CERPEN
Oleh: Wanodya Pangarswari Husnussairi (Kelas 3B Pi)
Televisi tua, berukuran 30x15 inci itu menyala di sebuah ruangan, memperlihatkan acara kesukaan Tania di salah satu stasiun televisi nasional. Deretan kontestan bersuara emas itu, mulai mengadu nasibnya, menunggu hasil akhir para juri menentukan siapa yang pantas untuk melanjutkan perjuangannya di panggung besar lewat suara emas yang mereka punya. Tania pun juga tidak sabar menunggu pembawa acara televisi itu menyebut salah satu nama yang Tania yakini ia lolos ke babak selanjutnya.
Dan ya! Dugaan Tania tidak meleset. Para juri memberikan penghormatan kepada para kontestan yang berhasil lolos dari ruang eliminasi. Tania ikut senang sekaligus lega, seperti yang dirasakan para kontestan yang lolos. “Mau ikut lomba nyanyi? Sadar nggak sih, tuh kaki!” sindir salah seorang anak panti yang baru saja lewat di belakang Tania. Tania menoleh ke arah sumber suara. Benar saja, anak tersebut adalah Acha, gadis sebayanya yang tak pernah absen dengan segala hinaan yang ia tujukan kepada Tania, dikarenakan fisik Tania yang kurang sempurna. Tania hanya menunduk menatap nanar dirinya yang terpangku di atas kursi roda tua dan usang karena termakan usia. Acha berjalan mendekati Tania.
“Jadi orang jangan terlalu ngimpi deh Tan! Nanti jatuh siapa yang mau menolong? Berdiri aja nggak bisa!” bisik Acha meremehkan pada telinga Tania yang hanya dibalas Tania dengan mata berkaca-kaca. Tania memang sudah terbiasa mendapatkan hinaan dari anak- anak panti lain dikarenakan fisik Tania yang memang sudah cacat dari lahir, umur Tania yang beranjak remaja harusnya ia isi dengan keceriaan. Namun tidak ada yang bisa membuat ia tertawa, mungkin hanya Erin sahabatnya dan impiannya lah alasan ia dapat bertahan. Tania harus kuat dengan cara apapun untuk mengejar impiannya selama ini menjadi penyanyi terkenal.
Langit berbintang berevolusi dengan mentari yang perlahan muncul dari ufuk timur. Anak-anak panti asuhan Kasih Bunda berkumpul di ruang makan yang cukup besar untuk menampung sekitar 90 anak, dari yang masih kecil sampai tingkat SMA. Mereka semua sangat menyayangi Bu Retno, yakni pemilik sekaligus pengurus panti asuhan Kasih Bunda yang sudah lama turun temurun dirawat oleh keluarga beliau. Bu Retno memutuskan untuk menghabiskan separuh hidupnya, menjaga dan merawat anak- anak panti asuhan Kasih Bunda dengan tulus. Mereka semua diajari untuk saling menyayangi satu sama lain dan menganggap semua saudara. Bu Retno selalu melindungi dan menyayangi mereka seperti anak sendiri. Suara denting sendok yang bersentuhan dengan piring ikut meramaikan suasana sarapan pagi hari itu. Ada yang sudah mendapatkan jatah makannya, lalu duduk di tempatnya masing-masing, ada pula yang masih mengantri sambil membawa piringnya masing-masing.
“Tan! Jangan ngelamun terus dong.. makan tuh nasinya. Kasihan kan yang ngambil” ujar Erni sahabat karib Tania sejak ia pertama kali menginjakkan kakinya di panti asuhan tersebut. Tania hanya tersenyum sebagai jawaban.
“Rin.. kira-kira, kaki aku bisa sembuh nggak ya?”
Tania yakin apa yang akan dilontarkan Erin adalah jawaban yang ia sudah bosan mendengarnya.
“Mmm.. jangan dipikir terus, Tan! Makan dulu, habis ini harus berangkat sekolah, biar nggak telat!” jawab Erin menasihati. Tania hanya menghembuskan napas gusar, ia terus berpikir, bagaimana ia dapat mewujudkan impiannya dengan kondisi seperti ini.
Erin dan Tania sampai di sekolah, gedung SMP mereka terletak satu kawasan dengan gedung SMA yang berada di bawah naungan yayasan Tunas Bangsa Yogyakarta. Gerbang sekolah mereka juga terletak di sebelah timur SMP, sekaligus menjadi gerbang utama masuk dan keluarnya siswa siswi SMP dan SMA Tunas Bangsa. Erin melihat jam tangannya, jarum panjangnya bertengger di angka 9, menunjukkan pukul 06:45.
“15 menit lagi masuk, mau langsung ke kelas?” tanya Erin. “Kayak biasanya aja, Rin!”
