Sebagaimana yang lazim diketahui, Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul ‘Ulum memiliki salah satu ciri khas, yakni berupa hafalan nazham Alfiyah Ibnu Malik. Tren menghafal nazham berbagai disiplin ilmu ini juga kerap dilaksanakan di beberapa lembaga pendidikan lain, khususnya pondok pesantren. Memang salah satu metode mempelajari sesuatu yang efektif adalah dengan menghafalnya. Akan tetapi, saat ini mulai ada beberapa pihak yang sebagian di antaranya adalah para akademisi dan pakar pendidikan yang memandang bahwa kegiatan memahami sesuatu lebih diperlukan dibanding dengan menghafalkannya.
Penulis bisa saja membeberkan argumentasi dengan membeberkan cerita bahwa pengarang Alfiyah, Ibnu Malik adalah seorang ‘alim yang berhasil menyelesaikan karya monumentalnya setelah mendapatkan teguran dari gurunya, Ibnu Mu’thi sebab sifat takabbur yang meliputi beliau dimana beliau merasa bahwa karangannya jauh lebih unggul. Keadaan semacam ini serupa tapi tak sama dengan cerita Syekh Ahmad Shonhaji yang membuang kitab karangannya, Matn Al-Ajrumiyyah. Beliau bertaruh dengan penuh keyakinan bahwa kitab itu akan kembali dan memberikan manfaat walaupun telah dibuangnya ke laut. Dalam dunia tasawuf, yang dilakukan beliau adalah dalam rangka mengubur dalam-dalam sifat ‘ujub. Sifat-sifat bathiniyyah semacam ini dalam dunia pesantren sedikit banyak akan memberikan atsar dalam transmisi keilmuan di generasi-generasi selanjutnya sehingga ada value lebih yang tidak didapatkan dalam karangan-karangan lain. Dalam bahasa yang sederhana, kitab-kitab beliau mbarokahi.
Namun, para akademisi dan pakar pendidikan mau lebih dari jawaban itu, yang mereka cari adalah jawaban yang memuaskan kerasionalan akal mereka. Sebelum penulis sampaikan pendapat penulis, perlu didudukkan bersama bahwa kegiatan Hafalan Alfiyah di madrasah ini bukanlah kegiatan yang dilakukan di semua tingkat. Hafalan Alfiyah di madrasah ini hanya diwajibkan bagi mereka yang berada di tingkat 1 sampai 3. Harus disepakati bersama juga bahwa tingkat kemampuan siswa akan berbeda di setiap tingkatannya, dan agaknya semua akan sepakat juga bahwa pembelajaran pada tingkat awal haruslah pembelajaran yang dalam rangka menegakkan pondasi-pondasi keilmuan. Belum sampai pada tingkatan masalah furu’iyyah dan masalah-masalah yang jarang ditemukan.
Di dalam perspektif neurosains, kegiatan menghafal dan mengulang hafalan (muroja’ah) dapat merangsang proses mielinisasi. Mielinisasi adalah proses pembentukan mielin sebagai selubung dalam syaraf otak manusia yang berfungsi sebagai penghantar impuls (rangsangan) dalam otak yang bertugas mempercepat arus informasi di otak. Sehingga menjadikan informasi lebih mudah dimunculkan, sehingga menjadikan seseorang lebih cerdas dan memiliki memori kuat. Bisa dibilang Hafalan Alfiyah yang hanya mencakup satu rumpun ilmu, yakni gramatika bahasa Arab, hanyalah sebagai pemantik untuk siswa agar dalam rumpun ilmu lainnya mereka terlatih untuk melakukan proses yang sama. Man tabahhara fi ‘ilmin waahidin yahtadii bihi ilaa saair al-‘uluum.
Lalu kenapa yang dihafalkan maksimal hanya 250 nazham dari 1.002 nazham yang tersedia? Populer di materi-materi mengenai pencarian ilmu bahwa yang paling utama dicari oleh pencari ilmu sejati adalah ‘ilmu al-hal. Ilmu yang berdaya guna di situasi tergenting. Yang akan baligh, ‘ilmu al-hal-nya adalah segala macam mengenai shalat dan puasa, yang akan menghadapi siswa bermasalah, ‘ilmu al-hal-nya adalah psikologi perkembangan anak, yang akan mengurusi negara, ‘ilmu al-hal-nya adalah ilmu berkonstitusi dan bernegera. Kalau anda amati betul, nazham yang berada dalam angka 250 pertama di Alfiyah Ibnu Malik, kesemuanya berisikan hal-hal yang paling urgen digunakan siswa dalam upayanya memahami kitab-kitab kuning yang diajarkan di madrasah. Menghafalkan 250 nazham memiliki arti bahwa madrasah berharap agar hafalan tersebut menancap betul di dalam hati sebagai pondasi awal seorang pencari ilmu di pondok pesantren karena pada tingkat selanjutnya mereka akan memulai sesuatu yang lebih sulit, membaca dan memahami kitab kuning. (Bersambung)
Robi Pebrian