Atas nama Yayasan sendiri menyatakan bahwa Bahrul Ulum memang belum memiliki Perpustakaan sendiri. Bukan karena adanya hambatan biaya-seperti yang seringkali kita duga, melainkan karena kurangnya lahan sebagai tempat berdirinya bangunan Perpustakaan sendiri. Ditambah dengan sulitnya mencari seorang pengelola yang memiliki keterampilan dan ketelatenan dalam bidang Perpustakaan (baca: Pustakawan).
Berbicara sanggup atau tidaknya Yayasan mendirikan Perpustakaan, sebenarnya tidak ada kata tidak bisa, apapun jika dilakukan dengan ‘temenan’ pasti bisa, lebih tepatnya “Amat sangat bisa”. Hanya saja kurangnya beberapa faktor pendukung. Semisal, menurunnya minat baca santri sebab masuknya pengaruh globalisasi, yang menjadikan santri lebih memilih berada di depan komputer daripada menyanding sebuah buku. Jadi, munculnya inisiatif baru untuk membuat santri dapat termotivasi untuk semangat baca memang sangat diperlukan. Salah satu metode agar santri tidak enggan berkunjung ke Perpustakaan adalah dengan ditingkatkannya minat baca atau dengan mengubah wajah Perpustakaan agar menarik sesuai dengan zaman dan perkembangan santri.
Perpustakaan adalah salah satu pelengkap penunjang pembelajaran siswa/santri. Madrasah dan Pondok-pun seharusnya memiliki itu, tanpa perlu memberi penekanan atau juga membangun Perpustakaan dengan mengatasnamakan Yayasan secara pribadi. Terlebih, tidak terdaftarnya Perpustakaan dalam program Yayasan sebagai skala prioritas jangka dekat yang terkalahkan oleh pentingnya web bagi Bahrul Ulum yang kini telah serentak dimiliki oleh seluruh unit di YPPBU.
Membahas tentang skala prioritas, apakah pembangunan kolam renang menjadi skala prioritas jangka dekat dibanding dengan Perpustakaan?. Timbul-lah pertanyaan dari benak kami:
“Daripada membangun kolam renang untuk kepentingan sepihak, apakah nggak ‘eman’ jika tidak membangun Perpustakaan untuk kepentingan umum?”.
”Kolam renang itu bantuan dari Pemerintah, yang memang bantuan itu berupa bangunan, jadi kami tidak bisa menggantinya dengan hal lain. Seperti halnya juga Asrama Mahasiswa yang masih dalam proses pembangunan (Lokasi: STAI STIMIK BU)”, begitulah penataran Gus Azam Khoiruman Nadjib.
Bernostalgia dari beberapa tahun yang lalu-yakni sekitar tahun 2.000, perpustakaan adalah sebuah panggonan yang begitu di minati santri. Bahkan saking booming-nya Perpustakaan pada zaman itu, antrian pengunjung Perpustakaan-pun hampir menyamai Bioskop yang di banjiri oleh penikmat film terbaru saat Weekend. Pun saat teknologi memuncak di Indonesia, Perpustakaan digital ‘sempat’ mengisi eksebisi Pendidikan. Namun, program ini tidak bertahan lama karena menipisnya pengelola Perpustakaan digital itu sendiri.
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan YPPBU akan mendirikan Perpustakaan. Tinggal bagaimana perkembangan dan kemajuan dari pihak Yayasan sendiri untuk memasukkan Perpustakaan dalam program Yayasan. Entah pada tahun berapa dan dalam bentuk yang seperti apa serta pengelolaan yang bagaimana. (Dee-Arin)