Cuaca di wilayah kabupaten Jombang seminggu terakhir cukup terik, hujan belum lagi turun, meskipun kelembaban udara (humidity) mencapai 100% di pagi hari.
Namun sejak Jumat (01/03), wilayah Jombang kembali diguyur hujan dengan kategori lebat. Sejak hari itu, hampir setiap habis waktu Dluhur, langit Jombang diselimuti awan tebal yang menumpahkan air hujan dalam intensitas tinggi.
Tak pelak saat hari pertama siswa Muallimin mengikuti ujian Penilaian Tengah Semester (PTS), Sabtu (02/03), habis Dluhur, mereka harus berjuang menerobos lebatnya bulir-bulir air hujan yang jatuh dari langit, saat berangkat dari kamar pondok yang tersebar di sebagian besar wilayah Tambakberas, menuju ke gedung Madrasah Timur di dusun Gedang Tambakrejo.
Kondisi tersebut dialami semua siswa, tidak terkecuali siswa yang menetap di Pondok Induk Bahrul Ulum. Pilihannya dua, tetap berangkat ke Madrasah dengan basah kuyup, atau tidak berangkat dengan resiko tidak ikut ujian PTS. Sementara tidak ada dalam tradisi santri menyimpan payung untuk sedia saat hujan.
Bagaimana caranya agar bisa sampai di Madrasah, yang jaraknya sekitar 750 meter ke arah timur menuju dusun Gedang dari pondok yang terletak di dusun Tambakberas, tanpa payung tetapi tidak terciprat air hujan, sehingga tidak basah kuyup saat sampai di Madrasah.
Belum diketahui siapa inisiator awalnya. Dalam mengatasi masalah tersebut, siswa Muallimin yang bertempat di Pondok Induk Bahrul Ulum, memanfaatkan plastik sisa banner acara pondok ukuran kira-kira 3x6 meter sebagai payung bersama.
Plastik sisa banner tersebut di buka lebar, dan sekitar 20 siswa berada di bawahnya. Mereka secara bersama-sama mengangkat tangannya untuk memegang pinggiran plastik, sementara siswa yang ada di tengah rombongan mengangkat tangan untuk menyangga agar plastik banner bisa berjalan rata tanpa cekungan yang menahan air hujan.
Rombongan siswa dengan payung bersama dari sisa banner membutuhkan kekompakan dalam berjalan. Satu orang saja di antara mereka tidak memiliki langkah yang sama, maka seketika akan terjadi benturan beruntun, dan tentu akan menggoyahkan pegangan tangan, selnjutnya bisa mengibaskan plastik banner yang disanggah bersama.
Jika dilihat dari jauh, rombongan payung plastik banner tersebut seperti hewan kaki seribu, yang berjalam saling menopang antar kaki.
Walhasil, dengan memanfaatkan plastik sisa banner tersebut, siswa-siswa sampai ke Madrasah tanpa basah kuyup, atau kalaupun basah tidak sampai kuyup, yang tentu akan rentan terhadap kondisi tubuh. Karena bisa masuk angin jika pakaian yang digunakan basah kuyup dalam beberapa jam, atau minimal pakaian basah kuyup akan membasahi lantai, bangku Madrasah, bahkan mungkin juga membasahi naskah soal ujian.
Kreatifitas memang banyak muncul dari keterdesakan dan keterbatasan. Santri yang hidup serba terbatas, banyak memunculkan kreatifitas, dan inilah yang dibutuhkan kelak dalam menghadapi kehidupan yang lebih riil di tengah masyarakat. (ma)