Tanggal 10 Dzul Hijjah adalah Hari Besar bagi seluruh ummat muslim di seluruh pelosok dunia, hari bersejarah bagi ummat manusia yakni hari Raya Idul Akbar/Idul Qurban.
Berkaitan dengan Hari Raya Qurban, kita dalam Islam merujuk lebih banyak pada nabi Ibrahim daripada pada Adam. Agama-agama samawi (langit): Yahudi, Nasrani, Islam, ajarannya lebih banyak dikaitkan pada nabi Ibrahim, begitu juga kita di Islam, ibadah kurban dan haji lebih banyak dikaitkan pada nabi Ibrahim. Mengapa? Karena nabi Ibrahim punya keistimewaan luar biasa yang tidak dimiliki oleh yang lain.
Nabi Ibrahim itu adalah nabi yang mengumandangkan pada umatnya bahwa Tuhan yang disembah itu adalah Rabul alamin, Tuhan sekalian alam, berbeda dari nabi lainnya yang memperkenalkan Tuhan pada umatnya sebagai “Tuhan Kami”.
Nabi Ibrahim juga dijelaskan dalam Al Quran, bahwa beliau memiliki hati yang sangat halus, sangat lembut.
Sampai-sampai ada yang berkata, nama Ibrahim itu terambil dalam kata abun rahim, ayah yang sangat pengasih. Allah berfirman:
(إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ)
Nabi Ibrahim juga sangat mengasihi sesama manusia. Kalau ada tamu berkunjung, selalu disambut dengan luar biasa. Dengan sembunyi-sembunyi, Nabi Ibrahim memberi tahu keluarganya untuk membuatkan makanan dan minuman untuk tamu yang sedang berkunjung. Kenapa sembunyi-sembunyi? Karena ia khawatir, kalau tamunya tahu akan merasa sungkan dan menolak jamuan. Kalau sang tamu pamit pulang, Nabi Ibrahim tidak mengantarnya sampai ke pintu keluar, tapi diantar sampai jauh ke luar rumah, begitu hormatnya dia pada tamu.
Karena hormatnya nabi Ibrahim pada sesama itu, Allah memerintahkan larangan pada kebiasaan manusia untuk mengorbankan manusia lain melalui Ibrahim. Di jaman dulu, ada sebagian orang yang mengorbankan manusia sebagai persembahan kepada ‘Tuhan’ mereka atau dewa-dewa mereka.
Ada yang mengorbankan nyawa gadis cantik setiap tahun, ada juga mengorbankan tokoh agamanya yang paling hebat, dan ada yang mengorbankan bayi, dan Allah melarang hal-hal itu. Pada Nabi Ibrahim, Allah berkata, “Ibrahim, sembelih anakmu!” Lalu, meskipun berat hati, mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih anak yang sangat disayanginya, akhirnya patuhlah Ibrahim. Ia percaya bahwa Allah mengetahui yang baik dan pasti memiliki maksud yang baik padanya. Allah berfirman:
Setelah Nabi Ibrahim menunjukkan kepatuhannya pada perintah Allah, Allah kemudian melarangnya, dan membuat Ibrahim menyembelih hewan ternak, hingga anak Ibrahim tetap selamat. Dari kejadian itu, Allah ingin menunjukkan pada manusia bahwa pengorbanan manusia itu adalah hal yang terlarang. Untuk itu semua, kita lantas beridul Adha mengikuti Nabi Ibrahim, untuk menauladani Nabi Ibrahim yang memiliki keimanan yang luar biasa pada Allah. Karena itu turunlah perintah berqurban dengan menyembelih binatang qurban, seperti kambing, domba, sapi, unta.
Tapi syaratnya, qurban yang diberikan harus yang sempurna, dan dengan hati yang sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah.
B. Mengapa Allah Memerintahkan Nabi Ibrahim Menyembelih Nabi Ismail?
Kenapa Allah menyuruh Nabi Ibrahim menyembelih nabi Ismail dan tidak langsung menyuruhnya menyembelih domba?
Pertama, Allah Maha Mengetahui, tapi Allah inign menunjukan pada manusia betapa hebatnya keimanan seorang manusia bernama Ibrahim ini, dengan diuji-Nya Ibrahim dengan ujian yang luar biasa beratnya. Anda bisa bayangkan, anak ditunggu sekian lama, dari istrinya yang telah bertahun-tahun mandul, akhirnya diberikan anak.
