Sebuah judul yang mungkin sudah tidak asing lagi untuk pendengaran kita, karena seringnya guru kita mengatakan bahwa menjadi guru itu harus bisa di gugu lan ditiru. Ada sebuah peribahasa“guru kencing berdiri maka murid kencing berlari”, dari pribahasa tersebut maka dapat dijadikan hujjah bahwa akhlak seorang guru itu sangat berpengaruh terhadap akhlak anak didiknya.Jadi bisa dikatakan kalau seorang murid itu merupakan biyas dari guru mereka.Banyak hal yang melatarbelakangi kenapa penulis ingin menulis tentang Guru, diantaranya karena ia ingat dengan pesan kiai Fattah yang mana beliau pernah menghimbau terhadap para santrinya untuk mau mengajar bila sudah kembali ke tempat lahirnya. Penulis pada khususnya juga ingin memberikan sedikit pedoman tentang arti guru kepada teman-teman yang akanmenjadi pendidik di daerahnya masing-masing, dan untuk segenap pembaca pada umumnya.
Dalam kamus bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan guru adalah orang yang mengajarkan ilmu,sedangkan dalam peraturan pemerintah yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluaisi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Guru adalah salah satu profesi yang tidak bisa dianggap remeh, karena kemajuan peradaban suatu bangsa di masa mendatang itu bergantung pada kemampuannya dalam mengkarder para penerus bangsa, bila mereka mampu menjadikan anak didiknya menjadi sesosok anak yang memiliki tekat untuk bisa terus membanggakan bangsa, maka besar kemungkinan bangsa tersebut akan maju dan berkembang di masa yang akan datang, untuk itu hanya pendidik professional yang mampu mengemban amanat agung tersebut.
Namun, Penulis sedikit tidak setuju bila gelar professional itu hanya di berikan pada para sarjana, karena tidak sedikit para kiai yang tidak pernah merasakan bangku kuliah, akantetapi ia jauh lebih‘alim dan lebihprofessional. Buktinya seperti apa yang dicerminkan pendiri sekolah kita, beliau hampir tidak pernah meninggalkan kewajibannya mengajar kecuali ada ‘udzur sar’i, bahkan mbah Fattah akan menyuruh tamu yang ingin menemuinya untuk menunggunya sampai selesai mengajar bila memang waktunya bersamaan dengan jadwal mengajar.Bahkan ada juga yang menyuruh santrinya untuk mengantarkannya mengajar kesekolah ketika kakinya sudah tidak mampu untuk berjalan, seperti apa yang dilakukan guru besar kita yakni KH. Abd Jalil Bulak.Lantaran realita tersebut akhirnya penulis lebih condong mengartikan professional dengan arti yang sederhana saja, yakni mereka yang benar-benar tahu mana rana kewajibannya sebagai guru dan mereka yang benar-benar mampu memahami tugas utama guru, tanpa harus mengesampingkan psikologi anak didik.
Kali ini penulis lebih menitik beratkan membahas tentang peran dan eksistensi guru dalam ranah dalam (afektif), bukan peran guru dalam ranah luar (kognitif). Bukan berarti penulis menganggap tidak penting, akan tetapi dirasa pembaca sudah sangat memahami tugas guru dalam ranah luar seperti mendidik,mengajar, dan melatih anak didiknya maka menerut penulis tidak seharusnya pembahasan tersebut diterangkan secara terperinci pada kesempatan kali ini.Oleh karenanya, mungkin hanya ada sekilas pembahasan mengenai hal tersebut.
Semua guru pasti terus mendidik anak didiknya agar memilki prestasi yang terpuji dan teruji, karena antara akhlakdan materi pelajaran itu sangat menentukan dalam hal kualitas hasil keilmuannya.Seorang guru juga tidak akan putus asa untuk membebaskan anak didiknya dari kebodohan dalam berbagi renik bentuknya, karena tujuan awalnya mengajar adalah hanya ingin berjuang untuk para pemegang estafet kemajuan bangsa dimasa mendatang, sebab para pelajar dimasa sekarang adalah potret pemimpin di masa mendatang.Bahkan merekajuga sering memberikan latihan tidak hanya melalui tugas formal semata, tapi diiringi dengan suri tauladan yang baik.
