Oleh: Robi Pebrian, ME (Guru Madrasah Muallimin Muallimat)
Saat datang ke ruangan saya waktu itu, dua orang staf redaksi majalah Kharisma (majalah kebanggaan Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul 'Ulum) membawa kata 'peradaban' seolah menenteng mainan yoyo di tangannya, seperti peradaban itu adalah sesuatu yang bisa ditarik-ulur ke atas dan ke bawah sesuka hati.
Walaupun apabila melihat sudut pandang bahwa keduanya sama-sama bersifat lentur nan dinamis akhirnya cara mereka menenteng kata 'peradaban' ini menjadi termaafkan.
Saya meyakini bahwa agama Islam, setidaknya nilai dan ajarannya adalah ‘sel yang hidup’, yang berkembang dalam denyut nadi kehidupan manusia. Bukan agama ‘patung’ yang pemahatannya selesai begitu saja ketika Nabi Muhammad Saw wafat ratusan tahun yang lalu.
Mendudukkan pemahaman seperti ini menjadi sebuah konsensus bersama tentu saja hal yang mustahil, namun setidaknya hal itu yang kemudian membantu saya mengkonfirmasi definisi peradaban menjadi lebih mudah.
Dalam kitabnya yang tersohor yakni Al Muqaddimah, Ibnu Kholdun mengungkapkan bahwa peradaban adalah Al 'Umron Al Basyariy (naluri kemanusiaan). Artinya setiap manusia memiliki kecenderungan untuk beradab, menyatu dengan warna-warni kehidupan demi keberlangsungan hidupnya. Dulu manusia merasa cukup dengan istilah 4 sehat 5 sempurna guna memenuhi kebutuhan gizinya, namun saat ini ada faktor eksternal lain yang sebagian telah menjadi keharusan seperti review foto/video dan tempat instagramable.
Agar tulisan ini bisa dilanjutkan untuk dibaca dan menjadi lebih kontekstual, mari kita turunkan standar pemahaman kita akan peradaban agama Islam tadi, menjadi pemahaman dalam lingkup yang lebih kecil yakni pesantren. Menurut Abdurrahman Wahid, dengan pola kehidupan yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri.
Dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan kultural yang relatif lebih kuat daripada masyarakat sekitarnya, kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya.
Menurut Yasmadi, pesantren harus memiliki lima elemen pokok yaitu: kiai, santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab. Kelima elemen tersebut harus bersatu padu agar keberlangsungan pesantren dapat sesuai dengan yang dicita-citakan. Oleh karena mayoritas pembaca tulisan ini adalah santri yang masih tinggal di pesantren, maka saya mencoba memberikan tawaran kepada mereka dalam konteks interpretasi sebuah teks (Al Qur'an, Sunnah dan kitab kuning, bahkan kitab putih) sebagai usaha turut serta mengisi peradaban Islam.
Tawaran ini juga merespon keresahan yang dulu pernah diutarakan oleh Kiai Nashir (kepala Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul 'Ulum kedelapan) bahwa salah satu di antara tantangan santri saat ini adalah cara mereka dalam memahami dan menarik makna dari sebuah teks, menurut beliau sebenarnya para santri telah mampu mengeja dan membaca teks dengan benar namun belum sampai pada pada tataran pengolahan informasi agar menjadi sebuah kesimpulan yang tepat.
Berikut ini tawarannya:
Pertama, ibarot an-nash yakni interpretasi teks kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh teks itu sendiri. Interpretasi semacam ini adalah yang lazim digunakan santri dalam memahami sebuah teks, dalam bahasa yang lebih mudah yakni santri menerjemahkan dengan apa adanya teks tersebut. Cara semacam ini mungkin terlihat efektif namun belum memberikan pemahaman yang utuh sehingga kesimpulan yang didapatkan masih sebatas permukaan saja. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 275 berikut ini.
وَاَحَـلَّ اللهُ الْبَــيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا …
Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dengan menginterpretasi teks ayat tersebut menggunakan cara ibarot an-nash setidaknya ada dua kesimpulan yang didapat yakni bahwa jual beli dan riba adalah dua hal yang berbeda serta pemahaman bahwa jual beli dihalalkan oleh Allah sedangkan riba diharamkan.
(Bersambung)