Ketika anaknya lahir, dan sudah besar, harapan Ibrahim tentu untuk menjadikan anaknya sebagai penerusnya, namun tiba-tiba mendapat perintah untuk disembelih dengan tangannya sendiri, itu adalah puncak dari pengorbanan seorang manusia.
Hal ini untuk menunjukkan bahwa tokoh ini memiliki sifat-sifat yang luar biasa.
Kedua, ada orang-orang yang berpendapat, bahwa menyembelih anak sebagai persembahan pada tuhan adalah hal yang terlalu mahal, terlalu berharga. Mereka berpendapat, jangan anaklah, yang lebih murah saja dari anak. Allah bermaksud memerintahkan menyembelih Nabi Ismail putra Nabi Ibrahim untuk membantah mereka yang berkata tadi, bahwa anak yang paling anda cintaipun kalau Allah yang perintahkan anda harus laksanakan.
Setelah Nabi Ibrahim membuktikan kepatuhannya pada Allah, Allah membatalkannya dan menggantinya dengan kambing. Hal ini memiliki maksud untuk menunjukkan pada seluruh umat manusia, bahwa manusia tidak boleh menjadi korban persembahan atau dikorbankan.
Jadi dari perintah ini ada dua sisi, pertama, apapun kalau Allah yang perintahkan, apapun itu walaupun anda sangat cintai, kita harus korbankan. Tapi kedua, Allah juga ingin mengatakan bahwa jangan jadikan manusia sebagai korban. Jadi sebenarnya dalam ajaran berkorban itu berkorbanlah untuk Allah SWT dan berkorbanlah sesempurna mungkin.
Ada juga yang berkata, dari berkorban dengan menyembelih binatang korban ini memiliki makna korbankanlah sifat-sifat atau naluri kebinatangan yang ada di dalam diri anda.
C. Makna Qurban
Korban dalam bahasa Indonesia ada dua makna: seseorang yang disakiti, bisa jadi hatinya atau badannya. Korban juga berarti ketulusan, persembahan. Persembahan kepada siapapun, apalagi kepada Allah, tidak bisa kalau tidak disertai dengan ketulusan.
Orang yang dikorbankan mestinya menimbulkan rasa sedih di hati kita, tapi kesedihan itu baru muncul kalau hati kita lembut, kalau hati keras, tidak ada rasa peduli. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia diartikan dengan ketulusan, pengabdian, atau yang disakiti, yang dikorbankan.
Dalam bahasa Al Quran, pengertian korban bukan dalam arti yang disakiti, tapi korban lebih banyak diartikan sebagai persembahan. Qurb itu artinya dekat, sesuatu yang berharga kita persembahkan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah, itulah kurban.
Dalam Idul Adha, memang ada kata yang juga diartikan korban terambil dalam kata adha ini. Karena itu tadi, seorang atau sesuatu yang terlukai itu mestinya menimbulkan rasa iba kepadanya dan pada akhirnya anda akan merasakan sakit sebagaimana sakitnya yang dikorbankan, itu pengertian kebahasaan dari korban.
Dalam Al Quran, diceritakan bahwa dua putra Nabi Adam, Qabil dan Habil mempersembahkan hasil usahanya, kepada Tuhan. Yang satu diterima, yang satu tidak. Dijelaskan bahwa yang diterima Allah adalah kurban yang baik, yaitu kurban yang diberikan Habil.
Tapi dari persembahan yang diberikan Habil, Allah tidak menerima daging korban, tidak juga menerima darahnya. Yang diterima Allah dari kurban yang diberikan manusia adalah ketulusan hati dan ketakwaan yang memberikan. Allah berfirman:
Berkaitan dengan hati, Rasul menunjuk bahwa taqwa itu adanya di hati. Karena itu, disyariatkannya Idul Adha dengan mengorbankan, dengan menyembelih binatang tertentu itu sebenarnya adalah qurban untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, dan yang diterima-Nya itu bukan daging atau darah qurbannya tapi ketulusan hati yang memberikan. Karena itu bisa jadi satu orang mempersembahkan satu kambing, yang lain kerbau yang besar, tapi yang diterima kurbannya adalah yang memberikan kambing, karena Allah tidak memandang besar atau kecilnya qurbannya, tapi ketulusan hati masing-masing hamba-Nya dalam berkurban. Allah berfirman:
Agama Islam ini sangat realistis, dalam perintah berqurban, yaitu menyembelih hewan qurban, kita tidak diperintahkan untuk mempersembahkan semua bagian dari binatang yang disembelih, tapi kita juga boleh berpikir tentang diri kita. Dari hewan yang kita kurbankan, diperintahkan bahwa 1/3 bagiannya menjadi bagian untuk kita dan keluarga, dan 2/3 dibagi lagi: 1/3 untuk orang yang membutuhkan, yaitu orang-orang dhuafa, dan , 1/3 lagi untuk orang yang tidak butuh dan sebenarnya mampu, boleh jadi saudara atau teman, dalam rangka menjalin hubungan yang lebih harmonis. Nilai-nilai itulah yang terdapat dalam ibadah kurban.
