Hubungan Kiai Fattah dan Kiai Nashir bukan sekedar hubungan ayah dan anak. Walaupun berbeda generasi, keduanya bersama-sama menghidupkan kegiatan pembelajaran, baik di pondok pesantren maupun di madrasah dalam naungan nama Bahrul ‘Ulum.
Keduanya sama-sama pernah menjadi pemimpin formal pondok pesantren dan madrasah sekaligus dengan ribuan santri dan siswa. Dalam masa yang berbeda, keduanya adalah agamawan full time, dalam artian menjadikan pengabdian sebagai pelayan umat secara totalitas. Mengutip apa yang telah dikulas oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Hidayatul Adzkiya’ bahwa seseorang dapat menapaki jalan salik dengan berbagai macam cara, keduanya seakan bersekutu memilih jalan al-julus baina al-anam murabbiyyan. Mengajar santri menjadi rutinitas sehari-hari. Kiai Fattah diceritakan mengadakan pengajian berbagai kitabnya di setiap waktu selesai shalatnya, belum lagi apabila menghitung jumlah pengajian yang diadakan di masyarakat sekitar. Setali tiga uang, Kiai Nashir adalah juga figur kiai yang istiqomah menjalani rutinitas pengajian kitab walaupun dalam keadaan sakit sekalipun, baik yang diadakan di pondok pesantren maupun daerah sekitar.
Bukan hanya menjalankan fungsi strukturalnya sebagai kepala madrasah, baik Kiai Fattah maupun Kiai Nashir juga ikut mengajar mata pelajaran di kelas. Merujuk apa yang pernah disampaikan Gus Dur, Kiai Fattah memiliki mata pelajaran favorit yaitu Balaghah dan Ushul Fiqh sedangkan Kiai Nashir terkenal dengan kehebatannya dalam mengajar Tafsir dan Tashawwuf.
Namun seperti layaknya anak kembar yang apabila ditelusuri lebih dalam maka kita akan menemukan tanda ketidaksamaan, Kiai Fattah dan Kiai Nashir juga berbeda dalam beberapa hal. Kiai Fattah diceritakan sebagai seorang kiai yang pandai berpidato, bahkan termasuk orator yang memikat hati. Bermacam-macam ilustrasi sejarah dikemukakannya untuk menggambarkan pesan yang disampaikannya secara hidup.
Kiai Nashir sebaliknya, mungkin hampir tidak pernah berpidato di muka umum. Yang paling sering adalah mewakilkannya kepada orang lain untuk menyampaikan gagasan dan idenya. Dalam majelis-majelis keagamaan di muka umum, beliau lebih banyak membacakan do’a penutup.
Perbedaan yang ada dalam diri Kiai Fattah dan Kiai Nashir tidak menutup kenyataan bahwa keduanya memiliki persamaan mendasar yaitu keteguhan hati untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama. Tidak heran kalau keduanya lalu diarahkan jalan pikiran masing-masing oleh tugas hidup tersebut, watak keduanya dibentuk oleh kecintaan kepada ilmu-ilmu agama.
Keduanya menjadi guru yang tulus dalam mengarungi lautan hidup, tulus kepada panggilan hidupnya, tulus kepada orang lain dan tulus kepada kebenaran yang datang dari keputusan yang diambil. Kiai Fattah dan Kiai Nashir kini telah tiada. Saat ini kita hanya bisa berdoa semoga dapat mewariskan pola kehidupan saling berbeda tetapi sama-sama memiliki keteguhan hati untuk mengajarkan ilmu itu.
Oleh : Robi Pebrian