Sejak lulus dari Madrasah Muallimin Muallimat (MMA) Bahrul Ulum Tambakberas pada tahun 2003, Ahmad Nuaim Abud sudah bergelut menjadi pendidik di Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) di desanya Kedungcangkring kecamatan Jabon Sidoarjo. Kegiatan tersebut dia jalani sampai saaat ini. “Saya mengajar di TPQ sejak pulang dari Tambakberas. Di rumah ada lembaga TPQ”, katanya.
Ahmad Nuaim Abud masuk di MMA pada tahun 1998, dan salah satu alumni yang sejak lulus dan pulang kembali ke rumah sudah mengamalkan ilmu-nya dengan menjadi pendidik di TPQ yang merupakan lembaga yang mengajarkan al Quran dari dasar. Dari lembaga inilah anak-anak mulai mengenal al Quran. Karena itu pengajar di lembaga ini merupakan orang-orang yang ulet dan istimewa. Tidak semua orang bisa melakukannya. Syahdan satu ketika hadratus syaikh KH Hasyim Asy’ari Tebuireng berkunjung ke ndalem (rumah) KH Abdussalam Kajen Pati Jawa Tengah. Saat itu Hadratus Syaikh mendapati Mbah Abdussalam mengajar al Quran anak-anak kecil. Saat mbah Hasyim keluar setelah pamit, beliau berujar kepada orang yang menyertai, “aku wes suwi pengen koyo Mbah Salam, tapi ora-iso-iso” (saya sudah lama seperti Mbah Salam, tapi tidak pernah bisa). Maksudnya bisa mengajar anak-anak kecil mengaji al Quran sejak dari dasar.
Setelah beberapa waktu Ahmad Nuaim mengajar di TPQ yang bernama Roudlotus Sholihin itu, dia melihat banyak anak yang lulus belajar di TPQ tidak lagi mengaji. “Mereka beranggapan bahwa setelah hatam al Quran, berarti ngajinya sudah selesai,” katanya.
Karena itu, untuk memberi tempat bagi anak-anak yang telah lulus TPQ, pada tahun 2005 Nuaim membuat kelas Madrasah Diniyah (Madin). “Untuk mewadahi anak-anak yang lulus TPQ, saya buatkan kelas Madin, dengan mengajarkan kitab-kitab dasar, seperti Aqidatul Awam (tauhid), Mabadiul Fiqhiyah (fiqih), Khulasoh Nurul Yaqin (tarekh) dan juga belajar kamus Fathurrahman”, lanjutnya.
“Dan pada tingkat lanjutan juga diajarkan pengenalan Nahwu Shorof dengan menggunakan kitab Amsilatut Tasrifiyah dan Jurumiyah. Alhamdulillah, pada tahun 2006 izin pendirian Madin dari Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Sidoarjo sebagai legalitas lembaga turun. Saat ini ada 325 santri TPQ dan Madin di lembaga Roudlotus Sholihin”, katanya.
Menurut alumni yang saat mondok bertempat ribath Almuhibbin tersebut, pengamalan ilmu yang diajarkan oleh para kiyai dan guru di MMA dan Bahrul Ulum merupakan “thariqah ilmu” yang saya pegang dalam menjalankan kegiatan dimasyarakat dunia pendidikan dan di organisasi.
“Pernah disampaikan oleh salah satu guru Matematika MMA, Allah yarhamuhu Pak Romli. Ilmui itu ibarat palu. Bagaimana cara penggunaan seseorang, maka disitulah dia akan dihargai. Bagi kuli bangunan, palu itu tidak lebih untuk menempa paku. Bagi penjual es, palu itu hanya berfungsi menghancurkan es. Bagi dokter syaraf, meskipun palunya kecil, itu berfungi merangsang syaraf. Dan pandangan orang mengenai palu yang mereka pegang dan di fungsikan juga beragam. Tergantung menggunakannya”, kenangnya.
Sementara pesannya bagi siswa yang masih belajar di MMA agar selalu tekun dan disiplin. “Bagi adik-adik kelas yang masih menimba ilmu di MMA, ketekunan dan kedisiplinan diri dalam belajar mempengarui bagaimana kualitas ilmu yang akan di dapat. Dulu di MMA gerbang itu tidak berfungsi, semua santri bisa keluar masuk sekolahan tanpa ada yg menegur. Kalo tidak ingin sekolah mereka setelah istirahat tidak kembali ke sekolahan, atau kalau malas menghafal Alfiyah maka konseksuensinya adalah tdk naik kelas. Maka dari itu kesadaran diri dalam disiplin dan ketekunan adalah kunci suksesnya”, pesannya.
Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa, yang tidak boleh ditinggalkan adalah ridlo guru. “Juga ada satu hal yang tidak boleh ditinggalkan yaitu hormat dan ridlo guru. Ketika saya kelas 4 MMA, mata pelajaran Balaghah yang mengajar Romo Kiai Khudlori. Setiap beliau masuk maka wajib hafalan. Beliau selalu ngendikan (menyampaikan) sopo seng gak apal, maju kene tak cewer kupinge (siapa yang tidak hafal, maju ke sini saya jewer. Banyak dari teman-teman yang meskipun hafal, tetap maju hanya sekedar ingin dijewer oleh bliau. Karena itu adalah tanda kasih sayang Romo Kiai Khudlori kepada santrinya”, pesannya yang penuh kenangan.
Saat ini, kegiatan yang dilakukan Nuaim tidak hanya mengajar di TPQ dan Madin, tetapi sudah berkembang. “Sejak tahun 2012 saya juga mulai mengabdi dan mengajar di MTs KH Wahid Hasyim Bangil Sejak 2012 sampai sekarang”, katanya.
Dia saat ini juga dipercaya sebagai sekretaris Pengurus Wilayah Ikatan Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) NU Jawa Timur. Menurutnya, sebelum mondok di Bahrul Ulum dia sudah mengenal ISHARI. “Sebelum berangkat mondok ke Bahrul Ulum, sejak kecil saya sudah mengenal ISHARI di kampung, dan seupulang dari pondok kecintaan bersholawat melalui Seni Hadrah Indonesia (ISHARI) masih berlanjut, sampe pada tahun 2013 saya diangkat sebagai wakil ketua ISHARI di Cabang Sidoarjo, dan pada 2019 saya diberi amanat sebagai Sekjen PW ISHARI NU JATIM masa hidmat 2019-2024,” lanjutnya.
Bahkan menurutnya, kegiatanya tidak hanya itu, sejak 2014 sampai sekarang, Nuaim sering diminta sebagai sebagai mentor pelatihan perawatan jenazah (tajhizul janzah) di berbagai lembaga mulai di NU, jamaah masjid, sekolah formal, pondok pesanten dan masyarakat umum. Makanya tidak heran jika dia menyebut dirinya di akun Facebook sebagai “Mudin Sautan”. (ma)