Dalam rangka mengenang 1000 hari wafatnya KH Abdul Nashir Fattah, yang akan diperingati pada Kamis Wage, 22 Mei 2025, bertepatan dengan 24 Dzulqo’dah 1446 H, sebuah tulisan ringan kami buat. Tulisan ini terkait dengan sikap beliau terhadap upaya menata kelembagaan (organisasi), yang sengaja kami pilih, karena tulisan tentang bagaimana kiprah beliau dalam pengembangan kelembagaan tidak banyak dibuat, tertutup oleh kiprah beliau dalam bidang keilmuan dan pengembangannya.
Lebih khusus tulisan ini berkaitan dengan pengelolaan lembaga, khususnya di Madrasah Muallimin Muallimat Tambakberas, dimana selama ini beliau mencurahkan sebagian waktu dan pikirannya. Pengelolaan lembaga ini utamanya lagi tentang pembuatan rencana di Madrasah Muallimin Muallimat. Dalam beberapa kesempatan, KH Abdul Nashir Fattah selalu menyampaikan bahwa, kita boleh merencanakan apa yang akan kita kerjakan, tapi jangan sampai rencana kita tersebut bisa membelenggu kita untuk melakukan sesuatu yang tidak kita rencanakan tetapi baik untuk Madrasah atau lembaga.
Dalam bahasa Kiai Nashir, beliau mengatakan, "apa yang kita programkan jangan sampai membatasi kita untuk melakukan di luar yang kita program-kan". Kemudian beliau memperjelas bahwa, apa yang kita programkan belum tentu sesuai dengan yang akan terjadi dalam saat berikutnya, ketika program tersebut dijalankan. Jadi bisa berubah.
Menurut Kiai Nashir sendiri, pernyataan tersebut, berangkat dari apa yang telah beliau dengar dan terima dari salah satu guru beliau saat belajar di Mekkah, yaitu Sayyid Muhammad Bin Alwi Al Maliki.
Pada saat yang lain bersama dengan beliau, dengan suasana santai diskusi tentang berbagai hal, beliau kembali menyatakan tentang pernyataan tersebut. Setelah beliau selesai ngendikan, kami menanggapi, "Yai, saya setuju dengan apa yang jenengan sampaikan tersebut, tetapi saya memberi qoyyid".
"Apa itu", kata beliau.
"Program itu penting, karena kalau tidak ada program, maka kita tidak akan bisa menjalankan sesuatu. Karena program itu adalah rencana. Segala sesuatu harus di rencanakan dengan baik dan sebaik-baiknya, agar bisa menghasilkan capaian yang sebaik-sebaiknya sesuai dengan yang kita kehendaki".
Kemudian kami melanjutkan, "namun, meskipun program sudah disusun dengan baik, sesuai dengan kemampuan maksimal kita dalam merencanakan, tetapi jika dalam pelaksanaan ternyata ada hal lain yang lebih baik dan menunjang pencapaian apa yang kehendaki, maka kita tidak boleh menutup mata untuk tidak melaksanakan hal lain tersebut".
Ketika sudah seperti ini, biasanya beliau tidak langsung merespon. Namun akan berfikir terlebih dahulu, dan jika diskusi berhenti, maka lain waktu akan dibahas lagi.
Dugaan saya tersebut tidak meleset. Karena satu waktu berdiskusi dengan bahasan yang sama, beliau kembali mengutarakan tentang program, dan bagaimana merencanakan program sebaik-sebaiknya.
Lebih lanjut kami berbicara -- dalam bahasa kami -- tentang program strategis dan langkah taktis dalam menjawab kebutuhan program. Program strategis adalah program yang kita rencanakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu, sementara langkah taktis adalah respon kita saat ada kondisi tertentu yang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan dalam program. Jika ada sesuatu yang menguntungkan program, maka kita lakukan. Tapi jika tidak menguntungkan, maka kita tinggalkan atau hindari. Saat itu, beliau langsung menjawab dengan kaidah fiqih: dar'ul mafaasid muqoddamun 'ala jalbil masholih.
Dalam manajemen yang saat ini berkembang, perencanaan (planning), pelaksanaan, monitoring dan evaluasi (PME) sebagai basis pengetahuan dalam manajemen, ditambah dengan senseing dan responding. Dalam melakukan monitoring atau controlling, harus juga melakukan senseing (mengindra). Apakah yang direncanakan sesuai dengan kondisi yang terjadi, jika sudah tidak sesuai, maka segera dilakukan responding: merespon dengan melakukan perencanaan ulang.
Dari proses diskusi-diskusi seperti itu, dengan suasana diskusi yang nyaman adalah gambaran bahwa, Kiai Nashir merupakan Kiai yang terbuka. Keterbukaan dalam mengelola kegiatan kelembagaan tidak hanya dilakukan di Madrasah. Di Nahdlatul Ulama bahkan lebih terbuka, dengan selalu menerima pendapat yang disampaikan oleh pengurus yang lain. Bahkan, akan selalu mengedepankan pendapat yang berkembang, dan menghindari mempertahankan pendapat pribadi jika memang dirasa tidak kuat argumentasinya. (Alba)