Kata seribu dalam Al-Qur'an mayoritas tampil dalam lafazh ألف. Disini ia tidak harus dipahami dalam arti angka yang ada di atas 999 dan di bawah 1.001, tetapi kata seribu disini memiliki arti banyak tak terhitung. Dalam surat Al-Qadr disebutkan bahwa malam Al-Qadr lebih baik dari seribu bulan, maksudnya dibanding sekian panjang waktu. Sama seperti dalam surat Al-Baqarah yang menggambarkan salah satu dari kumpulan kafir yang menginginkan hidup seribu tahun, maksudnya ia ingin hidup dalam waktu yang lama.
Sebagaimana malam Al-Qadr yang bermakna bahwa ibadah di dalamnya memiliki nilai pahala lebih banyak dibanding ibadah di seribu bulan yang lain bagi yang mempersiapkan diri dan menyambutnya, maka juga bisa dikatakan bahwa bila kebaikan dan cita-cita tinggi Kiai Nashir dipahami kehadirannya lalu teraktualisasi di momen apapun bagi yang memaknainya dengan sungguh-sungguh, makna 'lebih baik dari seribu' sebagaimana di atas bisa berarti nilai pahala ibadahnya akan melebihi nilai pahala pada momen tertentu, semisal momen seribu hariannya.
Memang menurut pakar tafsir Fakhruddin Ar-Razi, bisa jadi satu amalan secara zhahir sama dengan amalan yang lain, bahkan bisa jadi kurang secara zhahir, tetapi yang satu ini memiliki nilai tambah dibanding yang lain. Beliau mencontohkan shalat berjama'ah berbanding dua puluh tujuh derajat dengan shalat sendirian. Bahkan ma'mum yang terlambat ketika imam telah dalam posisi ruku' dipersilahkan untuk tidak membaca Al-Fatihah atas nama keutamaan shalat berjama'ah itu. Di luar tampak kurang, namun nilai pahalanya dinilai menjadi lebih baik.
Namun harus digarisbawahi pula bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam hal nilai pahalanya, bukan kewajiban ibadahnya. Maka sangat keliru kalau ada orang yang fokus ibadah pada momen tertentu -sebab keutamaan waktu dan tempatnya- lalu mengabaikan ibadah di momen-momen yang lain. Kiai Nashir pernah mengutarakan bahwa mencium hajar aswad itu adalah ibadah sunnah, thawaf itulah yang merupakan ibadah wajib. Namun demi momentum tertentu, justru banyak orang memaksakan diri melakukan ibadah sunnah lalu mengabaikan esensi ibadah wajibnya, dengan hal-hal yang haram sekalipun.
Baru-baru ini penulis mendikte keterangan di kelas bahwa menangisi mayit itu dibolehkan karena itu naluriah kemanusiaan. Namun jangan sampai tangisan itu menjadi berlebihan yang justru menjatuhkan seseorang dalam keharaman. Tangisannya harus ada spirit untuk bangkit lalu sebagaimana Sayyid Muhammad bin Alawy katakan:
ﺍَﻟْﻌَﻼَﻗَﺔُ ﺍﻟﺮَّﺍﺑِﻄَﺔُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﺦِ ﻭَﺗِﻠْﻤِﻴْﺬِﻩِ ﻧَﺸْﺮُ ﻋُﻠُﻮْﻣِﻪِ ﻭَﺍﻟﺴَّﻴْﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻨْﻬَﺠِﻪِ
"Ikatan yang memperkuat hubungan antara guru dan muridnya adalah menyebarkan ilmunya dan mengikuti prinsipnya."