Satu pagi di ruang kantor Madrasah Muallimin, kami bersama dengan KH Abd Nashir Fattah. Pertemuan kami dengan Kiai Nashir di Madrasah Muallimin beberapa tahun belakangan sedikit inten, karena kami beberapa tahun ini mulai turut mengabdi di Madrasah dimana kami pernah belajar, dan saat ini Kiai Nashir duduk sebagai Kepala.
Pagi itu, sama seperti pada hari-hari sebelumnya, ketika kami bertemu dengan Kiai Nashir di kantor Madrasah, selalu kami sempatkan untuk berbicara. Berbagai tema kami haturkan dalam membuka pembiacaraan. Mulai masalah Jamiyah Nahdlatul Ulama, kemasyarakatan sampai masalah Madrasah. Niat kami membuka pembicaraan adalah untuk mencari hikmah. Karena setiap kali berbicara dan berdiskusi dengan Kiai Nashir selalu ada 'mutiara' yang bisa kami ambil.
Seperti halnya yang terjadi di pagi itu, kami membuka pembicaraan dengan menyampaikan pertanyaan, "apakah penjenengan sudah tahu bahwa, kemarin ada anak santri Pondok yang melakukan pelanggaran berat?".
Kiai Nashir menjawab, "belum... saya belum tahu".
Kemudian kami bercerita, "Semalam saya ke Pondok Induk Yai..., untuk mengajar di Madrasah Diniyah. Setelah mengajar, saya bertemu dengan salah satu pengurus Pondok. Dia cerita bahwa, ada 4 orang santri melakukan pelanggaran sangat berat tadi malam, dan akan disowankan ke pengasuh".
Sekali lagi Kiai Nashir menjawab, "belum... saya belum ketemu".
"Berarti semalam belum ketemu panjenengan", tanya kami dengan serius.
Selanjutnya kami menyampaikan, "Yai... kami sungguh sangat prihatin dengan kasus pelanggaran berat yang terjadi di area Pondok ini", sergah kami dengan penuh prihatin.
Dari ungkapan kami ini, kami berharap Kiai Nashir akan kaget dan secara spontan merespon dengan penuh semangat dan memberikan jalan keluar yang tegas. Namun harapan kami pupus, Kiai Nashir hanya menimpali dengan datar, dan berkata, "pelanggaran seperti itu sudah pernah terjadi, ini yang ketiga".
Lebih lanjut, Kiai Nashir bercerita saat dulu Kiai Fattah (KH Abdul Fattah Hasyim) menjadi pengasuh pondok, dalam melihat santri tidak hanya mengandalkan penglihatan dhohir, tetapi juga melalui kekuatan batin, yaitu dengan kekuatan firasat.
"Pernah satu ketika, ada orang tua dari tiga orang santri yang sowan ke Kiai Fattah dengan mengahturkan bahwa, dia tidak lagi mampu membiayai ketiga anaknya untuk terus mondok. Dia bermaksud untuk membawa pulang ketiga anaknya tersebut," kisahnya.
Selanjutnya Kiai Nashir mengatakan, "Setelah Kiai Fattah mendengarkan apa yang disampaikan orang tua santri tersebut, kemudian Kiai Fattah meminta kepadanya untuk membawa pulang dua dari tiga anaknya. Sedangkan satu orang anak diminta Kiai Fattah untuk tetap di pondok, dan segala biaya akan dipenuhi Kiai Fattah. Ternyata setelah sekian tahun dan satu orang yang ditinggalkan di pondok tersebut pulang ke rumah, dia mampu mengelola lembaga pendidikan yang besar ".
"Pernah juga, ada seorang santri, sangat nakal. Luar biasa nakalnya. Kesukaannya mencuri pakaian dalam santri putri. Sampai-sampai pengurus pondok, yang saat itu dipimpin KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tidak mampu lagi menangani. Kemudian disowankan ke Kiai Fattah. Harapan dari pengurus pondok, santri tersebut diusir dari pondok. Namun setelah disowankan, Kiai Fattah tidak mengusirnya. Kiai Fattah menyampaikan akan mendidiknya secara langsung. Beliau bilang: Aku ngerti arek iki nakal. Dipondokno iku kongkon ndadani. Wong durung dadi kok dibalekno. Wes kene tak tanganane dewe (Saya tahu anak ini nakal. Dipondokkan itu disuruh memperbaiki. Ini belum jadi kok dikembalikan. Sudah saya tangani sendiri). Ternyata di kemudian hari santri tersebut menjadi Kiai besar di daerahnya", sambung Kiai Nashir.
"Namun", lanjutnya.
"Ada banyak juga santri yang melakukan pelanggaran, yang kemudian diusir oleh Kiai Fattah, dan ternyata memang selanjutnya tidak terlihat kiprahnya di tengah-tengah masyarakat," katanya.
"Dari sini bisa kita ambil hikmah bahwasanya, dalam mendidik santri itu, kita tidak hanya mengandalkan mata dhohir saja, tetapi juga mata batin, yang akan mendatangkan firasat. Juga jika perlu melakukan istikharah," terangnya.
Di tengah Kiai Nashir cerita seperti itu, dengan penasaran kami bertanya, "Panjenengan juga menggunakan firasat Kiai?".
Sebelum menjawab, Kiai Nashir tertawa renyah, dan menjawab, "firasat itu tidak bisa direncanakan, datang dengan sendirinya". (ma)