Oleh: Robi Pebrian, ME
Tulisan ini merupakan refleksi atas kejadian yang saya alami beberapa hari yang lalu. Sepupu saya menanyakan kepastian tanggal acara Halal bi Halal di keluarga besar kami agar ia dapat mengajukan cuti di hari yang tepat, sepupu saya yang pengantin baru tersebut khawatir nanti terlanjur meliburkan diri lha kok salah tanggal. Acara Halal bi Halal tahun ini akan diadakan di Lumajang, sehingga ia harus menghubungi bibi yang memang menjadi tuan rumahnya.
Jawaban bibi saya kurang lebih begini: “Pokoknya ya 5 Syawal itu, kalau tanggal Masehinya ya pokoknya ikut NU dan pemerintah itu. Muhammadiyah kan mesti keluar jalur sendiri." Apakah benar begitu?
Pembahasan mengenai ru'yah dan hisab ini selalu menjadi trending topic pada momen Romadhon dan Syawal atau terkadang di bulan Dzulhijjah karena asumsi yang menempel di kepala masyarakat selalu terbelah menjadi pendapat yang dikotomi dan hal ini juga seolah sudah menjadi politik identitas antar dua ormas terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah.
NU selama ini dikenal sebagai ormas yang berpegang pada metode ru’yah, sementara Muhammadiyah menggunakan metode hisab.
Hal ini menjadi menarik karena NU yang notabene identik dengan kelaziman bermadzhab justru dalam kasus ini memilih untuk langsung menuju kepada teks Sunnah, tentu saja yang dimaksud adalah hadits “Shumuu li ru’yatihi wa afthiruu li ru’yatihi, fa in ghumma ‘alaikum faakmiluu al’iddata tsalatsina.”
Sebaliknya, Muhammadiyah yang dahulu kerap kali mengemukakan ide tentang kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah, justru dalam hal ini memilih metode hisab yang tentu saja merupakan sebuah kesepakatan madzhab yang belum pernah ada di zaman Nabi Saw.
Secara kasat mata, sikap NU yang berpedoman pada metode ru’yah dalam keputusan pengambilan awal bulan terlihat tidak praktis karena mengharuskan sekelompok orang untuk terlebih dahulu melihat hilal guna menentukan awal bulan.
Pembuatan kalender satu tahun penuh tentu akan menjadi sulit, kalau tidak mau mengatakan mustahil, apabila tidak melalui perhitungan astronomis (hisab), karena manajemen waktu terbuat dari aktivitas mengamati hilal yang baru dilakukan di setiap akhir bulan.
Apalagi dengan alasan ilmiah bahwa kaverannya sangat bersifat terbatas pada letak geografis tertentu di hari pertama visibilitas hilal. Hal ini akan berakibat pada berbedanya tanggal hijriyah di berbagai tempat.
Dengan alasan ini pula akhirnya Muhammadiyah berpatokan pada metode hisab. Di samping juga mereka mengembalikan ‘senjata’ kepada ‘tuan’-nya dengan menggunakan dalil yang sama persis pada hadits Nabi Saw sebelumnya, mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Musthafa az-Zarqa, mereka mengatakan bahwa perintah untuk melihat hilal merupakan statment Nabi Saw, yang berlaku karena masyarakat Arab saat itu yang belum banyak mengenal baca tulis, lebih-lebih menghitung.
Ru’yah hanya merupakan alat untuk menentukan waktu, sebagai alat maka metode ru’yah dapat diubah dengan penghitungan eksak demi tercapainya sebuah tujuan. Ketika masyarakat Islam telah meluas dan berkembang, tidak alasan untuk menolak metode hisab, terlebih dengan alasan logis bahwa metode hisab mencakup perhitungan bulan di seluruh permukaan bumi.
Mari kita mendudukkan persoalan. Yang belum banyak masyarakat tahu adalah kenyataan bahwa metode ru’yah yang digunakan oleh NU sebetulnya secara rutin dilakukan pada seluruh bulan hijriyah, bukan hanya bulan-bulan tertentu. Hadits yang dituturkan sebelumnya walaupun berbicara dalam konteks puasa wajib dan hari raya ‘Idul Fitri, tidak kemudian menjadi konklusi bahwa metode ru’yah hanya digunakan pada bulan Romadhon dan Syawal saja.
Benar bahwa pada masa Nabi Saw belum ada ilmu falak untuk menentukan penaggalan dengan metode hisab, yang ada adalah sebagian sahabat yang oleh Nabi Saw diminta untuk mengintip hilal (bakal bulan) di cakrawala, jika mereka melihatnya maka tahulah mereka bahwa awal bulan telah tiba. Jika tidak melihatnya, maka mereka menggenapkan hitungan bulan menjadi tiga puluh hari. Itulah adat yang berlaku di masyarakat Arab saat itu. Statement Nabi Swa di atas kemudian dieksplisitkan guna mensahihkan adat yang berlaku.
Namun ada sisi lain yang dipertimbangkan oleh NU mengapa masih berpatokan pada metode ru’yah, setidaknya ada dua hal, yakni:
Pertama, aspek ibadah. Dari hadist sebelumnya, jelas sekali bahwa Nabi Saw hanya menetapkan “melihat bulan” (ru’yatul hilal) sebagai causa prima dari permulaan ibadah puasa dan permulaan ‘Idul Fitri dan bukan dengan sudah wujud atau tidaknya hilal, apalagi dari cara penghitungannya.
Terbukti dari penggalan redaksi hadits Nabi Saw selanjutnya yang memerintahkan untuk menyempurnakan bulan sebanyak tiga puluh hari apabila tidak berhasil melihat hilal, walaupun secara perhitungan astronomis (hisab) mungkin sudah ada. Metode hisab di sini dapat dijadikan sebagai sarana bantuan untuk mencapai tujuan utamanya yakni ru’yatul hilal.
Ulama’ pun berpendapat bahwa metode ru’yah berhukum fardhu kifayah apabila dalam bulan-bulan tersebut berkaitan dengan ibadah yang wajib seperti Romadhon, Syawal dan Dzulhijjah. Sementara apabila bulan-bulan selain itu maka berhukum sunnah karena tidak terkait langsung dengan ibadah wajib.
Maka barang tentu, aktifitas ru’yatul hilal yang dilakukan oleh NU bukan hanya sebagai sarana atau alat, tetapi juga merupakan salah satu ibadah kolektif yang bernilai pahala apabila dilakukan sebagian orang dan mendapatkan dosa apabila ditinggalkan sama sekali.
Di beberapa tempat bahkan penentuan awal bulan ini dikemas oleh NU dengan bertemakan ‘Lailatul Ijtima’ yang diisi berbagai acara seperti pembacaan sholawat, pengajian dan sebagainya.
Kedua, aspek kultural. Jumhur ‘ulama berpendapat bahwa pemerintah sebagai ulil amri diperbolehkan menjadikan ru'yatul hilal sebagai dasar penetapan awal bulan hijriyah, khususnya Romadhon, Syawal dan Dzulhijjah, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini.
Hal ini di antaranya didasarkan atas hadits Nabi Saw. yang menceritakan tentang seorang badui yang telah menyaksikan hilal dan kemudian melaporkannya kepada Nabi Saw. Setelah meminta infirmasi tentang kredibilitas badui tersbut, beliau lalu langsung menyuruh kepada umat Islam untuk berpuasa tanpa menanyakan asal dari badui tersebut, apakah ia berasal dari daerah yang mathla’-nya sama dengan Nabi Saw. atau malah berjauhan.
Ini isyarat yang jelas bahwa keputusan awal bulan dapat diakomodir secara terstruktur walaupun terdapat perbedaan tempat munculnya bulan (ikhtilaf al-matholi’). Maka tidak elok rasanya apabila penduduk Islam di Indonesia yang notabene penduduk Islam terbesar di dunia melewati proses ini, apalagi dengan melihat latar belakang bahwa mayoritas penduduk Islam di Indonesia adalah warga NU. Jadi sebenarnya adakah yang keluar jalur?