Pengalaman penulis selama belajar dan mengabdi di Madrasah Muallimin Muallimat 6 tahun (MMA) Tambakberas dan, mungkin juga pengalaman teman-teman yang lain, tidak bisa dilepaskan dari kesan bahwa, MMA adalah Madrasah yang memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Bahkan penulis sering mendengar dari sebagian guru MMA yang memiliki jam mengajar di tempat lain bahwa, di MMA suasananya memang lain dari yang lain.
MMA merupakan tempat dimana hubungan antara guru dan siswa/murid terjalin akrab, atas dasar saling menghormati, yang dilandasi oleh kesopanan dan tata krama, yang tidak kaku dan penuh ketegangan. Disamping itu, hubungan antar guru dan juga dengan staf pegawai, terjalin dengan penuh keakraban dalam suasana egaliter, penuh kekeluargaan. Baik antar guru yang sudah lama, maupun guru yang masih baru. Suasana seperti itu mungkin agak sulit ditemukan di madrasah atau sekolah lain.
MMA bagi sebagian orang, mungkin saja dianggap sebagai Madrasah yang ketat dalam sistem pembelajarannya, terutama pada aspek penilaian (evaluasi)-nya, yang lebih menitik beratkan pada segi kualitas (kemampuan siswa) berupa nilai murni, bukan kuantitas (nilai yang dibatasi Kriteria Ketuntasan Minimal/KKM).
Sedangkan bagi sebagian orang lain, MMA mungkin dianggap sebagai Madrasah yang longgar dan tidak ketat dalam menerapkan sistem pembelajarannya. Pandangan ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa, siswa MMA ketika berangkat ke Madrasah tidak diwajibkan memakai sepatu, cukup memakai sandal saja (kecuali sandal jepit). Waktu Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)-nya paling singkat dibandingkan Madrasah di sekitarnya. Masih banyak terjadi siswa yang datang terlambat, ketika disangsi, dianggap ringan sebab diterima bersama banyak teman. Ketika ada tunggakan pembayaran, Madrasah masih bersikap penuh toleran dan sebagainya. Belum lagi tidak banyak guru yang memberikan tugas berupa PR atau yang lain.
Suasana KBM di MMA memang terlihat santai, dalam artian suasana di kelas tidak dibikin tegang. Sampai-sampai ada yang tidur dan ketiduran. Bahkan kadang timbul suasana penuh canda antara guru dan siswa. Meski demikian, siswa tidak lantas bersikap tidak sopan terhadap guru. Tanpa membedakan guru mata pelajaran agama maupun umum. Semua diperlakukan sama oleh siswa.
Sikap demikian berbeda dengan dulu, dimana kesan bahwa guru mata pelajaran umum, terutama guru olahraga (saat ini tidak ada lagi pelajaran olahraga), selalu dipandang remeh oleh sebagian siswa. Hal ini terjadi kemungkinan pengaruh dari tingkat usia guru dan siswa yang tidak terpaut terlalu jauh, bahkan ada siswa yang usianya lebih tua daripada guru. Sehingga kurang adanya rasa segan dan takut, disamping mata pelajaran umum kurang dianggap penting saat itu. Ada ungkapan canda “wong ora dadi pitakon kubur ae kok...” (tidak jadi pertanyaan di alam kubur saja kok…). Sehingga sering terjadi pergantian guru pada mata pelajaran umum.
Pada aspek perekrutan siswanya, MMA lebih memilih sikap inklusif (umum), yakni menerima siswa dari berbagai latar belakang sekolah tanpa memandang dan mempertimbangkan aspek prestasi nilai dari calon siswa tersebut. Semua calon siswa harus memgikuti tes masuk, dan akan masuk di kelas sesuai dengan kemampuan. Sedangkan pada aspek evaluasi, sistem kenaikan kelas, maupun pelulusannya masih bersifat eksklusif (ketat dalam seleksi nilai dari hasil ujian siswa). Siswa yang tidak memenuhi nilai minimal yang telah ditentukan oleh Madrasah tidak bisa naik kelas atau tidak lulus. Bagi kelas 1-3 kenaikan kelas ditentukan oleh hafalan nadham Alfiyah Ibn Malik.
Mengenai usia siswa, antara dulu dan sekarang juga berbeda. Pada zaman dahulu (pertengahan tahun 80-an sampai awal 90-an), siswa kelas satu MMA usianya setara dengan siswa kelas 3 SLTA di Madrasah lain, jika siswa tersebut melanjutkan dari SP (Sekolah Persiapan) 2 tahun ke jenjang MMA. Sebab SP waktu itu hanya menerima siswa yang memiliki ijasah tingkat SLTP. Namun jika siswa tersebut melanjutkan dari MI (Madrasah Ibtidaiyah) Tambakbaeras, yang mengulang 2 atau 3 tahun dari SD (Sekolah Dasar) sebelumnya, maka usia ketika duduk di kelas satu MMA setara dengan kelas1 SLTA. Bahkan dari sebagian siswa ada yang sudah memiliki ijasah SLTA, sehingga disamping paginya sekolah di MMA, juga merangkap kuliah di waktu siang.
Semenjak SP tidak lagi mengharuskan siswanya untuk melanjutkan ke MMA dan, MI mendirikan kelas program khusus 2 tahun, sekitar pertengahan tahun 90-an, siswa MMA dari segi usianya mulai berubah. Usianya sampai sekarang semakin sesuai dengan dengan usia siswa di tingkat MTs/SMP, dan usia siswa MA/SMA. Meskipun masih banyak siswa yang usianya setahun-dua tahun lebih tua dari siswa di sekolah tingkat SLTP dan SLTA, karena masuk dari kelas 1A bagi siswa dari SD/MI selain MI Tambakberas, atau mengulang di kelas di kelas 2A bagi siswa dari MTs/SMP. Bahkan ada beberapa siswa yang memiliki usia kuliah, karena setelah lulus MA/SMA baru masuk kelas 2A.
Pada aspek kurikulumnya, MMA berbeda dari madrasah atau sekolah kebanyakan. MMA memiliki kurikulum 6 tahun, kurikulum program khusus kelas A, dan juga secara formal menggunakan kurikulum Kemenag RI. Karena itu, alumni MMA akan memiliki 2 ijazah, bahkan 3 ijazah. Ijazah MMA sendiri, Ijazah negara MA dan ijazah negara MTs. Semua sistem ini diselenggarakan sesuai dengan tujuan didirikannya Madrasah, yakni untuk mencetak muallim dan melayani kebutuhan masyarakat akan pentingnya pendidikan agama. (ed, ma)
Oleh: Rahmat Basuki, S.Pd (Guru Madrasah Muallimin Muallimat 6 Tahun Tambakberas)