Oleh: Robi Pebrian, ME (Guru Madrasah Muallimin Muallimat)
Kedua, isyarot an-nash yakni interpretasi teks atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung oleh teks tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diungkapkan. Mudahnya, isyarot an-nash itu ialah apa yang didasarkan atas arti tersirat, bukan atas dasar yang tersurat.
Apabila santri mau meningkatkan level pemahamannya menjadi lebih baik, mereka dapat menggunakan cara ini sebagai salah satu sarana guna mendapatkan pemahaman yang utuh atas sebuah teks. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah, ayat 233:
وَعَـلَى الْمَوْلُوْدِ لَــهُ رِزْقُــهُـنَّ وَكِـسْـوَتُهُـنَّ بِالْمَعْـرُوْفِ …
“Dan kewajiban ayah/suami adalah memberi nafkah dan pakaian dengan layak kepada isteri …”
Secara ibarot an-nash, pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah tentang kewajiban seorang ayah atau suami dalam mengayomi anak dan istrinya berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (ma’ruf).
Namun, bahwa ungkapan tersirat dalam “المولود لـه” yang diartikan dengan ayah sebagai pengganti kata “الأب” dalam ayat di atas tentu saja mengandung pemahaman lebih. Dalam interpretasi ibarot an-nash tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang kebanyakan.
Ungkapan “المولود له” terdiri dua unsur kata, yaitu “المولود” yang arti dasarnya adalah anak yang dilahirkan, dan kata “له” yang berarti “untuknya” dan, kata gandengan “له” itu sendiri yang dimaksudkan di sini sebagai ayah.
Sehingga ungkapan “المولود له” juga memiliki arti “anak untuk ayah”. Hal ini yang kemudian berimplikasi pada ketentuan yang lain semisal bahwa, anak-anak yang lahir harus dinasabkan kepada ayahnya, bukan kepada ibunya. Pemahaman yang disebut terakhir ini merupakan “isyarat” yang hanya dapat ditangkap di balik susunan teks.
Ketiga, dilaalat an-nash, yakni interpretasi teks atas suatu ketentuan hukum yang berdasarkan petunjuk lafal, dalam bahasa yang sederhana adalah interpretasi teks berdasarkan ruh dan spirit teks yang disebutkan.
Perlu diketahui bahwa suatu teks juga berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara yang disebutkan dan yang tidak disebutkan terdapat pertautan yang dinamakan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.
Contoh dapat dilihat dalam surat al-Isra’ ayat 23 berikut ini:
فَلأَ تَـقُـلْ لَــهُـمَا أُ فٍّ وَلَا تَـنْـهَرْهُـمَا..
“Maka janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka berdua…”
Dari ayat ini dapat dipahami dengan mudah bahwa kita dilarang mengucapkan kata “ah” dan menghardik kedua orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan kita.
Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah menyakiti perasaan kedua orang tua. Yang harus kita pegang adalah bahwa menyakiti perasaan orang tua ini merupakan ruh dan spirit yang ingin disampaikan oleh ayat tersebut.
Kemudian ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan, misalnya memukul atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya yang pada dasarnya membawa akibat yang sama, yaitu menyakiti orang tua, baik perasaan maupun fisik.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa, apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan, selain ucapan “ah” atau hardikan yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah SWT.
Keempat, iqtidho' an-nash yakni interpretasi teks atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan dan justru sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan tersebut. Dari definisi ini dapat dipahami bahwa interpretasi teks atas suatu ketentuan hukum baru bisa dipahami secara jelas apabila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks tersebut.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah, ayat 3 berikut ini:
حُـرِّمَتْ عَـلَيْـكُمُ الْـمَـيْـتَــةَ وَالدَّمَ وَلَحْـمَ الْـخِـنْـزُيْـرِ…
“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi…”
Pengertian ayat ini dianggap masih belum memberikan pemahaman yang jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini yang dimaksud adalah “Diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi.
Keempat cara interpretasi atas teks ini merupakan gagasan dari madzhab Hanafiyyah dalam rangka membongkar banyak makna dari suatu teks. Di zaman salafussholih, hal ini dilakukan dalam konteks fan ilmu ushul fiqh, artinya yang dibaca dan diinterpretasikan oleh ‘ulama dan para cendekiawan adalah teks Al-Qur’an dan Sunnah sehingga menjadi sebuah ketentuan-ketentuan fiqh yang saat ini berlaku.
Seyogyanya bagi kita (yang terlanjur mengaku sebagai santri), sebagai pewaris ‘ulama harus bisa melanjutkan cara interpretasi seperti ini, namun yang lebih relevan saat ini adalah dalam konteks membaca teks-teks keilmuan yang tersedia.
Tujuannya adalah agar mengahasilkan inovasi dan problem solving atas persoalan kehidupan saat ini, lebih-lebih tulisan ini sedang membahas tentang peradaban Islam bukan?
*Tulisan ini juga dimuat dalam Majalah Kharisma tahun 2023
Editor: ma