Tawuran antara SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6 yang mengorbankan jiwa peserta didik belum lama ini, hampir dipastikan hanyalah gejala dari penyakit takut yang terus dan bahkan kian diderita negeri ini. Lihatlah, sebelumnya seorang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar juga tewas karena tawuran antar fakultas.
Pada saat yang sama, tawuran antar kampung dan antar desa juga terus terjadi di berbagai tempat dari waktu-waktu. Kejadian mengenaskan yang hampir selalu mengakibatkan hilangnya nyawa terjadi tidak hanya di desa-desa yang jauh dari jangkauan aparat keamanan, juga di perkotaan—seperti Jakarta—yang lengkap dengan personel Polri yang semestinya dapat bergerak cepat.
Sementara itu, berbagai ”tawuran” dalam bentuk lain juga pada lapisan atas, misalnya adanya semacam ”tawuran politik” antara kalangan Polri dan lingkungan DPR pada satu pihak dengan KPK pada pihak lain. Meski ”tawuran” ini tidak melibatkan kekuatan fisik, pergumulan kekuatan jelas terlihat dalam ranah publik, yang menimbulkan kekacauan.
Kepengapan pendidikan
Tawuran antar pelajar dan antarmahasiswa, selain merupakan cerminan kesumpekan masyarakat, sekaligus mengindikasikan kepengapan dunia pendidikan kita. Memang berlebihan jika tawuran antar pelajar dan antarmahasiswa dikatakan sebagai cerminan kegagalan pendidikan. Tetapi jelas, gejala tak sehat ini indikasi dari berbagai masalah serius yang dihadapi lingkungan sekolah dan kampus perguruan tinggi (PT) yang membuat dunia pendidikan kita secara keseluruhan menjadi sangat pengap.
Salah satu sumber kepengapan itu adalah lingkungan sekolah dan kampus yang tidak kondusif. Banyak sekolah dan kampus PT tidak memiliki fasilitas memadai, khususnya untuk olahraga, kesenian, dan berbagai medium penyaluran bakat lain. Padahal, fasilitas-fasilitas seperti ini sangat esensial tidak hanya untuk menyalurkan bakat dan minat, tetapi juga guna melepas energi berlebih dan gejolak emosional yang bisa terus meningkat dalam diri remaja dan anak muda.
Penyebab kepengapan lainnya adalah beban kurikulum sangat berat mulai dari tingkat SD, SMA, hingga PT. Setiap semester, para siswa dan mahasiswa harus mengambil 8-11 mata pelajaran/mata kuliah, dan bagi tingkat SD sampai SMA harus saling berlomba dengan kurikulum yang sudah dari dulu sampai sekarang masih belum valid-valid, apalagi belum ditambah dengan UN pada akhir jenjang pendidikan yang semakin tahun semakin “aneh” saja. Dengan beban berat seperti ini, sekolah dan PT tidak lagi menjadi fokus pembelajaran dan pembudayaan, tetapi tempat ”penyiksaan” peserta didik. Tidak heran kalau mereka menjadi sumpek dan bete, yang kemudian mereka lampiaskan ke dalam berbagai bentuk penyimpangan, termasuk tawuran yang bisa tersulut karena hal sepele sekalipun misal; rebutan cewek.
Penyediaan fasilitas sekolah dan kampus yang lebih memadai dan kondusif untuk pemberadaban peserta didik saat ini sudah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Dana amat besar, minimal 20 persen dari anggaran belanja negara (pusat dan daerah), untuk pendidikan sudah saatnya dikelola secara lebih bertanggung jawab sehingga tidak ada lagi sekolah dan kampus yang reyot, yang dalam istilah Profesor Winarno Surakhmad seperti ”kandang kambing”.
Pada saat yang sama, beban kurikulum yang menyiksa mestilah dikurangi. Mata pelajaran/mata kuliah yang menurut Profesor Malik Fadjar hanya ”recehan” harus dikembalikan kepada rumpun ilmunya. Dengan cara itu, setiap semester, peserta didik dapat mengambil 4-5 mata pelajaran/mata kuliah dengan bobot SKS lebih besar. Melalui cara ini, peserta didik dapat memiliki ruang lebih besar bagi imajinasi dan kreativitas.