Erin langsung paham kemudian mendorong pelan kursi roda Tania menuju taman belakang sekolah.
“Aku suka, denger kamu nyanyi” Erin menghentikan aksinya mendorong kursi roda Tania di samping bangku taman, lalu ia duduk bersebelahan dengan Tania, bersiap mendengar keluh kesah Tania.
“Aku pengen Rin, pengen.. banget bisa nyanti di depan banyak orang, tapi kamu kan tahu sendiri, kalau aku orangnya pemalu dan kondisi aku nggak meyakinkan.”
“Tan! Mimpi itu dikejar! Bukan dijadiin angan! Lagian, suara kamu, nggak kalah bagus dari penyanyi-penyanyi terkenal lainnya. Kamu pasti bisa!” ujar Erin memberi semangat pada Tania. Tania menghembuskan napas perlahan, ia tidak yakin dengan perkataan Erin barusan.
“Percaya Tan, kamu harus yakin! Aku janji bakal bantu!” Tania hanya membalasnya dengan senyum yang ia paksakan.
“Walaupun kamu.. eh maksudnya kita, cuma anak panti, yang kata orang nggak jelas asal usulnya, tapi siapa bilang anak panti itu payah? Ayo Tan, semangat!” Erin mencoba meyakinkan Tania dan membangkitkan semangat Tania, sebisa yang ia mampu
Kita ‘kan selalu bersama dalam suka duka Berbagi segalanya tak terpisahkan
Hanya kau yang ada di hatiku
Kita ‘kan selalu bersama menggapai semua cinta
Dan meraih dunia walau badai menghadang tak akan kita terluka
‘Cause you are my best friend forever
Suara Tania terdengar merdu. Tak ada satu pun nada sumbang yang ia nyanyikan. Tania dan Erin tak menyadari ada yang mengawasi mereka dari kejauhan. Orang tersebut tersenyum melihat mereka bernyanyi. Ia yakin salah satu dari mereka adalah orang yang dicarinya selama ini.
“Tania..” ujarnya pelan sambil terus berterimakasih pada Tuhan.
Kriiiingggg…
Bel tanda masuk berbunyi memekakkan telinga, sehingga mengejutkan sekaligus membuyarkan obrolan pagi mereka, termasuk orang yang mengamati mereka sedari tadi.
“Aduh!” keluh Tania ketika botol minumnya tak sengaja jatuh ke lantai. Tania kesulitan mengambilnya. Padahal ia sedang berada di kantin, dan pastinya ada banyak orang disana, akan tetapi tak seorang pun mau menoleh ke arah Tania. Tania membenci hal ini, seakan-akan seisi dunia tidak mau menyadari akan kehadirannya ketika ia tidak bersama dengan Erin. Seketika sebuah uluran tangan seseorang mengambil botol minum Tania, lalu memberikan botol tersebut kepada Tania.
“Lain kali hati-hati!” ucap seorang laki-laki kelas SMA di hadapannya saat ini. Tania pun menerima botol minumnya. “Makasih, kak” ujar Tania kemudian tersenyum simpul kepada laki-laki dan berlalu pergi dari hadapannya. Kening laki-laki tersebut berkerut melihat wajah Tania barusan. Tapi seakan paham, laki-laki itu tersenyum menatap Tania dari kejauhan.
“Tan, aku sudah yakin itu kamu, anak perempuan yang aku cari selama ini. Akhirnya, Tuhan masih mau memperlihatkanmu padaku, walau tak secara sempurna” gumam Bagas pelan sembari terus melihat kursi roda Tania yang semakin menghilang dari pandangannya.
Siang hari itu, hujan gerimis berhasil membasahi separuh bagian kota Yogyakarta. Hujan tau mau memberi celah sedikitpun bagi Tania pulang dan kegiatan belajarnya menuju panti asuhan, tempat yang penuh kenyamanan baginya. Tania sedang menunggu Erin di dekat gerbang utama sekolah. Karena kelas Tania dan Erin berbeda. Erin kelas IX-B, sedangkan Tania kelas IX-D. Kelas mereka juga terpisah oleh lapangan sekolah yang cukup luas.
“Tania!”
Tania menoleh ke arah sumber suara. Namun ia tahu bahwa itu bukan suara Erin.
“Pulang bareng aku yuk! Nanti hujannya tambah deras lho” ucap seorang laki-laki berseragam SMA lengkap yang Tania temui di kantin tadi.
“Ha?” jawab Tania tidak percaya. Laki-laki itu hanya tersenyum menatap Tania dengan penuh ketulusan. “K.. kakak siapa? Kok tahu namaku?” “Aku.. malaikat, Tan!”
“Ha?”
