Muallimin Online,
Kebaikan seseorang, biasanya akan terungkap ketika yang bersangkutan sudah “berpulang”. Kesaksian-kesaksian akan kebaikannya tak henti disampaikan orang lain, yang itu tidak terungkap dan tidak diketahui banyak orang di saat yang bersangkutan masih hidup. Sebagaimana kesaksian KH Anshori Sechah, salah satu ustadz senior di Madrasah Muallimin Muallimat Tambakberas Jombang, tentang kebaikan-kebaikan almarhum almaghfurlah KH Abdul Nashir Abdul Fattah. Kiai Anshori menyampaikannya saat sambutan pada acara Tahlil dan Kirim Doa Hari ke-4 Almarhum Almaghfurlah KH Abdul Nashir Abdul Fattah.
Kiai Anshori begitu beliau biasa dipanggil, memulai sambutannya dengan mengutip ungkapan Imam al-Sanusi ketika mengomentari Kitab Aqidah yang merupakan karyanya sendiri. Kata al-Sanusi, “kitab saya ini shaghirul jirmi, katsirul ‘ilmi”. Menurut Kiai Anshori, gambaran Kiai Nashir itu seperti Kitab Aqidah Karya Imam al-Sanusi tersebut. Secara fisik, tutur Kiai Anshori, kita semua muttafaq ‘alaih bahwa Kiai Nashir itu kecil, tapi potensinya luar biasa yang itu seringkali di luar kemampuan kita. Hal itu tergambar pada semangat-semangat Kiai Nashir dalam mewujudkan harapan-harapan besar yang sepertinya tidak mungkin terealisasikan.
Dalam suatu kesempatan, lanjut Kiai Anshori, di tahun 2003 Ranting NU Tambakberas akan mendirikan TPQ di Dusun Petengan, Tambakberas Utara. TPQ tersebut rencananya akan dilaksanakan di masjid. Dalam pemikiran Kiai Nashir, kalau TPQ itu dilaksanakan di masjid pasti tidak maksimal. Tidak pas. “Harusnya beli tanah”, kata Kiai Nashir.
Tentu itu mengagetkan kami semua, beli tanah untuk TPQ? Uang dari mana? Ranting tidak punya uang. Tapi Kiai Nashir sangat optimis, harus beli tanah. Kebetulan di utara masjid tersebut ada tanah dijual seharga 30 juta. Kiai Nashir meyakinkan kami semua, “Insyallah kita bisa melunasinya dalam waktu empat bulan”.
30 juta di tahun 2003 itu bukan angka yang kecil, kami semua bingung. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu? Tapi Kiai Nashir terus meyakinkan kami agar berani membeli tanah tersebut. Optimisme Kiai Nashir tersebut karena beliau memiliki prinsip “Man akhada mala muslimin yuridu adaaha addahallahu ‘anhu. Barangsiapa mengambil (menghutang) harta orang lain dengan tujuan sungguh-sungguh akan kita bayar, Allah pasti akan melunasinya.” Ini adalah sabda Nabi SAW yang sering beliau sampaikan pada kami di beberapa kali obrolan. Dengan prinsip tersebut, betapapun kami sebetulnya tidak ada yang berani tapi Kiai Nashir optimis. Tidak hanya optimis, tapi beliau juga siap menjaminkan mobilnya, “kalau empat bulan tidak lunas, saya akan menjual mobil saya,” tutur Kiai Nashir.
Alhamdulillah, lanjut Kiai Anshori, di bulan ke tiga, kami sudah berhasil mengumpulkan uang 30 juta. Dan pada bulan ke empat kami bisa mengumpulkan uang 46 juta. Melampaui ekspektasi kami. Dan Alhamdulillahnya lagi, di tanah tersebut saat ini juga berdiri SD Islam dan SMP Islam. Itulah Kiai Nashir, seorang yang visioner. Memiliki pandangan jauh ke depan. Selain itu, sambung Kiai Anshori, kisah di atas sekaligus sebagai bukti bahwa optimisme dan semangatnya seringkali jauh melampaui kita semua.
