Sebagai dasar negara, tentunya Pancasila tidak dirumuskan secara sembarangan atau menguntungkan satu pihak saja. Dengan melibatkan beberapa perwakilan dari berbagai kalangan pada proses perumusannya di sidang BPUPKI I yang berlangsung sejak tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, Pancasila diharapkan mampu diterima dan mewakili seluruh elemen masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Karena pada dasarnya, Indonesia memiliki banyak perbedaan dari segi budaya, ras, adat istiadat, dan kepercayaan. Dan agar kita bisa menjadi negara yang kuat, maka kita harus bersatu sejak dari idelogi negara.
Namun, dalam penyusunannya ada suatu isu yang muncul ke permukaan dan menjadi sangat esensial karena berkaitan dengan agama. Yang mana, masyarakat bangsa ini terdiri dari berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda. Gesekan tersebut muncul akibat dari bunyi sila 1 yang termuat dalam Piagam Jakarta, yakni “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kalimat ini dianggap berat sebelah, yakni hanya menguntungkan para pemeluk Islam dan memaksa pemeluk agama lain untuk menaati dan mematuhi syariat Islam tanpa adanya kebebasan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama lain.
Konflik ini terjadi di antara golongan nasionalis (Sebagian beragama Kristen, seperti A.A. Maramis) dan golongan Islam yang diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo. Akhirnya, konflik ini dapat diselesaikan dengan penghapusan kata-kata tersebut dan diganti dengan sila 1 Pancasila yang kita kenal sekarang ini, berkat hasil lobi dari Moh. Hatta dan Kasman Singodimejo dan juga melalui pembahasan yang panjang dan serius disertai dengan komitmen moral yang tinggi. Meskipun pada awalnya Ki Bagus pun sebenarnya masih tidak dapat menerima pendapat Hatta yang lebih condong pada sekulerisme.
Akan tetapi, jika kita telisik lebih jauh, sebenarnya perbedebatan antara hubungan agama dengan negara ini telah berlangsung bahkan sebelum sidang BPUPKI. Perbedaan pandangan ini sudah ada antara PNI dengan Soekarno sebagai tokoh yang mewakili kelompok nasionalis sekuler, dan kelompok Islam dengan H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hasan, dan M Natsir sebagi perwakilan kelompok nasionalis Islam. Dalam perdebatan ini, Soekarno berpendapat bahwa agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan negara merupakan urusan duniawi dan sosial. Oleh karena itu, ajaran agama seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi dan bukan pemerintah. Pemerintah tidak berhak mengintervensi atau bahkan memaksakan suatu agama kepada warga negaranya.
Sementara Natsir berpandangan sebaliknya, yakni tidak ada pemisahan antara agama dengan negara. Ia beranggapan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan antara Tuhan dengan manusia akan tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia.
Menurut Natsir, negara sebuah lembaga yang memuat tujuan, norma-norma khusus, dan sarana fisik yang diakui umum. Dalam sebuah masyarakat terdapat berbagai macam lembaga (politik, ekonomi, agama, pendidikan, keluarga) yang mana negara dapat memiliki andil untuk mengatur dan menyatukan keseluruhan lembaga tersebut dalam sistem hukum yang diatur. Dengan demikian, negara berhak memaksa warganya untuk mengikuti dan mematuhi hukum yang berlaku, bahkan hingga persoalan yang menyangkut agama dan kepercayaan.
Berdasarkan sejarah di atas, dapat dipahami bahwasanya perbedaan pendapat sudah biasa terjadi di antara para tokoh negara ini. Apalagi jika terkait dengan agama dan kepercayaan yang dianut. Akan tetapi konflik tersebut dapat disikapi dengan bijak oleh para tokoh dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai moral yang dianut. Membahas soal agama dan kepercayaan, tampaknya merupakan hal yang hingga sekarang masih sensitif jika diperbincangkan. Pasalnya, mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama resmi yang beragam, dan agama Islam sebagai agama yang paling banyak dianut dengan prosentase 87,08% dari keseluruhan warga negara. Maka, nilai agama termasuk nilai pokok dan pedoman yang penting bagi masyarakat Indonesia dan dirasa perlu untuk mengkaji tentang bagaimana upaya pembinaan nilai-nilai religius dalam kehidupan masyarakat heterogen di Indonesia. Upaya pembinaan tersebut diarahkan pada kehidupan yang harmonis dalam keberagaman (heterogenitas) masyarakat khususnya dalam hal agama.
Secara garis besar, nilai dibagi dalam dua kelompok yaitu nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian dan kesusilaan. Sedangkan nilai memberi adalah nilai yang dipraktekan atau diberikan kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk ke dalam kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil dan murah hati (Elmubarok, 2008:7). Dengan demikian, nilai yang diyakini oleh setiap orang seharusnya menjadi patokan dan standar baginya dalam berperilaku.
Dalam mengatur sendi-sendi kehidupan manusia dan mengarahkannya kepada tujuan bersama yang baik, maka disinilah agama itu diperlukan. Agama dan beragama merupakan dua hal yang tak terpisahkan namun memiliki makna yang berbeda. Agama merupakan sebuah ajaran kebaikan yang menuntun manusia kembali kepada hakikat kemanusiaannya, sedangkan beragama berarti upaya belajar yang dimiliki oleh pemeluk agama untuk mengamalkan ajaran agama dalam setiap aspek kehidupan, agar terjalin hubungan yang indah dan harmonis antar sesama, alam semesta maupun dengan Tuhan. Secara spesifik, berikut adalah pentingnya peranan agama bagi masyarakat Indonesia:
1. Menghidupkan nilai-nilai luhur moralitas.
2. Sumber kekuatan semangat bagi umat dalam menjalani rutinitas kehidupan.
3. Sebagai pegangan dan pedoman hidup bagi umatnya, sekaligus menjadi tolak ukur yang mengatur tingkah laku penganutnya dalam kehidupan sehari-hari.
4. Membentuk perilaku keseharian umat.
Akhirnya, nilai agama tentu memiliki peranan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keseimbangan antara jasmani dan rohani akan menghasilkan harmonisasi yang indah dalam kehidupan. Kehidupan bernegara dan beragama pun akan terasa damai jika kita tetap memegang dan menjalankan nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan dengan bijak. Setiap dari warga negara dapat menghormati serta menghargai perbedaan dan akan hidup berdampingan dengan indah dan tanpa adanya diskriminasi.
Oleh: La Budda Adila (Alumni MMA 2024)