi diartikan sebagai kendaraan untuk sebuah tujuan pribadi yang menguntungkan. Nampaknya beliau sanggup di saat itu, karena semata titah gurunya.
Oh Kiai Nashir
Ia orang tua yang ikhlas bagiku.
Suatu ketika ia memberi nasihat padaku: "Wong ngaji iku ra usah ndelok piro muride. Yen Sampean ndelok murid, maka setan gampang mlebu, terus rumongso nduwe pengikut dan bangga dengan pengikut, Wong alim iku ra iso diukur karo jumlah muride."
Lalu beliau bercerita Ibnu Malik yang tidak banyak murid, dan lain-lain. Aku saat itu pun hanya diam mendengarkan, meski akhirnya diskusi panjang pun menjadi menu utama.
Oh Kiai Nashir
Kiai pemberani dan heroik ini, kini telah tiada.
Masih kukenang kalimat terakhirmu: "Demi NU Jombang, akan kupertahankan sampai titik darah penghabisan." Ternyata demi NU pula kau tinggalkan kami selamanya.
Namun kesedihan dan kepedihan yang berlarut, bukan yang dikehendakinya. Melanjutkan cita-cita luhur seperti membuat kantor ranting dan membuka kantor kas BMT di setiap ranting adalah tindakan nyata yang membuat beliau tersenyum.
Tetapi bahagia atas wafatnya sosok panutan adalah kejahatan yang terselubung. Aku hanya bisa berdoa untuk membalas kebaikanmu.
Semoga ridla Tuhan bersamamu.
Dari aku orang yang kau tinggalkan
M. Sholeh
(Kiai M Sholeh menjadi anggota LBM-NU PCNU Jombang, periode 2007-2012.
Ketua LBM periode 2012-2017, dan Wakil Rais, periode 2017-2022).