Kiai Anshori juga menyitir dawuhnya Imam Sanusi dalam kitab Ummul Barahain, syarat seorang pemimpin itu ada empat, yaitu:
Pertama, seorang pemimpin harus memiliki pandangan mata hati yang cerdas dan diperkuat oleh Allah dengan pandangan hati yang tajam. Melihat persoalan dengan pandangan hati. Kiai Nashir memiliki kualitas ini.
Kemampuan ini terlihat di saat Kiai Nashir memilih seseorang untuk menjadi pengurus (di NU misalkan). Beliau memilih seseorang atas pertimbangan “suara langit”. Betapapun dalam pandangan orang lain, seseorang itu baik, tapi belum tentu disetujui Kiai Nashir. Inilah, menurut Kiai Anshori, yang disebut al-muayyadin min Allah bi nuril bashirah.
Kedua, tidak ada ikatan hati dengan harta benda yang sudah di tangan. Zuhud bukan karena tidak punya harta, tapi zuhud itu hatinya bisa lepas dari harta. Karakter ini juga dimiliki Kiai Nashir. Sebagai komisaris rumah sakit NU, beliau mendapat honorarium. Tapi beliau tolak. Dawuh Kiai Nashir, “Saya menjadi komisaris Rumah Sakit NU karena saya Rais Syuriah NU, maka yang berhak menerima adalah NU, bukan saya”. Itulah prinsip Kiai Nashir “al-zahidin fi hadza al-‘aradl al-hadir”.
Pemimpin seperti inilah yang akan membawa NU menjadi sukses. Maka tidak heran pada dua periode kepemimpinan Kiai Nashir di PCNU Kabupaten Jombang, NU bisa mendirikan rumah sakit dan kantor NU yang sangat besar. Hal itu karena persyaratan sebagai pemimpin ada pada Kiai Nashir.
Ketiga, kasih sayang pada orang miskin. Kiai Nashir juga memiliki karakter ini. Beliau berani berkorban. Dalam kegiatan NU misalkan, ada panitia yang kehilangan uang kepanitiaan dan Kiai Nashir tahu dia orang yang tidak mampu, betapapun Kiai Nashir tidak mengetahui apakah uang itu benar-benar hilang atau tidak, Kiai Nashir pasti langsung menggantinya.
Keempat, peduli kepada pendidikan orang-orang Islam yang miskin. Menurut Kiai Nashir, “Sebetulnya kita ini tidak punya kewajiban untuk mengajar anak-anak ke sana ke mari. Harusnya orang tuanya yang punya kewajiban mengajar, tapi karena orang tuanya tidak mampu maka kita yang punya kewajiban mengajar”. Lalu beliau beli tanah secara gotong royong di daerah Petengan untuk lokasi pendidikan masyarakat setempat.
Keempat persyaratan seorang pemimpin tersebut, dalam kesaksian Kiai Anshori, dimiliki Kiai Nashir sehingga beliau sukses memimpin PCNU Jombang, sukses memimpin MMA Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, sukses menjadi pengasuh Pondok Putra Bahrul Ulum dan pengasuh Pondok Putri al-Fathimiyyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, dan masih banyak lagi kebaikan-kebaikan Kiai Nashir lainnya yang terekam dalam ingatan Kiai Anshori, yang beliau paparkan dalam sambutan 4 hari wafatnya Kiai Nashir.
Di akhir sambutannya, Kiai Anshori sangat berharap akan ada penerus yang melanjutkan perjuangan dan visi Kiai Nashir, terutama dalam merawat dan mengasuh pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.
(Isnatin Ulfah, Mutakharrijat MMA dan Pondok Putri al-Fathimiyyah Bahrul Ulum Tambakberas Jombang1994)
Ed. ma