Hanya saja niat suci para guru sekarang sudah banyak berubah, dimana pekerjaan mengajar itu sudah dijadikan sebagai profesi.Sebetulnya tidak ada salahnya bila pekerjaan mengajar itu di jadikan sebagai profesi, karena sayyidina Ali r.a sendiri pernah berkata bahwa beliau berani membayar seratus dinar untuk orang yang telah mengajarkannya satu huruf.Kalau satu huruf saja di ganti dengan seratus dinar, maka sangat wajar bila guru sekarang meminta imbalan uang atas usahanya yang telah mengajarkan beragam pengetahuan.Akan tetapi, yang menjadi permasalahan adalah bila dalam pemahaman guru menjadi profesi, itu menjadikannya sampai melupakan kreatifitas dan juga mengabaikan mental spiritual anak didik. Bila menganggap sebagai profesi itu dapat menjadikan ia lebih maksimal serta sungguh-sungguh dalam mengajar dan memahami psikologi anak, maka itulah arti profesional yang sebenarnya.
Fenomena unikpun mulai bermunculan, diantaranya adalah lantaran begitu tingginya harapan orang tua untuk pendidikan anak, sehingga lembaga pendidikan terkadang tidak lagi mempertimbangkan faktor-faktor kejiwaan anak didik.Akibatnya anak di tuntut untuk menguasai sejumlah kompetensi tertentu yang bisa jadi tidak sesuai dengan kemampuan anak.Padahal sebenarnya sikap kurang profesinal dalam mendidik anak seakan melahirkan kesan bahwa interaksi pendidikan telah melakukan penindasan terhadap mereka.Ironisnya hal ini terjadi tanpa disadari oleh orang tua dan penyelenggara pendidikan, atau sudah mereka sadari namun mereka tidak bisa berbuat lebih, lantaran keterbatasannya ?hanya yang bersangkutan yang mampu memberikan jawaban secara pasti.Tapi hal tersebut jelas berdampak negatif pada psikologisanak. Untuk itu hendaknya kita lebih peka terhadap kejiwaan anak, sehingga kita dapat mengetahui kapan mereka masanya bermain dan kapan masanya belajar, jangan hanya mengedepankan ego semata, karena maksud yang mulia bila tanpa diiringi dengan usaha yang baik maka tidak akan hasil.
Dalam proses tranformasi ilmu sangat diperlukan ketenangan dan kenyamanan, baik dari segi suasananya maupun dari segi berfikirnya. Oleh sebab itu sang guru harus membatasi dirinyaagar tidak menjadi sosok yang selalu menakutkan. Memeng benar sikap keras terhadap anak itu sangat relevan untuk mengkondusifkan pusparagam kenakalan yang mereka lakukan,akan tetapi hal tersebut sangat bertolak belakang terhadap kejiwaannya. Sebab secara tidak langsung kita telah mendidik mereka berfikir progresif dan bermental lemah (baca: minder), bila dunia pendidikan sudah tercermin begitu maka dapat ditebak kalau generasi mendatang adalah para generasi yang miskin akan kreatifitas dan menjadi pribadi eksklusif.Untuk itu diharapkanbagi seorang guru untuk benar-benar mampu menjadi orang tua kedua bagi anak didiknya.Mungkin belaian kasih sayang dan cinta jauh lebih efektif.
Kekerasan hanya akan menjadikan murid tambah membencipelajarannya, sedangkan kita semua sudah mengetahui bila cinta sudah pudar maka sesuatu yang mudah di lakukan akan terasa sulit.oleh karenanya, seharusnya dalam jiwa pendidik itu selalu menanamkan cinta pelajaran dalam hati mereka, lantaran bila cinta sudah mengkristal di dalam hatinya maka mereka tidak akan pernah lelah untuk terus mencari pengatuhan baru, dan mereka akan menjadi pribadi yang tidak muda putus asa dalam menghadapi kerasnya badaiketika mengarungi lautan ilmu.Dan ketahuilah, bahwa cinta memiliki kekuatan yang tidak terbayangkan oleh akal.Jadi sangat wajar bila sampai lahir kata-kata yang sudah populer di kalangan remaja, yakni “ bila cinta sudah melekat maka tahi kucing terasa seperti coklat ”. Didalam Alqur’an sendiri juga di jelaskan bagaimana gambaran kekuatan cinta, yaitu ketika ketampanan nabi Yusuftelah membius para wanita, sehingga mereka tidak merasa bahwa tangannya telah terkena goresan pisau yang mereka pegang. Itu hanyalah sebagian dari seribu gambaran tentang dahsyatnya suplemen cinta.s
Begitu pula bagi seorang guru, bila dalam hatinya sudah mengkristal rasa sayang terhadap anak didiknya, maka ia akan mudah mengendalikan suasana belajar mengajar yang beriklim keharmonisan.Karena cinta dan kasih sayang itu adalah dua faktor yang sangat penting untuk menjadikannya sebagai alas pola pikir anak, dan keduanya merupakan bahan mendasar untuk konstruktif pendidikan.