“Malaikat yang Tuhan kirim buat kamu”
DEG! Tania heran, alisnya bertaut. Ia melihat ke badge nama laki-
laki itu, “B..A..G..A..S” ejanya dalam hati.
“Maaf kak, tapi aku nggak kenal kakak siapa, mendingan.. nggak usah sok kenal!” ucap Tania, berusaha berani bicara. Erin datang, tergesa-gesa menyusul Tania dengan payung di tangannya.
“Kenapa, Tan?” tanya Erin sambil menatap heran Tania sekaligus orang di samping Tania.
“Nggak apa-apa. Ayo pulang, Rin! Keburu hujannya deras!” “Tapi..” belum selesai Erin bicara, Tania sudah memberi isyarat padanya untuk segera beranjak pergi dari sana.
Mereka akhirnya pulang, meninggalkan laki-laki tersebut tanpa sepatah kata pun terucap untuknya. Lagi-lagi Bagas hanya tersenyum menatap punggung mereka yang perlahan menjauh. Ada perasaan sakit yang menusuk hatinya. Bagas akan tetap bertahan untuk Tania.
Hujan masih setia mengguyur sebagian kota Yogyakarta hingga sekitar pukul 16:00. Tania sedang membantu Bu Retno mengajari anak-anak panti mengaji. Tania memang gadis pemalu, bahkan kepada anak-anak panti yang lain. Mungkin bisa dihitung jari, anak yang akrab dengannya.
“Shodaqollahul Adzim” ucap Bu Retno dan Tania kompak memimpin. “Anak-anak, hari ini belajar mengajinya sampai disini dulu ya. Ingat.. Wahyu, panjang pendeknya harus lebih hati-hati lagi ya. Niken, latihan terus buat pelafalan huruf “ع” yang benar. Sari, jangan gampang ngambek kalau diingatkan salahnya dimana, belajar itu butuh proses, buat anak-anak yang lain juga begitu, jangan gampang menyerah, semangat terus. Ok! Besok harus lebih baik lagi!” tutur Bu Retno panjang lebar.
“Sekian untuk hari ini, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh”
“Wa’alaikumsalaam..” jawab anak-anak serempak.
“Terima kasih untuk sore ini ya, Tan” ucap Bu Retno pada Tania sambil menyalami satu persatu anak-anak yang akan kembali ke kamarnya masing-masing.
“Sama-sama, bu. Ini kan sudah jadi kewajiban”
“Kamu benar-benar anak yang sabar, Ibu bangga didik kamu, nduk. Belajar yang rajin ya” sambil mengusap ubun-ubun Tania. Tania nyaman diperlakukan seperti ini, andai ia bisa merasakan hal ini dari ibu kandungnya, tapi kehadiran Bu Retno di hidupnya, sudah lebih dari cukup.
Hari minggu adalah hari libur sekolah, anak-anak panti melakukan aktivitasnya masing-masing. Mulai dari menyapu halaman panti, membantu Bu Retno memasak di dapur, membersihkan kamar mereka masing-masing, mencuci baju, bahkan ada yang lari pagi keliling area komplek pemukiman penduduk.
Pagi ini Erin mengemasi pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper besar berwarna cokelat tua miliknya. Dengan mata sembab, ia memunguti pakaiannya dari dalam lemari.
“Loh, Rin! Kok baju-baju kamu dimasukin ke dalam koper semua? Memangnya mau kemana?” tanya Tania yang tiba-tiba datang dengan kursi rodanya.
“Maaf, Tan. Aku harus jujur sama kamu, aku harap kamu bisa terima kenyataannya” ujar Erin berusaha tetap tegar, agar air matanya tidak lolos begitu saja. Tania semakin dibuat heran dengan perkataan dan tingkah Erin. Tidak biasanya ia tidak cerita padanya tentang semua permasalahannya. Tania berharap Erin tidak mengecewakannya.
“Dua hari yang lalu, ada sepasang suami istri paruh baya datang ke panti ini. Mereka tertarik untuk mengadopsiku, karena waktu itu aku yang menyambut hangat mereka” kalimat Erin terhenti, ia tidak tahu mengapa air matanya berhasil meluncur begitu saja dari pelupuk matanya. Tania shock dan air matanya secepat kilat berjatuhan membasahi pipinya.
“Hari ini, pagi ini, mereka bakal mengambilku dan membawaku ke Bandung, Tan. Maaf.. aku gagal mewujudkan mimpimu” lanjut Erin.