Ketika kita bicara idul Adha dan Nabi Ibrahim, kita bisa berkata bahwa inti yang dikehendaki dari Hari Raya Qurban ini, yang pertama adalah mendidik kita untuk bersedia berkorban. Kita bisa bertanya sekrang, perlukah manusia berkorban? Kenapa kita harus berkorban?
Pertama, kita manusia adalah satu kesatuan, karena kita tercipta dari unsur yang sama, berasal dari kakek yang sama, dari Adam.
Jadi karena manusia itu satu kesatuan, dia harus berjalan seiring untuk mencapai cita-cita kemanusiaan. Karena itu Al Quran mengingatkan, siapa yang merusak satu orang, atau melakukan pengerusakan di muka bumi ini, maka dia bagaikan merusak semua orang, karena manusia adalah satu kesatuan, kita semua bersaudara, dari keturunan yang sama, dan pada saudara, harus kita membantu sebelum dia minta, dan harus ikut merasakan apa yang dia rasakan.
Kedua, kenapa kita harus berkorban? Secara individu orang per orang memiliki kebutuhan. Misalnya, saya tidak bisa memenuhi semua kebutuhan saya tanpa anda bantu, begitu juga sebaliknya.
Kita ini makhluk sosial, tapi semua individu punya ego. Contohnya seperti dalam berlalu lintas, kita semua memiliki keinginan yang sama, yaitu ingin cepat sampai ke tujuan, atau misalnya rumah. Tapi kalau satu sama lain tidak ada yang mau mengalah, bisa terjadi kecelakaan, tabrakan. Misalnya, di persimpangan jalan, kalau semua orang mendahulukan kepentingannya masing-masing, ingin cepat sampai sendiri, dan tidak ada yang mau berhenti dengan mengikuti rambu dari lampu lalu lintas, justru hal itu dapat menghambat dan bisa jadi mencelakakan diri sendiri dan orang lain.
Karena itu, masing-masing orang harus mengorbankan sedikit waktunya untuk bersabar, menunggu gilirannya untuk jalan, dan tidak mendahulukan kepentingannya sendiri. Jadi masing-masing individu mau berkorban sedikit atau banyak, bukan untuk orang lain, tapi juga untuk dirinya sendiri. Semakin banyak kita berkorban, semakin lancar lalu lintas.
Begitu juga dengan lalu lintas kehidupan, dan korban itulah menyisihkan sebagian dari kepentingan ego diri sendiri, untuk orang lain, itulah yang akan melahirkan akhlak. Allah berfirman:
Qurban makna asasnya adalah persembahan terbaik yang diniatkan untk lebih mendekatkan diri kpd Allah. Sehingga hewan yg dikurbankankan haruslah yg terbaik menurut syar'i, penyembelihannya tdk menyakiti. Ibadah qurban mengajarkan menjunjung tinggi kehormatan manusia yg tdk patut dikorbankan, menanggalkan sifat egois kebinatangan sehingga melahirkan akhlaq luhur.
Berqurban tanpa didasari nilai-nilai ajaran semacam ini jauh dari tujuan berqurban itu sendiri yaitu TAQWA. Hanya taqwa yang sampai kpda Allah bkn hewan qurban yg disembelihnya.
Jadi kepentingan kita sendirilah sebenarnya yang mengundang kita untuk berkorban. Jadi dari korban itu yang dinilai Tuhan adalah ketulusan, semakin banyak berkorban dengan ketulusan, semakin tinggi akhlak, semakin sedikit berkorban, semakin sedikit akhlak. Kalau pengorbanan itu sudah tidak ada, akhlak tidak ada, kalau akhlak tidak ada, runtuhlah masyarakat. Itu substansinya dari Hari Raya Qurban, kita diminta berkurban demi orang lain, demi masyarakat, yang kebaikannya juga akan kembali kepada kita.
