Besok Mau Jadi Apa? Satir Pendidikan dalam Lakon Pesantren Iblis
Identitas Karya
Pertanyaan “Besok mau jadi apa?” sekilas seperti pertanyaan guru BP di ruang konseling ketika banyak pelanggaran absen di siswa kelas akhir. Namun dalam naskah Pesantren Iblis karya M. ‘Umar Al-Faruq, pertanyaan itu menjelma jadi jantung konflik, jadi alarm yang terus berdering, jadi ketakutan yang menyelimuti santri-santri iblis menjelang kelulusan. Mereka bukan hanya ditanya “apa cita-citamu?”—tetapi “apa takdirmu, apa kodratmu, apa pilihanmu?” Dan dari situlah drama ini tumbuh dan bergolak; sebuah lakon satir, religius, dan tragis yang menjadikan dunia iblis sebagai cermin retak dan menjadi bopeng di wajah pendidikan kita.
Di babak awal, penonton diajak tertawa. Pocong dengan gagap melapor, Tuyul sangat bangga menggoda anak TK, Buto Ijo sibuk bercerita sok tahu, dan Jerangkong mencoba menengahi seolah-olah bijaksana. Semua kocak, semua karikatural. Pun ketika para iblis masuk ke panggung, musik yang mengalun bukan nada seram atau horor, melainkan alunan yang lebih ringan, bahkan jenaka. Ini jelas subversif: alih-alih menakutkan, iblis dihadirkan sebagai makhluk yang kikuk, kocak, dan gagal menjalankan “jobdesc” mereka. Tawa penonton pun muncul, bukan karena dialog semata, tetapi karena ironi musikal yang mendukung adegan.
Namun di balik tawa itu, ada simpanan kegetiran; para iblis dan santrinya ternyata tidak laku lagi. Mereka semua kehilangan “pekerjaan”. Manusia zaman sekarang, kata Pocong, sudah bisa ingkar janji tanpa perlu dibisiki iblis. Manusia terlalu mandiri dalam dosa.
Di sinilah satir naskah ini menghantam: kita sedang hidup di zaman di mana iblis pun kalah inovasi. Kalau dulu setan repot-repot menggodai, sekarang manusia sudah cukup kreatif dan mandiri untuk berdosa tanpa “asupan eksternal”. Demo rusuh, aparat salah langkah, praktik maksiat sembarangan—semua muncul tanpa harus ada iblis di balik layar. “Manusia sudah berdikari dalam kemaksiatan dan bergulat riuh dengan kesesatannya,” begitu intinya.
Masalah bertambah ketika pertanyaan klasik dilemparkan: “Besok mau jadi apa?” santri Iblis pun gemetar dan gelagapan. Mereka harus lulus, tapi lulus untuk jadi apa? Apakah akan tetap setia pada kodrat menggoda? Atau justru kehilangan relevansi di tengah manusia yang sudah ahli bermaksiat sendiri?
Di babak kedua, para iblis masuk sambil menggumam “Pagiku Cerahku”, lagu anak-anak yang biasanya dinyanyikan di sekolah dasar. Lagi-lagi, musik dipakai sebagai perangkat ironi. Bagaimana mungkin iblis yang seharusnya belajar menggoda justru bersenandung lagu polos anak-anak? Backsound ini mengubah makna adegan: pesantren iblis yang digambarkan justru mirip taman kanak-kanak, tempat murid-muridnya belum dewasa, belum serius, dan cenderung main-main.
Muncullah Ajid, santri manusia juga muncul di babak kedua ini. Ia datang membawa aura religius, salam penuh keyakinan, dan niat menolong. Ajid menjadi simbol guru, mentor, atau penyelamat—figur yang sering kita tunggu-tunggu di dunia pendidikan. Ia mengajarkan iblis tentang berdakwah, bahkan membagikan sarung dan peci. Dari sini muncul gambaran indah: iblis-iblis yang tadinya malas belajar, kini mau duduk di kelas, mau menjawab salam, mau belajar ushul fiqh dan balaghah.
Tetapi di balik itu, muncul pertanyaan getir: apakah benar semua bisa diubah? Apakah kodrat bisa dipelintir? Genderuwo marah besar, karena ia tahu: pesantren iblis bukan untuk melahirkan santri manusia. Pesantren iblis adalah “kawah candradimuka” untuk mencetak iblis sejati, penggoda profesional, pengelola “membership neraka”. Kalau murid-muridnya malah jadi pendakwah, lalu untuk apa pesantren iblis ada?
Ajid mencoba bertahan. Ia berargumen bahwa menggoda ke kebaikan pun tetap menggoda. Menghasut ke jalan benar sama saja secara teknik, hanya berbeda arah. Tetapi di titik inilah naskah membuka lapisan lebih dalam: perubahan tidak selalu diterima, bahkan bisa dianggap pengkhianatan.
Lakon ini tidak memberi Ajid kemenangan. Justru sebaliknya, ia tumbang di puncak cerita. Bukan karena serangan Genderuwo, melainkan karena musuh yang lebih halus: Nafsu Angkara. Nafsu Angkara datang, menohok Ajid dengan ironi. Ia menertawakan Ajid yang merasa lebih saleh dari iblis, lebih benar dari manusia, lebih mulia dari semuanya. Nafsu mengingatkan bahwa bahkan niat baik bisa berubah jadi kesombongan ketika tidak diiringi kerendahan hati.