Tania menangis tanpa suara. Bisakah waktu diputar ulang? Tuhan dapat mengabulkan permintaannya? Mengapa Erin akan tinggal sejauh ini darinya? Apa orang tua tersebut tidak memikirkan, bahwa ada orang yang lebih membutuhkan Erin di sisinya? Tania tertunduk, bibirnya kelu untuk bicara. Apa mungkin setelah ini semuanya akan baik-baik saja? Siapa yang akan membuat ia tertawa besok? Siapa yang akan menemaninya berangkat sekolah? Dan banyak hal-hal yang Tania pikir tidak akan mulus jika ia melakukannya tanpa Erin. Erin memeluk tubuh Tania yang terguncang di atas kursi roda.
Perlahan mendung mulai menyelimuti langit dari mentari yang masih ingin menghangatkan pagi. Tak ada yang paham, jalan cerita yang Tuhan buat. Erin dan Tania yang sudah 15 tahun bersama, harus benar-benar terpisah, menuju jalannya masing-masing. Menghadirkan serpihan luka tersendiri bagi si pemilik hati, Tania. Entah hal apa yang terjadi setelah Tania mengantar kepergian Erin pada pagi itu. Mobil orang tua baru Erin melaju membawa pergi Erin dan berjuta kenangan yang mereka buat, juga segala impian mereka. Tania harus lebih kuat dari biasanya, ia harus lebih berbaur dengan orang banyak tanpa bantuan Erin. Tania harus percaya diri dengan kondisinya yang selamanya akan tetap seperti ini.
“Ciee.. yang ditinggal pergi. Hahaha. Rasain tuh! Habis ini, siapa yang mau ngurusin kamu! Dasar cewek cacat!” ledek Acha penuh penekanan.
“Hei! Acha! Siapa yang ngajarin kamu bicara seperti itu? Ayo cepat minta maaf!” sentak Bu Retno.
“Iya.. iya. Maaf, Tan” ucap Acha tidak ikhlas, kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Bu Retno hanya menggeleng heran.
“Tania.. masuk yuk! Hujannya lumayan deras lho, nanti kamu kedinginan” bujuk Bu Retno pada Tania yang sedari tadi hanya diam termenung menatap langit
“Nggak, bu. Tania masih pengen disini, sebentar lagi Tania pasti masuk kok”
“Yasudah, ibu masuk duluan ya” Bu Retno bersama anak-anak panti yang lain meninggalkan Tania sendirian di teras.
Jangan takut sendiri Kamu tak kan lagi sepi Jangan takut kehilangan Aku beri kekuatan Belum saatnya menyerah Tetap di sampingku
Tania merasa mendengar suara nyanyian seseorang di sekitar teras rumah. Tapi siapa? Tania mencoba mencari sumber suara tersebut. Dan benar, Tania mendapati seseorang berjalan mendekatinya dengan payung biru di tangan kanannya. Tania mengenalnya.
Bila saat engkau jatuh Dan mulai merasa rapuh Pundakku siap tersandar
Tanganku selalu menggenggam
“K.. kamu?” ucap Tania ragu. ‘Mengapa kak Bagas ada disini? Dari mana ia tahu kalau aku tinggal disini?’ batin Tania heran. Bagas hanya tersenyum menatap Tania. Mata Bagas yang sayu dan senyumnya yang manis, dapat memikat hati siapa saja, tapi tidak untuk Tania.
“Hujan itu indah ya, Tan!” ucap Bagas memulai pembicaraan. Ia masih berdiri di tengah-tengah hujan yang mulai mereda, bersama payung yang meneduhinya.
“Kakak siapa sih? Aku nggak kenal!” kata Tania ketus. “Namaku Bagas”
“Kak! Berhenti mengenali aku!”
“Tan, aku akan buat kamu bahagia, kita mulai sama-sama” “Kak! Aku nggak tahu kamu itu siapa! Aku nggak tahu kamu itu orang baik atau bukan! Mungkin kakak salah orang”
“Tan, aku cuma pengen jaga kamu, dan nggak mungkin aku salah orang!”
“Sebenarnya, kakak itu siapa sih? Malaikat? Malaikat yang dikirim Tuhan buat aku? Kalaupun iya, aku pasti mimpi saat ini kak!” Tania jengkel. Nada bicaranya mulai meninggi.
“Maaf, Tan. Tapi aku nggak bisa jelasin semuanya ke kamu, tapi aku pengen bantu kamu. Aku siap mewujudkan impian kamu, kita akan mewujudkan itu bersama!”
Tania semakin dibuat bingung dengan semuanya. Malaikat. Mimpi. Ini semua tidak masuk akal. Mengapa ada orang yang tiba-tiba mau mengabulkan keinginannya.
“Aku siap, buat tempat kamu jatuh, Tan! Aku siap jadi tameng kamu!”
Perlahan air mata Tania keluar begitu saja, saat ini perasaannya sulit diartikan. Kepala Tania seakan mau meledak mendengar kata- kata Bagas. Mengapa tanda tanya selalu memenuhi jalan cerita hidupnya.
