Muallimin Online,
Dalam satu acara Pengurus Cabang Fatayat NU Bondowoso, nampak salah satu pembicara, seorang perempuan, mengenakan batik khas seragam siswa Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Tambakberas.
Dengan begitu bangga dan percaya diri yang tinggi, perempuan tersebut seolah ingin menyatakan, "inilah batik MMA, saya bangga memakainya sampai kapan-pun". Perempuan yang kelihatan cukup cerdas tersebut adalah Anisatul Hamidah. Saat ini, perempuan tangguh tersebut, disamping sebagai Sekretaris Pengurus Cabang Fatayat Bondowoso, dia juga diberi amanah sebagai Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bondowoso.
Bu Anis, begitu dia biasa dipanggil staf-nya, adalah alumni Madrasah Muallimin Muallimat tahun 1994. Salah satu alumni yang berhasil menapaki karir di birokrasi pemerintah, disamping tetap aktif di organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama.
Ibu tiga putra yang asli Banyuwangi tersebut, setelah lulus dari MMA Tambakberas kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Ibrahimy Sukorejo Situbondo, kemudian menempuh kuliah Magister Administrasi Publik di Surabaya. Disamping itu, dia juga menempuh S1 Ilmu Hukum dan S2 Kenotariatan di Universitas Jember dan, sekarang dalam proses menempuh gelar doktor Prodi Ilmu Hukum di Universitas Jember.
“Sebagai alumni MMA saya merasakan prinsip-prinsip yang ditanamkan para kiyai dan guru di MMA bahwa, nanti ketika kita suatu saat menjadi apapun, jangan lupa menjadi santri. Kalau menjadi pegawai negeri sipil atau PNS, jiwa harus santri. Menjadi apapun jiwanya harus tetap santri”, katanya dengan mengingat pesan para kiyai dan guru di MMA.
“Jiwa santri itu adalah jiwa mengabdi. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan manfaat sebaik-baiknya kepada masyarakat dan, mengutamakan keikhlasan dan kesabaran dalam memberikan layanan kepada masyarakat”, sambungnya.
Kesan mendalam yang sampai sekarang terus terpatri dalam jiwanya saat belajar di MMA bahwa, MMA adalah sekolah yang istimewa, sekolah yang luar biasa. “MMA memberikan ilmu yang betul-betul berguna dalam kehidupan, yangberbeda dengan sekolah-sekolah lain. Nanti setelah lulus kita berkipirah di masaarakat, apa yang dibutuhkan di masyarakat diberikan di MMA”, kesannya.
“Juga kesederhanaan para kiyai dan guru. Kami tidak pernah melihat guru-guru mengandalkan kekayaan, kemewahan dan lain-lain. Padahal beliau-beliau memliki jabatan. Ada jabatan Di NU dan lain-lain, yang itu bukan jabatan kecil. Tetapi tidak menunjukkan semua itu”, lanjutnya.
Alumni yang pernah menjabat sebagai ketua OSIS MMA pada periode 1991-1992 ini lebih lanjut menyampaikan bahwa, profil kesederhanaan dan kesahajaan ini menjadi inspirasi bagi semua saja yang pernah belajar di MMA. “Semua yang sekarang kami nikmati dan rasakan terutama dalam pengetahuan adalah berkat beliau-beliau. Karena itu, saya malu kalau mengatakan bahwa, saya menjadi seperti ini hanya karena saya, bukan karena beliau”.
“Kami merasa inilah barokahnya para guru. Seberapa pinternya sih kita belajar saat di MMA, waktu itu itu kami diminta menghafal ya menghafal, menulis ya menulis dan saat itu kami belum memahami. Justru kami bisa memahami setelah berkiprah di masyarakat, setelah kami keluar dari MMA”, kata alumni yang pernah menjadi pengurus Pondok Pesantren al Fathimiyyah Bahrul Ulum ini.
“Kami masih betul-betul ingat, saat almaghfurlah Kiyai Khudlori meminta hafalan dan kita berdiri didepan kelas, juga saat kita hutang hafalan. Kiyai khudlori tidak pernah tau siapa yang belum hafal dan hutang hafalan satu-satu. Beliau orang yang ikhlas dan tidak pernah niteni, dan hafal setiap siswa, tetapi jika siswa ditanya hutang hafalannya berapa, tidak ada siswa yang berani membohongi hutang hafalan berapa bait”, katanya yang pernah juga hutang hafalan.
Terakhir, pesan untuk adik-adik yang sekarang masih belajar di MMA, Bu Anis hanya mengatakan singkat, “Nikmatilah saat masih belajar di MMA”. Karena menurutnya, bagi yang sudah keluar, sudah menjadi alumni, sungguh sangat merindukan saat belajar di MMA. “Kami ingin kembali belajar di sana”, sambungnya.
“Di MMA itu pelajaran tidak sekedar di dalam kelas, tidak sekedar belajar yang ditulis di buku, tetapi belajar dari keteladanan dari para guru. Ketika kita menjadi pendidik kita akan mencontoh apa yang dilakukan oleh para kiyai dan guru-guru kita”.
“Sesungguhnya, ada banyak kesan yang tidak kita dapatkan di sekolah lain, bagaimana pengalaman di praktek mengajar, terlibat dalam kegiatan Bakti Sosial dengan live in di masyarakat, menjadi pengurus OSIS dan lain-lain”, pungkasnya, yang seolah-olah ingin menyebutkan semua hal yang pernah dialami. (ma)