Inilah tragedi utama naskah: Ajid gagal bukan karena kalah berdebat, tapi karena kalah menghadapi dirinya sendiri. Ajid ingin menolong iblis, tetapi lupa menolong dirinya. Ajid ingin mengajari, tetapi lupa belajar dari objek yang diajarnya. Ia terjebak dalam perangkap klasik; seperti gambaran guru yang terlalu yakin dengan kebenarannya, lalu lupa pada proses mendengar dan memahami yang tak kalah penting pula sebagai bahan pembanding dan refleksi. Adegan ini membuat lakon Pesantren Iblis lebih dari sekadar komedi religi. Ia mengajak kita merenung: berapa banyak orang baik yang akhirnya tumbang, bukan oleh lawan di luar, melainkan oleh nafsu di dalam dirinya sendiri? Bahwa masalah kita sebagian besar memang kita ciptakan sendiri.
Dalang dan Asisten Dalang memecah ilusi panggung dengan cara khas wayang: mereka bicara langsung ke penonton. Mereka menyindir, menggoda, sekaligus menohok. “Para santri iblis ialah cerminan kita semua,” kata Dalang. “Besok mau jadi apa?” bukan lagi pertanyaan untuk iblis, melainkan pertanyaan bagi santri manusia di dunia nyata.
Naskah ini seakan-akan seperti dongeng setan, tetapi sejatinya adalah refleksi pendidikan. Pesantren iblis adalah alegori pesantren manusia. Genderuwo adalah simbol pemimpin yang keras kepala. Santri iblis mewakili siswa yang malas belajar. Dan Ajid, ironisnya, mewakili guru yang niat baiknya kandas oleh kesombongan.
Salah satu kekuatan naskah ini adalah cara ia memadukan humor dengan kritik. Tuyul yang bangga menggoda anak TK; Buto Ijo yang menggambarkan praktik maksiat dengan “sound horeg” dan “CB nyeni”; Jerangkong yang tampak lebih waras dibanding teman-temannya—semua itu membuat penonton tertawa renyah.
Inilah yang membuat lakon Pesantren Iblis terasa provokatif: ia memposisikan manusia sebagai pelaku dosa yang lebih kreatif daripada iblis. Sebuah sindiran yang terasa pahit sekaligus jujur. Secara filosofis, lakon ini bisa dibaca sebagai dialektika kodrat dan transformasi. Genderuwo mewakili argumen “kodrat tak bisa diubah”—iblis harus tetap jadi iblis. Ajid mewakili argumen “manusia (atau iblis) bisa diubah”—pendidikan bisa mentransformasi siapapun dan menjadi apapun. Nafsu Angkara hadir sebagai penengah yang sinis: ia menunjukkan bahwa perubahan bisa, tetapi selalu terancam oleh sisi gelap dalam diri yang penuh kedengkian dan kesombongan.
Dialektika ini mencerminkan perdebatan yang tak selesai dalam dunia pendidikan: apakah pendidikan harus meneguhkan identitas, atau justru membuka jalan perubahan? Apakah guru hanya pewaris tradisi, atau pencipta horizon baru?
Mengapa naskah ini penting? Karena ia menyinggung sesuatu yang relevan dengan dunia santri hari ini. Santri kelas akhir, menjelang kelulusan, pasti dicecar dengan pertanyaan yang sama; besok mau jadi apa? Pertanyaan itu sering dijawab dengan formalitas: jadi ustaz, jadi guru, atau jawaban seng penting pantes atau seng pantes, penting. Tetapi lakon Pesantren iblis dari teater mimpin karya umar Faruq ini membalik; bahwa jawaban tidak bisa dangkal. Santri harus belajar sungguh-sungguh, bukan hanya sekadar numpang mondok. Kalau tidak, mereka akan seperti santri iblis: malas belajar, bingung arah, dan akhirnya kehilangan identitas.
Di sisi lain, lakon ini juga mengingatkan guru; jangan sampai jadi Ajid. Jangan terlalu yakin dengan metode sendiri, sampai lupa memahami potensi murid – bahwa setiap murid unik dan punya potensi. Pendidikan bukan hanya soal memberi, tapi juga soal mendengar dan memahami.
Pada akhirnya, Pesantren Iblis menutup kisah dengan nada getir. Ajid gagal, para iblis kembali ke kodratnya, dan pertanyaan tetap menggantung; “Besok mau jadi apa?” Pertanyaan ini bukan untuk iblis saja, bukan untuk santri pesantren fiksi, tapi untuk kita semua. Besok kita mau jadi apa? Mau jadi guru yang terjebak kesombongan, murid yang malas belajar, pemimpin yang keras kepala, atau manusia yang lebih lihai berdosa daripada setan yang patuh pada perintah tuhannya?
Seperti kata Dalang di akhir cerita; Belum terlambat. Selagi kita mau belajar, mau memahami peran, dan mau melawan nafsu sendiri, maka jalan masih terbuka. Tapi jika tidak, jangan-jangan benar; manusia hanyalah iblis yang kreatif dan kasat mata.