“Kak, maaf! Tapi omong kosong kakak, segala skenario yang kakak buat, nggak akan pernah bisa merubah pikiranku tentang kakak. Permisi” Tania membalikkan kursi rodanya, masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bagas beserta gemercik air hujan yang mulai mereda.
“Tan, aku nggak tahu mengapa rasanya sakit, tapi bertahan dan terus melindungimu adalah obat rasa sakit itu. Semoga Tuhan mengizinkanku untuk menjagamu sampai waktu nanti telah tiba’ batin Bagas sambil tersenyum penuh harap di depan teras panti asuhan Kasih Bunda.
Keesokan harinya.
“Nduk Tan, nduk Tania..” Bu Retno memanggil, mencari Tania di kamarnya.
“Iya bu, ada apa?” Tania yang sedang merias diri di hadapan cermin, merasa heran ada apa gerangan Bu Retno tiba-tiba memanggilnya.
“Itu, ada mas-mas nyariin kamu, katanya mau berangkat bareng”
“Mas-mas? Siapa bu?”
“Ealah.. ibu nggak tahu nduk, tapi namanya Bagas, yang itu..” “Kak Bagas?”
“Ya.. pokoknya itu lah”
“Oh.. sebentar ya bu, aku terusin dulu” ujar Tania agak gugup lalu memutar roda kursi rodanya sekuat tenaga, bergerak menuju depan teras rumah Tania melihat sosok Bagas sedang duduk di kursi teras rumah, “kamu lagi?” Tania menatap Bagas tidak suka.
“eh, Tania... berangkat bareng yuk “,hening. Tania mengernyitkan alisnya
Sebenarnya ada apa dengan orang ini? batin Tania geram
“nggak usah takut, aku bukan Serigala kok! “canda Bagas, tetapi nyatanya receh tidak berhasil membuat senyum Tania mengembang.
“Oke, bukan masalah itunya kak! “berbalas Tania dengan nada tinggi. Bagas diam mencoba mencerna kalimat Tania barusan.
“sebenarnya, Kakak itu siapa sih? “
“kamu nggak perlu tahu Tan, aku siapa aku...”
“stop Kak jujur! kakak mau apa sih? kenapa Kakak selalu bantu aku?”
“kenapa Kakak tiba-tiba hadir, seolah-olah mau nolong aku? kenapa Kakak mau jadi malaikat aku tanda tanya dan kenapa Kak untungnya apa sih Buat kakak?”
” itu semua nggak harus butuh jawaban tan! “
“dia butuh dong Kak! aku butuh penjelasan, asal usul Kakak, rencana kakak, kakak pikir kalau jadi aku itu nggak bingung? dikelilingi dengan segala permasalahan!” kalimat Tania meninggi.
“udah Tan kamu gak bakal tahu Seiring berjalannya waktu, aku cuma pingin menjadi sahabat yang baik” ujar Bagas halus, mencoba menenangkan Tania yang wajahnya merah padam titik mungkin, Tania masih belum bisa menerima kepergian Erin kemarin Bagas harus bisa membuat Tamiya ceria kembali bagaimanapun caranya.
Saat istirahat sekolah
Tania berdiam diri di depan kelas, Iya bingung apa yang harus ia lakukan titik Erin telah pindah ke Bandung bersama orang tua angkatnya, Tania kesepian.
“Tan!” Panggil seseorang dari arah Barat Titik lagi-lagi Bagas.
Ia mendatangi Tania sambil membawa gitar di tangannya.
“Ikut aku yuk!” lalu Bagas mendorong pelan kursi roda Tania, Tanpa sempat Tania menjawab pertanyaannya.
“mau ke mana? “tanya Tania heran
“udah ikut aja, kali ini kamu nggak boleh sedih! ”tutur Bagas halus.
Mereka menuju ke tempat belakang sekolah, tempat tempat favorit Tania dan Erin dulu titik Bagas menghentikan kursi roda Tania di samping Bangko kecil Taman tersebut titik Bagas duduk di samping Tania sambil memberikan senyum titik Bagas selalu tersenyum kepada Tania. ia tidak pernah menampakan wajah yang tidak menyenangkan di depan Tania. Hal itu membuat paniaram, ternyata ada orang yang mau menjaganya sangat Tulus. mata Sayu yang dimiliki Bagas dapat memenuhi hati Tania yang sedang bergemuruh, setiap kali di dekatnya.
“kita nyanyi bareng-bareng mau?” Tania membalasnya dengan anggukan kecil. Entah mengapa kali ini ia mau mengikuti apa yang Bagas perintahkan titik Bagas mulai memainkan senar gitarnya yang merdu.