E. Apa makna pengorbanan dalam Islam?
Sementara pengorbanan itu untuk orang lain, kepentingan kita itu ada di mana?
Banyak yang salah paham, jangan pernah menduga ketika anda memberi anda tidak mendapat sesuatu.
Perumpamaannya seperti, ketika kita mengulurkan tangan pada orang, bukan hanya tangan orang lain itu yang menyentuh tangan kita, tapi sebenarnya tangan kita juga menyentuh tangannya.
Kalau kita memberi sesuatu dengan tulus pada orang lain, hal itu bisa memberikan kita kepuasan yang luar biasa.
Contoh lain adalah ada seorang kaya tidak jarang dia memberi uang berjuta-juta rupiah pada orang-orang di sekelilingnya, Tapi pernah suatu ketika, dia sedang berada di dalam perjalanan, dan melihat ada orang tua miskin.
Lalu dia turun dan memberikan beberapa ratus ribu rupiah pada orang tersebut. Kemudian, dia merasa hatinya luar biasa sangat bahagia setelah memberikan uang beberapa ratus ribu pada orang tua itu. Jauh lebih bahagia daripada ketika ia biasanya memberi puluhan juta pada orang-orang lain di sekelilingnya. Hal ini mungkin juga dikarenakan selama ini ia memberikan berjuta-juta pada orang-orang tersebut dengan kurang tulus, dan ada maksud lain. Jadi ketulusanlah yang jauh lebih berarti daripada jumlah yang kita berikan atau korbankan.
F. Simpulan
1. Idul Adha atau hari Raya Qurban, tujuannya mengingatkan manusia tentang perlunya berkorban, karena manusia, sebagai masyarakat tidak dapat tegak tanpa kesediaan berkorban.
2. korban Idul Adha itu dinamai Qurban karena kelembutan hati orang yang berkorban, dan kelembutan hati itu dibuktikan oleh ketulusan yang memberi. Qurban adalah manifestasi dari rasa iba anda melihat orang lain. Atau dalam bahasa yang lebih umum “Rahmat”, yang bermakna kasih, dan Agama ini intinya adalah Rahmatan lil Alamin, rahmat atau kasih bagi seluruh alam.
3. Qurban makna asasnya adalah persembahan terbaik yang diniatkan untk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga hewan yg dikurbankankan haruslah yg terbaik menurut syar'i, penyembelihannya tdk menyakiti. Ibadah qurban mengajarkan menjunjung tinggi kehormatan manusia yg tdk patut dikorbankan, menanggalkan sifat egois kebinatangan sehingga melahirkan akhlaq luhur. Berqurban tanpa didasari nilai2 ajaran semacam ini jauh dari tujuan berqurban itu sendiri yaitu TAQWA. Hanya taqwa yang sampai kpda Allah bkn hewan qurban yg disembelihnya
4. Rahmat itu keperihan hati, yang mendorong orang yang perih itu untuk mengurangi ketidakberdayaan orang lain itu setelah melihat ketidakberdayaan orang lain. Dan jika dorongan itu semakin besar, semakin banyak pengorbanan yang diberikan, atau pemberiannya pada orang lain. Tanpa kesediaan berkorban tidak ada akhlak, tanpa akhlak manusia runtuh. Karena krisis yang dihadapi masyarakat yang tidak berakhlak, menjadikan mereka menggunakan krisis itu menjauh dari pengorbanan, tapi untuk keuntungan diri sendiri, lahirlah budaya mumpung, mencari kesempatan dari krisis.
5. Disyariatkanya qurban ini merujuk pada nabi Ibrahim, yang bersedia menuruti perintah Allah untuk mengorbankan anaknya sendiri, tapi kemudian Allah melarang mengorbankan manusia, walaupun di saat yang sama, manusia harus sadar bahwa tidak ada yang mahal untuk Allah. Ibrahim adalah tokoh yang menghimpun sekian banyak keistimewaan, karena itu ada ibadah haji yang digunakan untuk kita meneladani nabi Ibrahim.
Penulis: Ahmad Musyaffa', M.Pdi, Guru Madrasah Muallimin Muallimat