Literasi secara umum didefinisikan sebagai kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis. Dimana proses literasi, khususnya membaca dapat membentuk dasar yang sangat penting dalam kemampuan mempelajari sesuatu. Sehingga pemahaman literasi secara fundamental adalah tentang bagaimana seseorang dapat mempraktikkan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki dalam segala bidang di kehidupan. Penguasaan literasi oleh generasi muda Indonesia merupakan modal utama untuk membangun bangsa Indonesia kelak. Dengan membaca buku, wawasan seseorang akan tumbuh menjadi lebih cerdas dan mapan dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
Berbanding terbalik dengan pentingnya sebuah literasi, fakta riset masyarakat Indonesia masih belum memiliki kesadaran yang tinggi akan hal tersebut. Budaya Literasi yang merupakan kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis belum menjadi sebuah kebiasaan yang mengakar dalam keseharian masyarakat Indonesia. Minat baca masyarakat Indonesia masih rendah, padahal dengan budaya membaca, maka kemampuan untuk berbicara, berkomunikasi, menganalisis, dan sebagainya akan meningkat.
Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia dapat dilihat dari Sebuah studi yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 mengenai ‘Most Literate Nations in The World’ yang menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-60 dari total 61 negara, atau dengan kata lain minat baca masyarakat Indonesia disebut-sebut hanya sebesar 0,001 persen atau satu berbanding sepuluh ribu.
Data ini selaras dengan temuan UNESCO sebelumnya pada tahun 2012 terkait kebiasaan membaca masyarakat Indonesia, bahwa hanya satu dari 1,000 orang masyarakat Indonesia yang memiliki kebiasaan membaca dengan baik. Keadaan ini juga terjadi di perguruan tinggi, berdasarkan studi pendahuluan melalui survei awal. Bila dianalisis rendahnya kebiasaan baca di Indonesia disebabkan karena beberapa faktor. Di antaranya yaitu: pertama, warisan nenek moyang bukan budaya baca tapi budaya mendengarkan. Masyarakat Indonesia hanya terbiasa mendengar berbagai dongeng, kisah, adat-istiadat secara verbal atau lisan yang diceritakan oleh orang tua, nenek, serta tokoh masyarakat. Sehingga tidak ada pembelajaran secara tertulis yang dapat menimbulkan kebiasaan membaca.
Kedua, sistem pembelajaran di Indonesia telah membuat siswa cenderung pasif dan hanya mendengarkan guru mengajar di kelas daripada mencari informasi atau pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan di sekolah dengan membaca buku sebanyak-banyaknya.
Hal yang telah disebutkan sebelumnya menjadi penyebab tingkat literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Rendahnya kemampuan literasi masyarakat Indonesia khususnya peserta didik, dapat dilihat dari hasil tes Programme for International Student Assesment (PISA) yang dilakukan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Tes ini mencakup penilaian kemampuan membaca, matematika, dan sains. Berdasarkan hasil PISA tahun 2015 dalam kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 61 dari 69 negara peserta dengan skor 397 dan di bawah nilai rata-rata yang ditetapkan OECD (2015).
Kesadaran akan pentingnya literasi perlu ditanamkan sejak dini. Madrasah merupakan salah satu wadah yang paling efektif untuk memulai proses pendidikan literasi. Kompetensi literasi dasar (menyimak-berbicara, membaca-menulis, berhitung memperhitungkan, dan mengamati-menggambar) sudah selayaknya ditanamkan sejak pendidikan dasar, lalu dilanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi agar dapat meningkatkan kemampuan untuk mengakses informasi dan pengetahuan.
Keberhasilan program-program suatu lembaga pendidikan sangat tergantung pada kepemimpinan kepala madrasah. Keberhasilan madrasah adalah keberhasilan kepala madrasah. Bagaimanapun, kepala madrasah merupakan unsur vital bagi efektivitas lembaga pendidikan. Tidak kita jumpai madrasah yang baik dengan kepala madrasah yang buruk atau sebaliknya madrasah yang buruk dengan kepala madrasah yang baik.
Wakil Kepala Madrasah, Bapak Drs. H. Abdul Rohim Ma’ruf, SH. M.Si, pada kesempatan rapat guru menyampaikan, “Madrasah telah memfasilitasi sarana menampung hasil karya tulisan para guru dan siswa di Pustaka MMA, media penerbitan milik madrasah”. Lebih lanjut beliau memaparkan, “Tantangan bagi penulis pemula adalah memulai sebuah penulisan, tulis saja secara mengalir nanti akan menjadi mudah”. Pustaka MMA merupakan iktiar madrasah untuk memotivasi para guru dan siswa untuk giat membaca dan menulis, dua aspek inilah yang menjadi ruh dalam transformasi keilmuan dan kemampuan sesorang.
Semangat Pak Rohim dalam memotivasi para guru dan siswa bukan tanpa alasan, sebab beberapa guru telah menelorkan berbagai tulisan yang telah diterbitkan pustaka MMA. Karya literasi tersebut diantaranya; Al Insya’ Bil Anmaath Juz 1-3, Buku Pintar Pego, Panduan Imla’ Praktis dan masih banyak lagi karya lain. Para siswa juga tidak kalah saing. Mereka berlomba dalam kegiatan literasi. Pada puncaknya setiap tahun para siswa mampu menerbitkan majalah KHARISMA, majalah kebanggan milik MMA. Tidak berhenti sampai disini, pimpinan madrasah juga telah membentuk tim literasi untuk mendampingi setiap lulusan madrasah agar mempunyai karya tulis setiap periode. Di antara judul hasil karya tulis yang membanggakan antara lain; Cahaya di Ujung Lorong Gelap (Ontologi Cerpen & Puisi Pilihan), Risalah Ulama Syafii dan Cerita Para Muallim.
BRAVO madrasahku ... Spirit Literasi menjadi keterandalan di kancah pendidikan dilingkungan pesantren. Menulislah, akan menjadi warisan yang tak lekang zaman.
(H. Ali Mahmud, SHI, Guru Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul Ulum)