Tenanglah, kekasihku; ku tahu hatimu menangis beranilah dan percaya semua ini pasti berlalu meski takkan mudah namun kau takkan sendiri ku ada disini
Untukmu
Aku Bertahan, dalam gelap
takkan kutinggalkan
engkaulah teman seja sejati
Kasihku di setiap hariku
Tania kemudian menyambung Bagas bernyanyi Suara mereka beriringan
Untukmu Aku Akan Bertahan ke bentuk hati yang kunantikan
hanya kau dan aku yang tahu arti cinta yang telah kita punya
Perlahan Tania menangis, perasaannya tidak beraturan
“Kenapa sih Kak, Erin harus pergi?” Isya Bagas pun menghentikan permainan gitarnya. ia menatap iba kepada Tania sekaligus serba salah ia bingung harus membuat Tania senang dengan cara apa
“Tuhan maha adil Tan, Erin pergi bukan berarti kalian enggak bisa ketemu kan? Tuhan nggak akan pernah memberi cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuannya percaya kan masih ada orang yang mau jaga kamu, mau berteman dengan kondisi kamu saat ini.”
“Kakak yakin? mau jaga Aku tanda tanya Sedangkan kakak masih belum bisa jaga diri Kakak sendiri, aku enggak mau jadi beban, buat orang lain!” Tania menunduk.
“Tan, aku ikhlas bantuin kamu, tanpa alasan apapun tanpa perjanjian apapun, hanya karena na Tuhan mengirim ku untukmu titik Aku akan jaga Kamu, wujudin mimpi kamu. kita bakal bareng- bareng “bagas meyakinkan Tania.
Tania bingung, sekaligus terharu titik apa benar? orang yang ada dihadapannya saat ini adalah malaikat? Jika benar kau makan Ia juga akan menjaganya sepi Sayang ia mampu titik Tania yakin kok ma Tuhan maha adil, Tuhan punya rencana yang lebih baik untuk mereka.
3 Februari 2031
Sore itu gadis berumur 16 tahun yang terduduk di atas kursi roda, mengenakan gaun berwarna merah hati selutut sambil memangku sebuah Gitar milik orang kesayangannya, sedang menunggu seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya titik keluar dari ruang UGD dengan selamat. matanya sembab karena menangis semalaman titik raut wajahnya terlihat gusar, Apalah arti menang untuknya, jika orang yang selama ini membantu mewujudkan mimipinya sampai rela berkorban Membawanya ke Jakarta mengendarai sepeda motor yang ia modifikasi sedemikian rupa agar Gadis itu bisa nyaman duduk di atasnya Komak ini orang tersebut harus terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
“Dokter gimana dok?” tanya Tania setelah mengetahui seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. dokter tersebut hanya memberi isyarat agar kakinya masuk dan menengok keadaan Bagas di dalam titik tanpa pikir panjang langsung menerobos pintu UGD dan seketika melihat keadaan Bagas yang setengah sadar, hatinya sedikit lega
“Kak Bagas,” suara Tania memanggil Bagas terdengar Parau ditelinga Bagas
“Tan” Bagas lirik, hampir tidak terdengar Jelas ditelinga Tania.
“kakak sakit apa sih? kok enggak pernah cerita?”
“Udah, kamu nggak usah mikirin aku kejar mimpi kamu Tan. “
“mimpi aku udah kesampaian Kak aku berhasil lolos ke grand final besok “ucapkan ia berusaha terlihat senang. Ia tidak bisa sepenuhnya senang, melihat Gagas yang berjuang untuk nya harus dirawat di ruang IGD.
“kamu masih ada lomba kan besok?” ucap Bagas sekuat tenaga. Tania hanya mengangguk “kamu yang serius latihannya, Jangan karena kamu lolos kemarin kamu jadi lengah, Maaf ya Tan, sekarang aku yang ngerasain kamu, maaf aku jadi nggak bisa nemenin kamu latihan tapi aku janji kapan-kapan kita nyanyi bareng lagi” sambung Bagas lirih karena tak sanggup menahan sakit yang dideritanya. Tania menangis dan mengangguk sebagai jawaban nya. ia tak sanggup menolak perintah Bagas yang ia anggap sebagai sebuah kewajiban. Tania mendekatkan kursi rodanya keranjang Bagas berusaha menggenggam tangan kiri Bagas.