Guru juga bisa di ibaratkan sebagai pemahat, hanya saja objek yang mereka pahat bukanlah sebuah tanah atau batu melainkan hati, jadi bila yang mereka pahat adalah bentuk kearifan dan kebijaksanaan, maka besar kemungkinan kalau anak didik mereka kelak tidak hanya pintar dalam pelajaran saja, akan teatapi juga disertai akhlakul karimah.Pembentukan itu tidak semudah yang kita bayangkan, buktinya tidak banyak orang yang ahli membuat patung atau relief, hanya segelintir orang yang benar-benar memiliki kesabaran, ketekunan, dan konsistensi saja yang mampu membentuk patung yang indah dan memiliki nilai seni dalam setiap pahatannya.Begitu juga dengan seorang guru, untuk menjadikan murid-muridnya memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam tingkah lakunya, maka diperlukan konsistensi dan implikasi tentang pelajaran-pelajaran yang mereka sampaikan di bangku sekolah, karena konsistensi itu mampu memberikan kredit tersendiri.
Penulis ingin menunjukkan sebuah realita yang tidak kalah menarik.Dimana dalam era reformasi seperti sekarang dunia sangat membutuhkan kekereatifan dan kemampuan yang multi talenta. Dan kekereatifan hanya dapat diperoleh bila mana seseorang tersebut mau memahami betapa pentingnya arti dari sebuah proses, bukan malah mendewakan hasil semata. Karena dunia yang serba instan seperti sekarang hanya akan menerima orang yang benar-benar memilki skill, barang siapa yang tidak kreatif maka bisa dipastikan ia tidak akan bisa berkembang.
Namun dewasa ini, dunia pendidikan sedang dijajah dengan pemahaman bahwa hasil akhir adalah segalanya.Bukankah semua sudah mengetahui bahwa tujuan seseorang sekolah itu untuk menghilangkan kebodohan, bukan untuk mencari selembar kertas yang menyatakan kelulusan kita (baca: ijazah). Tapi kenapa budaya tersebut semakin hari kian berkembang. Untuk mengetahui penyebab utamanya diperlukan penelitian yang menghabiskan banyak waktu dan biaya, oleh karenanya penulis tidak bisa mengulas secara mendetail akan permasalahan tersebut, entah perubahan itu dikarenakan kesalahan guru, atau memang muridnya yang kurang memahami arti proses, atau juga kesalahan pemerintah yang selalu merubah sistem pembelajaran di negri ini, tanpa memperdulikan dampaknya terhadap anak. Tapi yang jelas semua itu adalah cermin dimana tidak adanya kordinasi yang baik diantara beberapa kalangan yang bersangkutan.
Dan semua pembahasan diatas akansulit terrealisasi bila mana tidak adanya keharmonisan antara orang tua, murid, dan lembaga pendidikan. Karena antara satu dengan yang lainnya itu saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan.Layaknya sebuah tubuh, ketika ada salah satu saja organ yang tidak berjalan sesuai dengan fungsinya, maka akan berdampak pada seliruh organ tubuh. Untuk itu diharapkan bagi setiap kalangan yang bersangkutan, hendaknya tidak sampai miskomunikasi agar tujuan pendidikan bisa berjalan sesuai dengan yang di harapkan.Untuk yang terakhir, semoga bermanfaat.
By: Pesawat kecil genkaisy