Dalam satu kesempatan, KH Abdul Nashir Fattah bercerita tentang masa-masa kecilnya. Sebelum panjang lebar mengisahkan masa kecilnya, terlebih dahulu, seperti menggaris bawahi, Kiai Nashir menyampaikan bahwa, beliau bukanlah tergolong anak yang memiliki kecerdasan yang cukup baik. Layaknya anak-anak pada umumnya, sifat nakal juga dimiliki oleh Kiai Nashir saat masih anak-anak. Bahkan kenakalannya melebihi kenakalan anak-anak sepentarannya dan pada masanya.
Saking nakalnya, serta secara pikiran tidak memiliki kecerdasan yang baik dalam belajar, masa sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Tambakberas dilalui cukup lama. Saat belajar di Madrasah Ibtidaiyah tersebut, Kai Nashir sempat tidak naik kelas sampai empat kali. Karena itu, saat kakak Kiai Nashir, Ibu Nyai Hj Lilik Fattah, naik kelas 6 Madrasah Muallimat 6 Tahun Tambakberas, Kiai Nashir masih kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah. Padahal usia Kiai Nashir dan kakak-nya hanya terpaut 2 (dua) tahun di atasnya. Madrasah Muallimat yang ditempuh mulai kelas 1 sampai kelas 6, saat itu menjadi satu-satunya Madrasah tempat anak-anak lulusan Madrasah Ibtidaiyah Tambakberas melanjutkan sekolah.
Disamping memiliki kenakalan dan kekurang cerdasan, Kiai Nashir sejak kecil juga tidak mahir dalam mengungkapkan sesuatu secara lisan. Bahkan sampai umur 8 tahun masih belum bisa membaca al Quran. Apalagi membaca mata pelajaran di Madrasah Ibtidaiyah. Pelajaran hafalan di Madrasah Ibtidaiyah sangat menyiksa, karena sulit dalam mengungkapkan dan menghafal. Lengkap sudah apa yang pernah dialami oleh Kiai Nashir saat masih kecil. Nakal, tidak cerdas dan sulit mengungkapkan secara lisan.
Saat kelas 5 di Madrasah Ibtidaiyah, dan sebelum tamat belajar di Madrasah Ibtidaiyah, Ayah Kiai Nashir, KH Abdul Fattah Hasyim, mengirimnya ke Pondok Pesantren Kajen Pati Jawa Tengah. Pesantren yang diasuh oleh kakak iparnya, KH MA Sahal Mahfudz. Namun sebelum pergi mondok di Kajen, Kiai Fattah mengirimnya mondok di Denanyar. Sebagai latihan, sebelum mondok jauh. Tetapi karena kenakalannya, mondok di Denanyar tidak menjadi tempat latihan. Di Pondok Pesantren Denanyar malah selalu bermain. Apalagi di Denanyar banyak saudara misannya, misalnya Abdul Mujib Sohib, Abdul Halim Iskandar dan lain-lain. Sehingga hari-hari di Denanyar dihabiskan untuk bermain, tidak menjadi ajang latihan.
Karena melihat kondisi seperti itu, Kiai Fattah mengirim Kiai Nashir yang sudah menginjak remaja, mondok di Kajen sebelum lulus Madrasah Ibtidaiyah. Saat di bangku kelas 5. Meskipun masih kelas 5, Kiai Nashir saat itu sudah berumur 16 tahun.
Di Kajen, Kiai Nashir remaja dipasrahkan ke kakak iparnya, KH MA Sahal Mahfudz, suami dari kakak kandung Kiai Nasir, Nyai Hj Nafisah Fattah. Dari sini terlihat bagaimana cemerlangnya Kiai Sahal mendidik santri, yang juga adiknya. Kiai Nashir remaja yang masih nakal, di awal-awal mondok, masih dituruti kemauannya oleh Kiai Sahal. Beberapa kali, Kiai Nashir ijin untuk nonton film di gedung bioskop yang ada di kota kecamatan Tayu. Padahal nonton film di bioskop saat itu adalah larangan besar dan hukumannya bagi anak pondok sangat berat. Yang dipegang Kiai Sahal, pertama-tama adalah kejujuran. Kemanapun pergi harus ijin dan tidak boleh bohong.
Namun, saat Kiai Sahal sudah melihat tanda-tanda bahwa, Kiai Nashir remaja sudah terlihat bisa dikendalikan, dan mau mengikuti apa yang disampaikan Kiai Sahal, maka Kiai Sahal mulai bertindak tegas. Saat itu, ketika Kiai Nashir minta ijin untuk nonton film di bioskop untuk yang kesekian kalinya, Kiai Sahal langsung mengatakan, “Sak karepmu dewe tah! (semaumu sendiri saja apa!)”. Saat itu juga nyali Kiai Nashir ciut dan merasa takut.
Dari sini, kondisi berubah 180 derajat. Nashir remaja yang sak karepe dewe (semaunya sendiri) berubah menjadi anak remaja yang penurut kepada Kiai Sahal, dan sangat menghormati. Ketekunan mulai dijalani. Sekolah di Madrasah Mathaliul Falah Kajen diikuti dengan rajin. Kiai Nashir yang memang memiliki kecerdasan yang terbatas, berupaya maksimal untuk menghafalkan semua pelajaran yang diikuti di kelas. Tantangan-tantangan yang diberikan Kiai Sahal, yang merangsang sehingga memompa untuk belajar diselesaikan. Tidak sekedar belajar, tetapi dengan ketekunan yang luar biasa.
Ketekunan ini diwujudkan dengan menghafalkan semua mata pelajaran di Madrasah. Satu demi satu mata pelajaran dihafalkan, mulai dari pelajaran Nahwu berupa bait Alfiyah Ibn Malik, pelajaran Sharaf berupa Nadhmul Maqsud, pelajaran Ushul Fiqh Nadhmul Waraqat, dan semua kitab pelajaran lainnya. Semua dihafalkan. Yang penting hafal dulu. Meskipun belum paham apa yang terkandung dalam kitab-kitab yang dihafalkan tersebut. Karena dari hafal ini, Kiai Nashir meyakini selanjutnya akan muncul paham.
Dari ketekunan ini, saat masih di Pondok Kajen, belum bisa dirasakan hasilnya. Namun saat selesai mondok di Kajen selama 6 tahun, dan pindah ke Pondok Pesantren Sarang Rembang, di bawah asuhan KH Maimun Zubair, ketekunan tersebut mulai dirasakan buahnya. Saat mengikuti kelas Musyawarah Kitab selama dua tahun di pondok tersebut, Kiai Nashir yang sudah menginjak dewasa tersebut mampu terlibat aktif dalam kelas Musyawarah Kitab. Semua pertanyaan mampu dijawab dengan baik, karena telah hafal semua, qaidah dan dalil-nya. Bisa mengalahkan peserta lainnya di kelas musyawarah kitab.
Dari sini bisa dipetik pelajaran bahwa, ketekunan akan mengalahkan kecerdasan. Ketekunan yang dijalani akan menghasilkan buah yang manis kelak di kemudian hari. Sebaliknya, kecerdasan, jika tidak dipupuk dengan baik, atau malah menimbulkan ketakaburan, maka akan menghasilkan buah yang pahit bagi kehidupan selanjutnya. (ma)