Sebagaimana guru utamanya yang beliau sering katakan sebagai ‘syaikhina’ yakni KH M. A. Sahal Mahfuzh, Kiai Nashir juga adalah perokok berat. Dalam keadaan apapun rokok di tangan beliau seolah tidak pernah lepas. Fisik beliau yang kurus juga merepresentasikan hal tersebut. Kebiasaan ini boleh jadi datang dari -sebagaimana yang diriwayatkan oleh orang-orang terdekat beliau- bahwa beliau dalam keadaan bangunnya melakukan rutinitas membaca kitab-kitab agama hingga larut malam, entah diperuntukkan keperluan mengajar ataupun mencari solusi hukum dari berbagai permasalahan. Belum lagi kapasitas beliau dalam memimpin pondok pesantren, madrasah dan jam’iyyah yang mengharuskan beliau untuk hadir dalam rapat dan diskusi.
Kematangan ilmu Kiai Nashir dalam kitab-kitab agama seringkali direfleksikan dalam kebijakan-kebijakan konkrit. Sekitar tahun 2011 misalnya, penulis yang saat itu masih menjadi pengurus OSIS bersama dengan beberapa pengurus lain mencoba melakukan sebuah terobosan untuk membuat sebuah acara ke-NU-an yang akan diikuti siswa dan siswi bersamaan. Kiai Nashir yang saat itu menjabat Wakil Kepala Madrasah dengan tegas menolak usulan tersebut, kami yang sebenarnya sudah tahu jawaban yang akan didapat mencoba berargumen dan memberikan alasan-alasan yang kami anggap masuk akal tetapi beliau tidak bergeming sedikitpun karena bagaimanapun bagi beliau ikhtilath tidak akan terhindarkan.
Sekitar tahun 2013 dalam persiapan pendaftaran santri baru, Kiai Nashir lah yang pertama kali menyampaikan usulan mengenai adanya item penyewaan almari dalam komponen biaya tahunan santri. Hal ini didasarkan bahwa pada kenyataannya memang santri ‘menyewa’ penggunaan almari yang disediakan oleh pondok, selaras dengan tuntutan beliau kepada pengurus selaku ‘yang menyewakan’ agar melakukan controling berkala terhadap almari yang tersedia, kalau rusak segera diganti, kalau kurang ditambah.
Gambaran sepintas tentang cara kerja aktualisasi kitab-kitab agama yang dianut oleh Kiai Nashir terlihat kaku karena menilai sebuah kenyataan dengan sudut pandang kasuistik melalui ta’bir kitab yang sudah tersedia. Seakan-akan apabila cara kerja semacam ini terus digunakan ia akan menolak segala perubahan dan kedinamisan hidup yang membutuhkan solusi yang akomodatif.
Anehnya, Kiai Nashir memiliki sikap yang agak berbeda terhadap pengembangan kitab-kitab agama itu sendiri. Kitab-kitab agama yang didominasi kitab kuning seringkali identik dengan watak pondok pesantren yang tradisional dan stagnan. Pendapat ini patut menjadi perhatian bersama melihat perjalanan kitab kuning yang memanglah sebuah kitab ditulis yang di atas kertas kuning, tidak berjilid (dibagi dalam beberapa halaman yang dinamai kurasan) dan lay outnya yang unik. Isi setiap halaman dipenuhi garis empat persegi panjang dengan teks utama (matan) diletakkan di luar persegi panjang sedangkan komentar atas teks utama (syarh) yang berada di dalamnya. Anggapan stagnansi ini dapat dilihat dalam hal isi materi kitab kuning yang kebanyakan bersifat pengulangan dari ulasan ulama terdahulu atas berbagai disiplin ilmu dan bersifat deskriptif belaka dimana kesimpulan hukum ditarik dari firman Allah, sabda Nabi dan pendapat ulama. Belum lagi, menghadapi sensitifitas sebagian stakeholeder pondok pesantren yang beranggapan bahwa menghadirkan kitab baru merupakan gambaran sikap kurang hormat atas karya-karya ulama terdahulu.
Mula-mula Kiai Nashir menerima usulan didirikannya sebuah lembaga penerbitan di madrasah. Awal hasil terbitannya adalah kitab Manhajut Thullab dan Tafsir Jalalain yang dibuat dengan mode renggang dengan tujuan memudahkan siswa pemula dalam memaknai kitab dan mengurangi kemubadziran kitab kuning kurasan yang berserakan di berbagai sudut madrasah. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan buku ajar untuk mata pelajaran yang selama ini hanya mengandalkan metode guru yang turun-temurun diwariskan semacam pego, tahajji, i’rob dan sebagainya. Pengembangan dari segi kualitas pun semakin tak terelakkan dimana para kiai dan guru di madrasah kemudian tergerak untuk memperluas isi dari materi kitab kuning yang telah tersedia semacam kitab Tsamrat Al-Fikr Al-Marshun (penjelasan atas kitab Al-Jauhar Al-Maknun) dan Al-‘Alam Al-Isyraqi (penjelasan atas kitab As-Sullam Al-Munaawraq) dan sebagainya.
Apa yang menggerakkan Kiai Nashir menerima hal semacam ini? Bagaimana kiai yang sering dibuat bingung dengan kosakata bahasa Inggris ini mencapai kebijaksanaan seperti yang dijelaskan di atas? Dan apa yang membuat beliau berani berdiri paling depan membawa panji pembaharuan kitab kuning ini bahkan hingga menuliskan sendiri pengantar atas kitab-kitab yang telah diterbitkan?
Kalau diperkenankan menjawab maka penulis akan mengatakan bahwa jawabannya adalah isi dalam kitab kuning itu sendiri. Bukankah dalam banyak muqaddimahnya, fiqih didefiniskan sebagai ilmu yang al-Muktasab, ilmu yang digali terus-menerus? Bukankah dalam literatur hadits sering disampaikan bahwa di antara peninggalan manusia yang akan terus diterima pahalanya adalah ilmu yang bermanfaat? Bukankan kaidah fiqh menyatakan bahwa ibadah yang bersifat kontinyu lebih utama daripada ibadah yang sifatnya stagnan? Benar sekali, Kiai Nashir hanya sedang membaca kitab kuning dalam arti yang lebih luas.
Oleh : Robi Pebrian