Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan, lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren dan lain sebagainya menjadi tanggung jawab Kementerian Agama. Kementerian Agama mulai resmi didirikan tanggal 3 januari 1946. Langkah awal dari Kementerian Agama dengan mengeluarkan peraturan Menag No.1 tahun 1946 tentang pemberian bantuan madrasah. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa madrasah adalah tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajaran, dan juga mengajarkan pengetahuan umum sekurang-kurangnya; Bahasa Indonesia, berhitung dan membaca serta menulis huruf latin untuk madrasah tingkat rendah. Sedangkan madrasah lanjutan ditambah dengna mata pelajaran; ilmu bumi, sejarah, kesehatan, tumbuh-tumbuhan dan ilmu alam.
Pada masa ini Kementerian Agama lebih tajam dalam mengembangkan program-program perluasan dan meningkatkan mutu madrasah. Terbukti pada tahun 1950 madrasah diakui oleh Negara secara formal sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Hal ini dikuatkan dengan adanya keputusan politis berupa Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pada pasal 10 yang menyebutkan bahwa “Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Kementrian Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar”. Oleh karena itu pemerintah membuat kebijakan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar pada Kementerian Agama. Adapun syarat-syarat tersebut adalah lembaga madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam dalam seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.
Kemudian peraturan tersebut disempurnakan dengan Peraturan Menag No. 7 Tahun 1952 tentang jenjang pendidikan pada madrasah yang terdiri atas; Madrasah Rendah (Madrasah Ibtidaiyah), Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (Madrasah Tsanawiyah), dan Madrasah Lanjutan Atas (Mandrasah Aliyah).
Pada masa ini pula, tepatnya pada tahun 1951 Kementerian Agama dibawah Menteri Agama K.H Wahid Hasyim berupaya melakukan pengembangan madrasah dengan memperkenalkan model Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang ditempuh selama delapan tahun dengan pertimbangan bahwa anak pada umur 6 tahun sudah berhak untuk sekolah. Tujuan adanya MWB sendiri lebih diarahkan kepada pengembangan jiwa bangsa. Selain itu dengan adanya MWB dimaksudkan sebagai usaha awal usaha awal untuk memberikan bantuan dan pembinaan madrasah dalam rangka penyeragaman materi kurikulum dan sistem penyelenggaraannya dalam upaya meningkatkan mutu Madrasah.
Namun pada kenyataannya MWB tidak terlaksana sesuai yang diharapkan. Diantara salah satu faktor penyebabnya yaitu kurang antusisnya masayarakat atau penyelenggara madrasah, masyarakat menganggap MWB kurang memenuhi persyaratan sebagai lembaga pendidikan agama. Akhirnya pemerintah mendirikan sistem madrasah yang lebih diinginkan oleh masyarakat dengan membentuk perjenjangan dalam madrasah yaitu, Madrasah Ibtidaiyah ditempuh 6 tahun, Madrasah Tsanawiyah Pertama ditempuh 4 tahun dan Madrasah ditempuh Tsanawiyah 4 tahun.
Pada masa awal kemerdekaan ini juga terdapat perkembangan yang cukup penting yaitu berdirinya lembaga pendidikan dan madarasah profesional keguruan yaitu Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan didirikannya lembaga ini salah satunya untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan madarasah-madrasah dan ahli dalam bidang keagamaan.
Upaya-upaya Kementerian Agama dalam meningkatkan mutu madrasah bergulir terus hingga masa orde baru. Dengan adanya ketetapan MPRS No. XXVII/1966 tentang “Agama, Pendidikan dan Kebudayaan”, pada tahun 1967 Kementrian Agama terus berupaya meningkatkan status madrasah dengan jalan menegerikan madrasah-madrasah dalam semua tingkatan mulai dari tingkatan Ibtidaiyah sampai dengan Aliyah. Melalui usaha ini setidaknya tercatat ada ratusan madrasah yang dijadikan madrasah negeri yang meliputi 123 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), 182 Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri (MTsAIN) dan 42 Madrasah Aliyah Agama Islam (MAAIN). Dengan memberikan status negeri pada madarasah, maka tanggungjawab pengelolaan menjadi beban pemerintah dan lebih memudahkan dalam pengawasannya.
