Mengenang 2 Tahun berpulangnya pendidik jiwa, KH Abdul Nashir Fattah, ada satu peristiwa kecil, dalam lingkungan kecil, tapi memiliki makna yang begitu besar, yang terjadi saat bersama beliau. Peristiwa dengan Kiai Nashir ini perlu kami tuliskan sebagai bentuk muhasabah, agar perjalanan sisa hidup di dunia, yang tidak lama ini, terhindar dari hal-hal yang dibenci Sang Maha Pengasih.
Satu waktu kami dipanggil Kiai Nashir. Seperti biasa, melalui pesan di hand phone, beliau saat memanggil tidak dengan nada memaksa. "Sampeyan gak repot?", atau dengan bahasa lain, "sampeyan longgar"?.
Jika tidak ada hal yang betul-betul tidak bisa kami tinggalkan, pasti kami menjawab melalui pesan juga, "nggih yai, saget (iya yai, bisa). Saat itu, beliau membalas, "iso nang ndalemě romo yai? (Bisa datang ke rumah romo yai?)". Romo yai yang dimaksud adalah bapak H. Anshori Anwar. Itu panggilan guyonan Kiai Nashir saat manggil Pak Anshori.
Begitu kami sampai di ndalem-nya Pak Anshori, di sana sudah ada Kiai Nashir dan Gus Edi Labib. Pertemuan semacam ini terjadi berkali-kali, berdiskusi berbagai hal. Mulai dari tentang Lazisnu, NU Jombang, pondok, sampai hal-hal yang sifatnya pribadi.
Setelah diskusi tentang NU Tambakberas dan rencana-rencana tentang lembaga pendidikan di dusun Petengan Tambakberas, Kiai Nashir cerita tentang abahnya, KH Abdul Fattah Hasyim. Bahwa, Kiai Fattah dulu itu rajin berkunjung ke alumni-alumni untuk menyemangati dan membimbing para alumni yang sudah berkiprah di masyarakat.
Menurut Kiai Nashir, Kiai Fattah setiap waktu jika longgar menyempatkan untuk mengunjungi alumni yang tersebar di Malang, Pasuruan bahkan sampai Banyuwangi. Kalau ke barat sampai Banyumas. Kalau ke satu daerah, Kiai Fattah mampir ke setiap alumni yang ada di daerah tersebut, dan setiap kali mampir ke rumah alumni pasti disuguhi makan, dan untuk menghormati tuan rumah, Kiai Fattah selalu menikmati hidangan yang disuguhkan tuan rumah.
Setelah Kiai Nashir bercerita lama, dan begitu berhenti, kami menimpali, "alumni itu senang jika Kiai-nya bisa berkunjung ke rumahnya. Tentu para alumni berharap terus mendapat bimbingan". Selanjutnya kami dengan nada bertanya, "jenengan nggih saget kados ngoten? (panjenengan bisa seperti itu?)
"Aku iku ora koyok Kiai Fattah secara fisik. Kiai Fattah itu secara fisik kuat, dadi kuat lungo-lungo adoh masio waktu iku ora ono kendaraan dewe (aku itu tidak seperti Kiai Fattah sscara fisik. Kiai Fattah itu secara fisik kuat. Jadi kuat untuk bepergian jauh. Walaupun belum ada kendaraan sendiri)", jawab beliau.
"Disamping iku aku ora nduwe ilmu sing bolak balik mangan tapi gak iso warek koyok Kiai Fattah. Soale tiap berkunjung mesti dike'i mangan (disamping itu saya tidak punya ilmu berkali-kali makan tapi tidak bisa kenyang seperti Kiai Fattah. Karena tiap berkunjung mesti disuguhi makan)", lanjutnya sambil tertawa lebar, yang kami sambut dengan tertawa bersama.
Yang paling mencengangkan bagi kami adalah saat beliau melenjutkan apa yang dirasakan. Karena beliau menyampaikan bahwa, belum bisa untuk tidak thoma' (berharap pemberian) saat berkunjung ke alumni. "Aku lek medayo utowo silaturrahim nang alumni, sik ora iso ngilangno ati thoma’ (saya kalau bertamu atau silaturrahim ke alumni masih tidak bisa menghilangkan hati thoma')", kata beliau.
Masyaallah... dalam hati kami bergumam. Kiai Nashir ini... untuk hal sekecil itu saja sangat hati-hati. Padahal itu perkara yang sangat sirri (rahasia hati). Rasa thoma’ sangat bisa untuk tidak diwujudkan. Kalau tidak diwujudkan dalam kata-kata atau dalam ekspresi tentu tidak ada orang yang tahu. Tapi Kiai Nashir untuk hal seperti itu, perkara sirri tapi memang menjadi penyakit hati, sangat berhati-hati, dan berusaha untuk menjauhi.
Bagi kami, Kiai Nashir memang memiliki rekam jejak sebagai Kiai yang sekuat tenaga untuk menjauhi hal-hal yang bersifat syubhat, apalagi yang haram. Sikap menjauhi kesyubhatan tersebut tidak hanya dalam ekonomi, bahkan dalam sosial budaya dan politik.
Pertemuan malam itu, seperti biasa. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya di ndalem Pak Anshori diakhiri dengan makan bersama. (Alba)