“Makasih Kak, Makasih udah mau mewujudkan mimpi aku benar-benar menjadi nyata saat ini,taerimakasih udah merubah pandangan dulu aku tentang orang lain, udah mau selalu ada disaat sama orang pergi ninggalin aku terima kasih terima kasih lagi karena sudah mau menjadi sepasang sayap malaikat yang tulus bagiku “Bagas memejamkan matanya lagi
* * *
Tania mengulur nafas panjang dan menghembuskannya pelan kemudian ia menatap juri-juri yang duduk bersebelahan di depan Tania lalu pandangannya menuju ke arah Tribun penonton yang sorak ramai menyebutkan namanya Tania tersenyum percaya diri kemudian ia memulai permainan gitarnya
Takkan Pernah ku lintas tuk tinggalkan kamu jauh dalam
Kasihku
karena aku milikmu kamu milikku separuh nyawa hidup bersama
berdua kita lewati meski hujan badai takkan berhenti sehidup semati Mentari pun tahu ku cinta padamu
percaya, aku takkan kemana-mana aku akan selalu ada temani hingga hari tua
percaya, aku takkan kemana-mana setia akan kujaga kita
teman bahagia
Seandainya Bagas melihat saat ini, lagu ini Tania Tunjukkan khusus untuknya.
* * *
Di sisi lain
seorang wanita paruh baya, Berkemeja biru dongker melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menuju pintu unit gawat darurat titik terlihat samar dokter dan para suster nya Tengah menangani Bagas, berusaha mengoptimalkan detak jantung Bagas yang mulai melemah titik wanita itu cemas, aku terjadi sesuatu di air matanya perlahan lolos dari matanya menyusuri bibir wanita tersebut. bibirnya bergetar, sambil terus berdoa untuk kesembuhan Bagas. ia tak pernah menyangka akan terjadi hal seperti ini. Ia juga tak akan pernah lelah jika anak yang telah dibesarkan nya dengan penuh tanggung jawab itu, harus mengakhiri kisah hidupnya sama seperti ibu kandungnya. ia menyesal, mengapa ia harus mengizinkannya pergi mencari seseorang dari masalalunya, dan membantu membawa orang tersebut ke Jakarta saat ini, untuk mewujudkan impian orang tersebut titik-titik tubuhnya yang lelah karena baru tiba dari bandara soekarno-hatta, harus menumpang taksi online kemudian berlari secepat nya menuju Rumah Sakit, tempat Bagas
dirawat. ia duduk di atas kursi tunggu sambil menyandarkan punggungnya pada tembok rumah sakit. air matanya tak dapat ia tahan. Tetapi wanita itu yakin, Bagas adalah anak yang kuat, ia pasti selamat.
* * *
Tania tidak mengerti, mengapa perasaannya tidak enak sedari tadi, bahkan sebelum ia naik ke atas panggung untuk perform nya yang terakhir, ia teringat - ingat akan Bagas.Bagaimana kondisinya sekarang tanda tanya dengan siapa ya sekarang dan dadanya Serasa di benak Tania hanya ada kata pulang dan bertemu Bagas itu saja. meskipun saat ini Tania baru saja turun dari atas panggung super besar, tempat dimana namanya mulai dikenal banyak orang. bunga, parcel, dan berbagai penghargaan lainnya memenuhi pangkuannya yang duduk di atas kursi roda. Tania benar-benar berhasil. ia memenangkan kompetisi menyanyi yang acaranya adalah ajang paling bergengsi di seluruh Indonesia. Tania tak henti mengumbarkan Senyumlah di depan banyak kamera yang meliputnya, menyambung dengan salah satu stasiun TV nasional sekaligus penonton yang meneriaki nama Tania begitu antusias. Tapi jujur, Tania khawatir dengan Bagas, harusnya Bagas ada di sini Oma menjadi orang pertama yang menghampirinya turun dari panggung tapi titik-titik titik-titik Tania harus kuat, ia harus terus melihat ke depan titik sekarang Tania begitu percaya diri dihadapan banyak orang, dirinya bisa ikhlas menerima fisiknya, tanpa ragu akan cemooh orang lain. ia kuat karena malaikat nya.
* * *
Hari berganti malam, taksi yang ditumpangi Tania melaju di tengah jalanan yang ramai menuju Rumah Sakit. Tania kemudian ingat sesuatu, Ia memutuskan untuk turun dari taksi, menaiki kursi rodanya dengan bantuan sopir taksi dan menuju sebuah rumah makan di pinggir jalan untuk membeli makanan kesukaan Bagas. Ia yakin, Bagas pasti senang mendengar kabar baik darinya.
