Dalam bahasan kali ini, penulis ingin sedikit mengulas tentang kematangan ilmu Kiai Nashir, sekurang-kurangnya melalui sudut pandang yang penulis alami sendiri selama ber-mulaazamah dengan beliau. Kematangan ilmu Kiai Nashir -sebagaimana banyak diuraikan dalam tulisan-tulisan lain- didapatkan dari guru-guru yang luar biasa seperti: KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Abdul Fattah Hasyim, KH M.A. Sahal Mahfuzh, KH Maimun Zubair, Sayyid Muhammad bin AlawiAl-Makki, Syekh Ismail Zain Al-Yamani dan seterusnya.
Tahun 2012, penulis yang saat itu masih berstatus siswa kelas 6 Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul Ulum merasa sedikit kaget ketika mengetahui bahwa pengampu mata pelajaran tashawwuf (mata pelajaran yang hanya diajarkan di kelas 6) ternyata diampu oleh kepala madrasah sendiri, Kiai Nashir. Sebagaimana yang umum diketahui melalui tulisan, ceramah ataupun pengakuan tokoh-tokoh bahwa sosok Kiai Nashir begitu identik dengan keahliannya di bidang fiqih. Namun seiring berjalannya kegiatan belajar mengajar, rasa kaget tersebut begitu cepatnya berubah menjadi rasa kagum yang luar biasa. Rasa kagum ini agaknya berbeda dengan apa yang dipahami banyak orang karena boleh jadi yang terbayangkan sosok Kiai Nashir sebagai pengampu mata pelajaran tashawwuf adalah sosok ‘pemberi berkah dari langit’ yang mentransferkan ilmu-ilmu abstrak melalui penjelasan-penjelasan yang sulit dijangkau siswa madrasah seperti kami. Padahal, paling tidak menurut penulis sendiri, Kiai Nashir memberikan berkah yang lebih dari itu.
Ketika beliau menerangkan bait-bait kitab Hidayatul Adzkiya’ yang menerangkan jalan taqwa seseorang yang harus mengomparasikan unsur syari’at, thariqat dan haqiqat, beliau lebih memilih contoh-contoh yang ‘membumi’ dan bisa dipraktikan sehari-hari. Beliau menerangkan bahwa dalam sebuah kesempatan ada seorang kiai dari Kajen yang ketika ditawari tumpangan oleh santrinya, kiai tersebut justru menolaknya dengan halus. Ketika ditanya oleh teman sesama kianya, kiai tersebut menjawab dengan memakai logika fiqih bahwa bisa jadi kendaraan yang dibawa santri tersebut bukan miliknya sehingga ada potensi tidak ridhonya pemilik ketika itu digunakan untuk hal lain. Kisah ini yang kemudian menjadi kutipan terkenal yang sering disampaikan oleh Kiai Nashir di kelas waktu itu; “Seorang yang konsekuen dengen fiqih itu lebih sufi daripada orang sufi yang tidak konsekuen dengan fiqih.”
Tahun 2014, penulis yang saat itu masih bermukim di Pondok Pesantren Bahrul Ulum (Induk) masih diberi kesempatan sorogan kitab Fathul Mu’in dengan Kiai Nashir. Padahal ketika itu beliau telah disibukkan berbagai aktifitas pengajian yang padat baik di pondok maupun di masyarakat. Waktu yang diberikan oleh beliau saat itu adalah setiap hari Jum’at malam pukul 22.00 WIB, sehabis pengajian Al-Ibriz. Rasa takjub ini semakin bertambah ketika beliau melayani (hanya) seorang santri dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. Setiap ada bacaan yang beliau anggap ada kekeliruan pasti akan dikoreksi, setiap ada makna yang beliau anggap kekurangan pasti akan diperbaiki bahkan sampai pada tingkat menjelaskan variasi ilmu-ilmu alatyang ternyata masih beliau genggam betul. Beliau mengajarkan untuk membuat dhomir yang didapatkan dari jumlah fi’liyyah dengan menggunakan bentuk mashdar, karena bagaimanapundhomir adalah termasuk bagian dari isim sehingga harus ada penyesuaian. Beliau juga konsisten untuk mempertegas i’rob jarr dari mudhof ilaih, dalam bentuk dhomir sekalipun ketika itu dimaknani maka ruju’nya juga harus dalam i’rob jarr. Sedetail itu.
Tahun-tahun selanjutnya dimana beliau menginisiasi pengajian Selasa ba’da shubuh di Pondok Pesantren Bahrul Ulum (Induk) agar kegiatan santri di hari itu tidak libur, saya dan beberapa pengurus lain sedikit heran karena kitab yang akan beliau kaji adalah kitab Al-Minhaaj Al-Qawiim yang mana kitab tersebut merupakan kitab fiqih dasar yang kami khawatir akan membuat para santri bosan mendengar penjelasannya karena akan membawa pendengarnya kembali membahas masalah kesucian air dan hal-hal lain yang terkait. Ketika pengajian diadakan pertama kali, justru beliau membabat habis rasa takabbur penulis yang seakan sudah paham betul mengenai permasalahan tersebut. Beliau mengambil kutipan dari Imam An-Nawawi dalam pengantar kitab Majmu'-nya, diriwayatkan bahwa Imam Al-Muzani berkata, "Saya telah membaca kitab Ar-Risalah sebanyak 500 kali. Dan tidaklah aku membacanya berulang kecuali aku mendapatkan faedah baru darinya.” Prinsip-prinsip dan etika orang yang mempelajari ilmu beliau sampaikan dengan metode bercerita, sama sekali tanpa ada nada doktrinisasi atau briefing, apalagi menggurui. Masyaaalloh.
Waba’du; Semoga tulisan ini termasuk dalam aktifitas menuturkan kemuliaan orang salih yang dapat menurunkan rahmat Allah. Idz bidzikrihim tatanazzalu ar-rahmat. Aamiin.
Oleh : Robi Pebrian