Di antara sejarah penting yang harus diketahui oleh umat Islam, yaitu meletusnya peperangan Bani Quraizhah, yang terjadi pada tahun kelima setelah hijrahnya Nabi Muhammad Saw. Peperangan ini dilatarbelakangi oleh pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian damai yang telah mereka sepakati bersama umat Islam. Saat itu, umat Islam sedang kelelahan dan dalam kondisi kritis, baik dari segi kekuatan maupun senjata yang bisa digunakan ketika perang. Sebab, peristiwa itu terjadi pasca-umat Islam berperang melawan orang kafir, yang dikenal dengan perang Khandaq di akhir bulan Syawwal.
Syekh Shafifurrahman al-Mubarakfuri dalam salah satu kitab sirah-nya mengatakan, bahwa sehari setelah kepulangan Nabi Saw. menuju Madinah di waktu Zhuhur, kemudian meletakkan senjatanya dan hendak mandi di rumah Ummu Salamah, datang malaikat Jibril untuk menemuinya. Kemudian dia berkata:
قَدْ وَضَعْتَ السِّلَاحَ؟ وَاللهِ مَا وَضَعْنَاهُ. فَاخْرُجْ إِلَيْهِمْ، قَالَ: إِلَى أَيْنَ؟ قَالَ: إِلَى قُرَيْظَةَ، فَخَرَجَ النَّبِي إِلَيْهِمْ
Artinya, “’Sungguh benarkah kalian telah meletakkan senjata? Demi Allah Swt., kami (para malaikat) belum meletakkannya. Keluarlah menuju mereka!” kata Jibril. Nabi Saw. bertanya, ”Ke mana?” Jibril menjawab, ”Ke Bani Quraizhah.” Kemudian Nabi Saw. (dan para sahabat) pergi menujunya.” (HR Bukhari).
Menerima perintah ini, Nabi Saw. langsung bergegas untuk melaksanakannya dan menginstruksikan kepada para sahabat untuk segera bergerak menuju Bani Quraizhah. Bahkan, agar cepat sampai pada tujuan, Nabi Saw. menyuruh para sahabat untuk shalat Ashar di pemukiman Bani Quraizhah. Dalam sebuah hadits disebutkan:
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ
Artinya, “Janganlah (ada) satu orang pun yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari).
Kendati Nabi Saw. menyuruh para sahabat melakukan shalat Ashar di sana, ada beberapa sahabat yang melaksanakan shalat Ashar di tengah perjalanan karena khawatir waktunya akan segera habis dan ada juga beberapa sahabat yang meneruskan perjalanannya karena sudah ada perintah dari Nabi Saw. dan tentunya juga memang karena telah dilarang melakukan shalat sebelum sampai pada tujuan. Karena berbeda pendapat, para sahabat memberanikan diri untuk menyampaikan semua itu kepada Nabi Saw., khawatir apa yang dilakukannya terjerumus pada kesalahan. Namun, beliau tidak menegur dan memarahi seorang pun dari mereka.
Cerita di atas memberikan gambaran mengenai adanya perbedaan interpretasi sahabat atas statement Nabi Saw. Kelompok pertama berpegang bahwa zhahir kaidah umum tentang waktu shalat adalah tetap berlaku, bagaimanapun waktu shalat Ashar akan habis ketika matahari telah terbenam, dari sini maka mereka pun memilih untuk shalat Ashar di luar tempat yang ditentukan oleh Nabi Saw. Kelompok kedua berpegang bahwa nash yang keluar langsung dari Nabi Saw. tingkat kejelasan maknanya lebih tinggi daripada zhahir sehingga mereka lebih memilih untuk meneruskan perjalanannya sampai di perkampungan Bani Quraizhah, kenyataan bahwa mereka telah kehabisan waktu shalat Ashar ketika sampai tujuan bukan menjadi persoalan karena memang Nabi Saw. telah menginstruksikannya demikian.
