Seringkali. Abdi ndalem di pesantren mendapat tanggapan skeptis dari masyarakat awam. Melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan harus siaga kapanpun dibutuhkan dengan tanpa mendapatkan imbalan (sebagian mendapatkannya atau mendapat bentuk timbal balik yang lain) menjadi alasan dari kritik masyarakat awam terhadap kebudayaan ini.
Abdi Ndalem, atau Khodim (laki-laki)/Khodimah (Perempuan) adalah sebutan bagi santri yang ditempatkan secara khusus di kediaman pengasuh pondok pesantren dan dimintai tolong untuk membantu urusan-urusan rumah tangga pengasuh (Kyai/Ibu Nyai) yang belum sempat dikerjakan. Seperti misalnya merawat rumah, memasak makanan, nderekaken (mengantarkan dan mengiringi perjalanan Kyai) keluar kota atau pergi ke tempat yang jauh, dan lain-lain. Kebanyakan, ini terjadi di lingkungan pesantren salaf.
Istilah Abdi Ndalem sebenarnya adalah Abdi Dalem, yang mula-mula digunakan oleh Keraton Ngayogyakarta. Abdi Dalem adalah orang-orang yang telah dan akan berjanji untuk setia dan tekun seumur hidupnya untuk mengabdikan diri kepada Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh seorang sultan (Rahardika Al Asher, 2016). Kemudian karena kesamaan peran, masyarakat lingkungan pesantren salaf jawa mengadopsi nama ini. Lebih akrabnya, kerap kali digunakan sebutan mbak-mbak ndalem, kang-kang ndalem atau cak-cak ndalem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Abdi Dalem yaitu Pegawai Keraton. Kata Abdi dalam KBBI (kata dasar dari Pengabdian) salah satunya bermakan orang yang bekerja pada raja atau pemerintah.
Jika dilihat, sepintas apa yang dilakukan para Abdi Ndalem ini terlihat ‘menurunkan’ harga diri atau identitas mereka dari kegiatan harian yang mereka lakukan, sebagaimana masyarakat awam yang menilainya dari tampak mata saja. Bahkan terdapat beberapa masyarakat yang beranggapan lebih skeptis lagi dengan melihat budaya ini sebagai perbudakan halus tanpa mencari tahu lebih dahulu apa yang mendasari perbuatan mulia dan latar belakang seorang Abdi Ndalem.
Dalam Prespektif agama Islam, agaknya hal ini berdasar pada teladan para ulama, salaf as-salih, ditarik keatas hingga sampai pada sahabat Nabi. Hal ini tentu tidak sama dengan praktik budak yang terjadi pada masa itu, sebab pelaku dalam konteks ini adalah orang-orang yang mencari ilmu, atau yang menjadi pengikut seseorang untuk kepentingan ilmu. tepat atau tidak tindakan ini adalah yang disebut sebagai pengabdian.
Banyak potongan hadits yang merekam adegan pengabdian para sahabat kepada Rasulullah, salah satunya adalah inisiatif Mughirah bin Syu’bah untuk merunduk dan melepaskan khuf Nabi (sepatu yang terbuat dari kulit yang menutup hingga kedua mata kaki) supaya beliau dapat membasuh kakinya, sebagaimana dalam hadits:
عن المغيرة بن شعبة رضي الله عنه قال: كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم فتوضأ، فأهويت لأنزع خفيه، فقال: ( دعهما فإني أدخلتهما طاهرتين ) فمسح عليهما. متفق عليه.
Dari Mughirah bin Syu’bah RA. ia berkata: Aku pernah bersama Rasulullah saw. Beliau berwudhu’, aku pun merunduk hendak melepas kedua khuf nya. Maka beliau berkata, ‘biarkanlah, sesungguhnya aku memasukkan kedua kakiku dalam keadaan suci.’ Beliau pun lalu mengusap keduanya.” (Muttafaq Alaih).
Dari hadits ini, Abbas dan Sulaiman (2018) mengambil pelajaran mengenai khidmah (pengabdian) nya orang yang alim, dan kebolehan untuk menyengaja sesuatu yang telah khadim ketahui dari orang yang dilayaninya sebelum diperintahkan.
Nama lain, adalah Abdullah bin Mas’ud yang dijuluki sebagai juru sandal Rasulullah, juru bantal, sebab setiapkali Rasulullah memasuki masjid beliaulah yang membawakan dan menjaga alas kaki Rasulullah, atau barang-barang Rasulullah. Namun bentuk pengabdian ini tidak lantas menjatuhkan harga diri Ibnu Mas’ud, justru hal ini semakin mendekatkannya kepada Rasulullah, sampai-sampai ia menjadi salah satu dari tiga orang yang diizinkan mendengar segala pembicaraan dalam kediaman Rasul tanpa terkecuali, bersama dengan dua sahabat lainnya. Beliau adalah salah satu sahabat paling alim yang punya tempat tersendiri di hati Rasulullah, hingga mendapat pembelaan ketika ditertawakan para sahabat lantaran ukuran betisnya yang kecil. Rasul menanggapi mereka bahwa Ibn Mas’ud lebih berat timbangan amal baiknya daripada gunung Uhud, sebagaimana diceritakan oleh Affan bin Muslim. (Mubayyadh, 2000).
Masyarakat awam perlu tahu, konsep pengabdian jamak terjadi di berbagai agama, tidak hanya islam. Dalam agama katolik, bentuk pengabdian tercermin dalam seseorang yang membiara (Menjadi biarawan atau biarawati). Menurut S. Paulus tidak menikah memungkinkan pengabdian diri seluruhnya kepada Allah. Sebab orang yang tidak menikah, tidak terikat pada banyak tugas keluarga dan dapat mempersiapkan diri dengan lebih bebas, akan kedatangan Kristus (1 Kor &:26-35 dalam Bernat Sitorus, 2022). Biara merelakan tidak hanya identitasnya, namun juga hati dan rasa cintanya demi hidup untuk melayani Tuhan.
Kesimpulannya, bukan sebuah kekeliruan jika seseorang menyerahkan waktu, upaya dan tenaganya kepada orang lain baik terdapat imbalan baginya atau tidak, sebab asas dari pekerjaan melayani dan mengabdi adalah cinta dan keikhlasan. Seseorang, setinggi apapun derajatnya kalau mau sedikit merendah untuk menunjukkan dedikasi dan baktinya kepada sesuatu itu tidak lantas menafikan identitas dan jati dirinya, atau memperlihatkan ketidakberdayaan dirinya. Justru, hal ini menunjukkan sikap rendah hati, kecintaan tanpa pamrih dan penolakan terhadap kesombongan. Bagi orang yang mengerti, dedikasi adalah pilihan mulia sebagai wujud rasa cinta, apalagi jika ditujukan pada pihak yang tidak memiliki ikatan. Namun hal ini tentu tidak akan lepas dari penilaian sebelah mata yang tidak memperhatikan nilai dari perbuatan ini.
Oleh: Wafina Rahmatika Salimah (22105030054)
Mahasiswa Ilmu Al-qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta