Di era digital ini, menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi guru-guru di MMA. Madrasah mulai menyiapkan aplikasi SIM sebagai salah satu bentuk integrasi teknologi dengan pendidikan. Berbagai fitur yang ada di dalamnya cukup lengkap. Mulai dari presensi, jurnal kelas, laporan perkembangan siswa dan seterusnya. Adaptasi MMA dalam teknologi di tahun ini menjadi satu langkah kemajuan yang harus diapresiasi. Namun, kultur dan nilai-nilai ke-muallimin-an tetap harus dipertahankan. Oleh karena itu, Transformasi ke arah digital ini harus tetap dikawal dan diperjuangkan.
Problemnya, tidak semua guru atau pendidik bisa mengoperasikan aplikasi tersebut dengan baik. Mungkin saja kekhawatiran itu bisa diatasi dengan pelatihan dan sosialisasi dari madrasah. Namun, ngopeni aplikasi ini juga membutuhkan banyak tenaga dan waktu mulai dari input, output, validasi dan seterusnya. Memang sebuah kebijakan baru, pasti ada resistensinya. Tinggal bagaimana pengelola bisa terus mengevaluasi dan terus berinovasi agar aplikasi ini bisa lebih simpel dan efektif digunakan, sehingga para user bisa menerima dan mau mengaplikasikannya. Karena pada dasarnya digital itu bukan semata digitalisasi dari manual ke digital. Namun, lebih pada perubahan mindset dan budaya. Belum tentu yang manual itu lebih lambat daripada yang digital. Semuanya harus dikembalikan pada tujuan, fungsi juga kebutuhan dan konteksnya. Disinilah pentingnya berpikir substantif dan normatif dalam melihat sebuah teknologi.
Proses transformasi digital ini mungkin memerlukan 3 tahapan. Pertama, tahap pengetahuan, dimana semua stakeholder wajib mengetahui penggunaan aplikasi ini dengan baik. Kedua, tahap pemanfaatan, dimana aplikasi ini bisa dijadikan solusi memecahkan berbagai problem dalam administrasi pembelajaran. Ketiga, tahap implementasi, dimana perubahan ini bisa dipraktekkan oleh semua stakeholder madrasah. Tahapan ini juga sejalan dengan konsep MMA yang (Mengajar, Mendidik, Aktif). Mengajar untuk transfer ilmu (berilmu) mendidik untuk transfer nilai (berakhlaq), Aktif untuk belajar dan berkarya (berkiprah). Ini juga sejalan dengan tiga konsep pendidikan yakni ngerti, ngeroso, ngelakoni. Metode ngerti adalah bagaimana guru memberikan ilmu kepada murid sebanyak-banyaknya. Metode ngerasa, mengajarkan murid untuk bisa memahami ilmu dengan sebaik-baiknya. Sementara, metode ngelakoni bagaimana guru mampu mengembangkan karakter disiplin dan tanggungjawab muridnya baik dalam bersikap, bertutur kata dan bertindak.
Transformasi ini juga harus bisa menjadi satu paradigma transformatif bagi madrasah, dari paradigma destruktif ke konstruktif, dari negatif ke positif, dari mafsadah ke maslahah. Bagi guru, paradigma transformatif ini juga menjadi upaya untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya. Bagi murid, paradigma transformatif ini juga melatih kemampuannya baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Bagi tendik, paradigma ini bisa menjadikan pelayanan menjadi lebih efektif dan memudahkan. Dengan demikian, pengembangan teknologi bukan menjadi penambahan beban administrasi namun menjadi solusi.
Penulis : Abdur Rouf