Ketika penulis baca ulang hadits ini, di situ tampak betul keistimewaan Nabi Saw. yang mampu menampung seluruh interpretasi yang dipraktikkan oleh sahabat-sahabat beliau. Tidak ada kelompok yang merasa paling benar dan tak satupun dari mereka merasa tersudutkan. Melalui pembacaan yang berfondasikan ruh dari sebuah teks, teori ushul fiqh mengenai perdebatan mana yang menjadi prioritas antara zhahir dan nash mungkin akan menjadi pembahasan alternatif. Karena yang lebih penting dari itu adalah adanya sprit musaara’ah yang digaungkan oleh Nabi Saw. Makna tersirat hadits-nya bisa diartikan bahwa Nabi Saw. menghendaki sahabat-sahabatnya untuk sesegera mungkin menuju perkampungan Bani Quraizhah agar bisa shalat di sana. Dalam latar belakang hadits-nya dijelaskan juga bahwa perintah berperang di perkampungan Bani Quraizhah disampaikan karena terlebih dulu ada semacam kecaman dari malaikat Jibril sebab melihat pasukan Islam yang tampak lalai ketika itu.
Hal ini kemudian terkonfirmasi dalam sekian banyak ayat dalam Al-Qur’an yang seringkali menggunakan kata yang mengandung spirit musaara’ah ketika itu dihubungkan dengan Allah Swt dan melaksanakan kebaikan-kebaikan, seperti:
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ...
Artinya: Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga... (QS Ali Imran: 133)
سَابِقُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ...
Artinya: Berlombalah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga... (QS Al Hadid : 21)
وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ
Artinya: Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan. (QS Al Baqarah: 148)
فَفِرُّوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗ
Artinya: Maka, (katakanlah kepada mereka, wahai Nabi Muhammad,) “Bersegeralah kembali (taat) kepada Allah. (QS Adz Dzariyat: 50)
فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ...
Artinya: Segeralah mengingat Allah... (QS Al-Jumu’ah: 9)
Dalam fiqh sederhana pun, spirit musaara’ah ini sering kali menjadi pertimbangan keputusan hukum, semisal yang sering kita dengar adalah disunnahkannya muwaalah (berkesinambungan) dalam banyak ibadah, anjuran nasyaath (trengginas/semangat tinggi) dalam rangka menghadiri shalat, tidak bolehnya memberikan jeda pada shalat jama’ dan sebagainya. Dalam hal-hal yang prinsipil seperti tauhid bahkan ada hukum yang mengatakan bahwa apabila terdapat orang non Islam lalu ia berniat untuk mengucapkan syahadat dan masuk Islam maka orang yang diberikan tanggung jawab untuk menuntunnya diharuskan untuk segera mengiyakan dan tidak memberikan jeda waktu, sebab apabila jeda waktu diberikan maka ia telah membiarkan terjadinya kekufuran di atas muka bumi dan dampak paling buruknya dikhawatirkan orang non Islam itu justru akan mati dalam keadaan kufur.
Begitupun dalam kehidupan sehari-hari, spirit musaara’ah ini pun tidak bisa tidak harus disegerakan sehingga tidak lagi ditemukan pelajar-pelajar yang berdiri berbaris di depan gerbang karena telat sekolah, tidak ada lagi bangku kosong dalam rapat karena pesertanya terlambat datang dan tak ada lagi jurnal-jurnal kelas yang tak terisi sebab ditinggal si empunya. Spirit musaara’ah ini yang kemudian menstimulus terciptanya efisiensi waktu dalam belajar dan bekerja. Yang memiliki jam kegiatan terukur dalam menjalani hari lalu melaksanakannya dengan baik akan merasa bersyukur karena ia telah mampu menghormati hak waktu yang telah diberikan oleh Allah Swt, dan yang andaikata dalam menjalani harinya ia meleset melebihi jam kegiatan seharusnya sehingga harus menambah jatah lembur, tak akan merasa gundah dan Lelah karena ia tahu bahwa ia telah konsekuen melaksanakan tugasnya semaksimal mungkin. Semoga bermanfaat.
Robi Pebrian