Oleh: Ahmad Afiq Al Hamidy (kelas 4A)
Berawal dari kegiatan bakti sosial (baksos) para santri dan alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas yang dilakukan di desa Bojonegoro, Pak Wanto memulai mengarungi samudra keilmuan Bahrul Ulum untuk bekal di kemudian hari.
Pak Wanto merupakan lulusan Madrasah Muallimin Muallimat pada tahun 2002. Sebelumya, beliau mengenyam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Bahrul Ulum, yang merupakan Madrasah untuk masuk ke Madrasah Muallimin Muallimat.
Pada saat itu, menurut Pak Wanto, beliau termasuk kaum dhuafa di desa yang memang termasuk pelosok. Karena adanya kegiatan baksos di desa beliau tersebut, dan sebagai dampak positif dari kegiatan tersebut, Pak Wanto diajak untuk mesantren di Tambakberas.
Pak Wanto terbantu secara biaya dan makan dari pengurus pesantren yang dititipi untuk membantu beliau. Saat itu, Pak Wanto membantu memasak untuk makan sehari-sehari pengurus pesantren. Lewat situlah beliau pun dapat makan. "Dulu, setiap mengikuti satu divisi itu pasti sudah gratis biaya makan", ucap beliau
Pak Wanto pertama kali datang di Tambakberas masuk di kelas 3 MI. Sampai pada kelas 3 MMA sebagai santri biasa yang ada di kamar pondok. Setelah itu beliau ikut menjadi abdi ndalem Kiai Nashir yang saat itu ada kekosongan.
Setelah lulus dari Madrasah Muallimin pada tahun 2002, Pak Wanto pun memutuskan untuk merantau, atas ajakan Pak Mushollin ke pesantren Al Kautsar Ali Akbar Al Marbhun di Medan. Beliau menetap di sana selama 2 tahun.
Selanjutnya merantau ke Kendari, tepatnya di pesantren Ummu Sabil. Tetapi, pada saat itu Pak Wanto pergi secara sendiri, tanpa ada ajakan atau teman. Di pesantren ini beliau hanya bertahan selama 1 tahun. Kemudian Pak Wanto kembali berpindah tempat ke suatu pesantren di Sukabumi selama 2 tahun.
Perantauan Pak Wanto terhenti saat Abah Kiai Abdul Nashir Fattah menyarankan untuk pulang ke desa asal beliau di Bojonegoro. Karena memang desa tersebut masih termasuk desa yang dihuni orang abangan, yakni masih buta pada hal agama. Abah Nashir sangat ingin pak Wanto mengabdi penuh pada orang desanya. Di awal pengabdiannya, Pak Wanto mengurusi satu madrasah Diniyyah yang berdiri di tanah dan bangunan wakof. Hal tersebut di sambut baik oleh banyak warga dan mendapat sebanyak 160 siswa dari berbagai jenjang pendidikan.
Abah Nashir tidak ingin Pak Wanto kembali berkelana untuk mencari ilmu atau tujuan yang lainnya. Abah Nashir bahkan mengadakan pengajian rutin di desa asal Pak Wanto untuk menjaga agar Pak Wanto tetap tinggal di sana.
Setelah Pak Wanto beliau menikah, mula-mula berjalan seperti biasa biasa saja. Tapi di tengah-tengah pernikahan beliau terjadi masalah dalam hal ekonomi. Karena hal ini, Pak Wanto nekat dan tidak meminta izin kepada kiai Nashir untuk kembali merantau. Tetapi kali ini tujuan beliau bukan untuk ilmu, tapi untuk mencari nafkah.
Setelah berjalan dua tahun, Pak Wanto dihubungi kembali oleh Abah Nashir, yang menanyakan apakah harta yang pak Wanto kumpulkan dari hasil merantau tersebut sudah banyak? Pertanyaan tersebut disadari Pak Wanto sebagai teguran dari Abah Nashir untuk kembali pulang ke rumah.
Setelah teguran tersebut didapatkan, Pak Wanto kembali ke pesantren Tambakberas dan beliau diutus pengurus untuk mengajar di madrasah Diniyah pondok induk selama 1 tahun. Hal ini tanpa sepengetahuan Abah Nashir. Setahun kemudian, Abah Nashir mengutus Pak Wanto untuk mengajar di Madrasah Muallimin. Pada awalnya, pak Wanto keberatan karena kebesaran almamater Madrasah, tapi akhirnya beliau pun menerima tawaran tersebut.
Pak Wanto mulai mengajar di Madrasah Muallimin pada tahun ajaran 2018/2019 untuk mengampu pelajaran Tauhid dan Hadits. Pada saat tahun ajaran 2022/2023 beliau ditambah jam pelajaran pada pelajaran tafsir untuk menggantikan guru yang berganti ke kelas lain.
Menurut Pak Wanto, guru-guru yang sekarang mengajar di Muallimin tidak jauh beda dengan guru-guru saat Pak Wanto belajar dulu. Memang ada beberapa guru yang sudah wafat seperti Abah Djamal dan Pak Kiai Shulton, sedangkan guru yang lain masih sama.
Kesan beliau paling mendalam adalah sering bermain sepakbola di lapangan Untung Suropati Tambakberas saat ada guru yang tidak hadir di kelas atau yang biasa kita sebut jam kosong.
Pak Wanto pada suatu ketika pernah melakukan hal tersebut saat jam mengajarnya Abah Nashir. Beliau dengan teman satu kelas mengira bahwa Abah Nashir tidak datang, tetapi Abah Nashir tetap datang di dalam kelas, meskipun kelas dalam keadaan kosong karena seluruh penghuni kelas telah meninggalkan kelas untuk bermain sepak bola di lapangan Untung Suropati.
Pak Wanto dengan teman satu kelas pun sowan kepada kiai Nashir atas perbuatannya tersebut, meskipun begitu Abah Nashir tidak marah dan menasehati teman-teman sekelas beliau dengan lemah lembut.
Yang terakhir, pesan Pak Wanto bagi para siswa yang masih aktif bersekolah di Madrasah adalah janganlah putus asa, dan tetap beristiqomah dalam belajar. Karena belajar di Madrasah Muallimin itu terdapat banyak sekali keberkahan ilmu.
Editor: ma