Sebuah mobil sedan melesat cepat dari kejauhan. terlihat samar seorang anak perempuan yang tengah memungut bonekanya yang tergeletak di tengah jalan raya itu. Tania yang melihat hal tersebut langsung menggerakkan kursi rodanya ke arah anak perempuan tersebut secepat yang ia mampu titik Tania mendorong keras tubuh kecil anak perempuan itu sehingga terpental ke pinggir jalan bersamaan dengan mobil sedan yang menuju dari arah kiri Tania. Entah mengapa Tania merasa sistem sarafnya terhenti. otaknya tak mau bekerjasama dengan tubuhnya untuk cepat pergi dari tempat itu titik tubuhnya kaku, bahkan lidahnya kelu untuk berteriak sebuah dentuman keras mengenai tubuh Tania hingga terpental beberapa meter bersamaan dengan teriakan orang orang meminta tolong, Tania tergeletak titik paling lihat tangannya kabur ia merasa sesuatu yang amis dan kental mengalir keluar dari mulut dan hidungnya.
* * *
Lima hari kemudian paska Tania operasi
Tamiya sudah mengerti, tentang tante Anggi yang ternyata adalah adik kandung Ibu Tania titik Ibu Tania meninggal karena riwayat penyakit jantung. sedangkan ayahnya, tewas dalam kecelakaan maut 16 tahun yang lalu. dan tante Anggi kehilangan jejak Tania Sejak saat itu. kini Tuhan telah mempertemukan mereka kembali dan 1.000.000 pertanyaan yang Tania ingin tahu jawabannya.
“Kak Bagas mana Tante? kok kemarin enggak kelihatan? Tania kangen pengen ketemu! “ujar Tania pada tante Anggi yang sedang mendorong pelan kursi rodanya menuju taman depan rumah sakit tersebut.
Tante Anggi berjongkok dihadapan Tania sambil menggenggam sebuah kotak ukuran 20 x 15 cm berlapis kertas kado merah muda, lalu memberikannya pada Tania. “ada titipan dari Bagas buat kamu, semoga kamu suka” dan ia langsung mengambil kotak tersebut dan membukanya Tania tak berhenti tersenyum sedari tadi Rhoma Hal itu membuat tante Anggi merasa sangat bersalah bila harus mengatakan yang sebenarnya. sebuah kotak musik berbentuk biola dengan patung penari balet Yang berputar-putar sesuai Irama musik. terselipkan sebuah surat yang terbungkus amplop merah.
Tania membukanya lalu membaca dengan seksama
“kamu tahu tak, terkadang orang yang kita cintai tidak ditakdirkan selamanya bersama kita “ucap tante Anggi, tetapi dan ia hanya fokus membaca isi surat dari Bagas.
“Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi semua hamba- nya, walau kadang menyakitkan” sambung tante Anggi titik senyum Tania memudar, ia menjatuhkan surat perantau merah dari Bagas. matanya beralih menatap tante Anggi dengan tatapan yang sulit diartikan. tante Anggi harus berusaha tetap tegar, Iya halus siap menjawab pertanyaan yang keluar dari mulut Tania.
“tante yakin, kamu adalah perempuan yang paling kuat, yang pernah anda temui, tante sangat bersyukur, Tuhan selalu mengirimkan orang-orang hebat di sisi tante, Bagas, dan kamu. “
“Kak Bagas itu siapa Tante?” tanya Tania tiba-tiba selepas membaca isi surat dari Bagas titik berbagai teka-teki muncul di benak Tania. sebenarnya Bagas itu siapa? Apakah bagian dari masa lalunya?
“Bagas adalah kakak kandung kamu Tania” cara tante Anggi pasrah titik mendengar pernyataan tante Anggi, air mata Tania kembali mengguyur mungilnya. “jadi ini, alasan Kakak Bagas menjaga Aku selama ini “batin Tania. “Kak Bagas mana Tante? “Tante Anggi diam ikut menangis, lagu akan menjawabnya.
“Kak Bagas mana Tante?” tangisan Tania semakin pecah. “maafin tante tan, Bagas telah merelakan hatinya untuk kamu “tante Anggi berusaha berbicara sebisa yang ia mampu untuk tidak membuat kondisi Tania kembali drop. namun nihil dan ia menangis sejadi- jadinya.
“hati Bagas ada di dalam tubuh kamu Tania “
seketika dunia terasa berhenti, saat Tania mendengar kenyataan pahit yang ia terima.Iya memukul dirinya sendiri dengan kasar, melontarkan berjuta penyesalan, hatinya hancur. kini sepasang sayap malaikat Mi Bagas telah menemui panggilan Tuhan setelah berhasil menuntaskan tugasnya untuk mewujudkan Titania, adik kandungnya. “terkadang, cara Tuhan menyayangi hambanya, memang menyakitkan Tapi percayalah, akan ada pelangi setelah hujan reda” kata-kata Terakhir Bagas dalam surat yang ditulisnya untuk Tania.
----------
Cerpen diambil dari buku Cahaya Di Lorong Gelap (Antologi Karya Siswa MMA, Penerbit Pustaka MMA, 2020)