Sejalan dengan struktur madrasah yang sudah lengkap, pada tanggal 10-20 Agustus 1970 disusunlah kurikulum madrasah dalam semua tingkatan secara nasional. Kurikulum madrasah diberlakukan secara nasional sesuai dengan keputusan Menteri Agama No. 52 tahun 1971. Setelah melalui beberapa perbaikan dan penyempurnaan, kurikulum ini dikenal dengan kurikulum 1973. Komponen-komponen kurikulum ini tidak hanya meliputi mata pelajaran agama, tetapi juga mata pelajaran umum dan kejuruan. Pada tingkat Ibtidaiyah ditempuh selama tujuh tahun dengan menempatkan tujuh mata pelajaran dalam kelompok dasar, delapan mata pelajaran dalam kelompok pokok dan tiga mata pelajaran dalam kelompok khusus. Pada tingkat Tsanawiyah ditempuh selama tiga tahun dengan menempatkan mata pelajaran yang sama dengan tingkat Ibtidaiyah dengan menambah kelompok ekstrakurikuler. Sedangkan pada tingkat Aliyah struktur muatan kurikulumnya sama dengan tingkat Tsanawiyah, hanya menambah mata pelajaran tertentu di masing-masing kelompok. Dengan adanya penetapan kurikulum ini dapat memberikan makna penting bagi madarasah diantaranya, pertama, adanya standar pendidikan madarasah pada setiap jenjang, kedua, adanya acuan mata pelajaran yang dapat dijadikan landasan dalam pengembangan bagi pendidikan di Madrasah.
Usaha pengembangan dan pembenahan manajemen madrasah terus digulirkan oleh Kementerian Agama dengan memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Pada tahun 1975, Kementrian Agama yang dipimpin oleh Dr. Mukti Ali, MA juga berupaya keras untuk menghilangkan dualisme sistem pendidikan menuju mono sistem pendidikan dengan cara mengintegrasikan madrasah kedalam sistem pendidikan nasional. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri pada tanggal 24 Maret tahun 1975 yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Adapun isi dari SKB tersebut sebagai berikut :
a. Madrasah meliputi tiga tingkatan : MI setingkat dengan SD, MTS setingkat dengan SMP dan MA setingkat dengan SMA.
b. Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat dengan artian ijazah madrasah tidak hanya diakui oleh Kementerian Agama tetapi juga diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
c. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih di atas.
d. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Menurut SKB 3 Menteri, yang dimaksud dengan madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangngya 30%, disamping mata pelajaran umum.
Keputusan SKB 3 Menteri ini diperkuat lagi dengan dikeluarkannya SKB 2 Menteri, antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama pada tahun 1984 tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Sekolah Madrasah yang isinya antara lain, penyamaan mutu lulusan madrasah dan dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi. Sebagai dari tindak lanjut SKB 2 Menteri, lahirlah kurikulum 1984 untuk madrasah yang tertuang dalam dalam Keputusan Menteri agama Nomor 99-101 Tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah.
Selain kebijakan SKB 3 Menteri, juga terdapat kebijakan Kementrian Agama untuk mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang SISPENAS yang menjelaskan bahwa madrasah berada dibawah aturan Undang-Undang SISPENAS (Sistem Pendidikan Nasional). Madrasah juga diatur oleh peraturan pemerintah yaitu PP No. 28 dan 29 Tahun 1990 sebagai pelaksana undang-undang sebelumnya. Selanjutnya untuk menindaklanjuti pelaksanaan peraturan pemerintah, maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Agama masing-masing membuat Surat Keputusan. Sehingga dapat di pahami bahwa madrasah dikelompokkan kepada sekolah umum yang bercirikan khas agama Islam, maka seluruh muatan kurikulum sekolah masuk menjadi program madrasah ditambah dengan mata pelajaran agama sebgai ciri khas keislaman. Berkenaan dengan ini, madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah memiliki kurikulum yang sama dengan sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, ditambah dengan ciri keislamannya yang tertuang dalam kurikulum.
Selanjutnya, pemerintah melalui Kementerian agama yang dipimpin oleh Prof. Munawir Sadzali, MA membuat terobosan baru dalam mengembangkan Madrasah Aliyah dengan mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) segaimana yang tertuang dalam surat keputuasan Mentri Agama No. 371 dan No 374 Tahun 1993. Program MAPK diadakan, karena kebijakan sebelumnya yaitu SKB 3 atau 2 Menteri ini dianggap telah merubah kurikulum pada madrasah sebelum-sebelumnya dengan hanya memberikan porsi pengajaran agama sebesar 30 %. Adapun tujuan program MAPK adalah melakukan pembibitan calon-calom ulama’ dan meningkatkan kualitas pilihan ilmu-ilmu agama yang sudah ada dengan memberikan porsi prosentase pendidikan agama yang tinggi yaitu agama 70 % dan umum 30 %. Dengan adanya program Madrasah Aliyah Program Khusus ini diharapkan porsi belajar tantang agama lebih dominan daripada mata pelajaran umum. Madrasah pada periode ini telah memasuki era madrasah sebagai sekolah yang berciri khas agama islam. Adapun ciri khas keislaman dapat diwujudkan dalam bentuk pelajaran keislaman, begitu juga suasana lingkungan sekolah yang islami, serta pendidik dan peserta didiknya yang memiliki ciri khas keislaman.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Penulis : H. Muhyiddin, Lc., MM (Guru Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 6 Tahun Tambakberas Jombang)